JAKARTA - Kasus dugaan pemerasan yang dilakukan oknum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan warga Selandia Baru bernama Mahmood Abo Annaser terhadap warga Jerman, Mahmoud Tatari, masih bergulir. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan dapat turun tangan menyelesaikan kasus ini.

"Seharusnya KPK juga bisa menyidik terkait pemerasan dengan modus pungli yang dilakukan swasta seperti yang dilakukan oleh oknum LPPOM MUI dan warga negara New Zealand," harap pengacara Mahmoud Tatari, Ahmad Ramzy, kepada Gresnews.com, Jumat (16/8).

Menurut Ramzy, sebelum melaporkan ke Polresta Bogor Kota pada 2017, pihaknya pernah mendatangi KPK, namun Biro Hukum KPK menganjurkan untuk dilaporkan ke kepolisian. Saat itu alasan yang disampaikan karena KPK tidak bisa menangani tindak pidana umum, bukan korupsi dan pelakunya bukan pejabat negara.

Namun ketika ditangani Polresta Bogor Kota pada 2017, tidak juga ada kemajuan hingga akhirnya dilimpahkan ke Mabes Polri pada 31 Juli lalu. "Kami mendorong Mabes Polri dalam hal ini Bareskrim segera menetapkan tersangka sesegera mungkin karena bukti-bukti sudah sangat jelas dan kuat," ujarnya.

Kasus tersebut dilaporkan oleh Mahmoud Tatari, bos Halal Control Jerman. Dia mengadukan pemerasan yang diduga dilakukan oleh Mahmoud Abo Annaser dan melibatkan andil dari Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Lukmanul Hakim pada 2016.

Bila menilik pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pejabat polisi negara RI adalah bertindak sebagai penyelidik dan penyidik perkara pidana (lihat Pasal 4 jo Pasal 6 KUHAP). Jadi, polisi berwenang untuk menjadi penyelidik dan penyidik untuk setiap tindak pidana. Sedangkan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi kewenangannnya diberikan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Berdasarkan Pasal 6 UU KPK, bertugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. (G-2)

BACA JUGA: