JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mempelajari lebih jauh manuver Lapindo Brantas Inc. yang menawarkan skema perjumpaan utang (set-off), yakni penghapusan utang-piutang antara Lapindo dan pemerintah. KPK menegaskan bahwa negara tidak boleh rugi.

"Mesti dipelajari dulu seperti apa posisinya, apa ada isu korupsi di situ. Selain bahwa negara tidak boleh rugi," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang pada Gresnews.com, Kamis (15/8).

Perusahaan minyak dan gas yang terkait dengan kelompok usaha Bakrie itu berutang kepada pemerintah sebesar total Rp1,599 triliun—terdiri dari utang pokok Rp773,38 miliar, bunga 2015-2018 sebesar Rp126,83 miliar, dan denda keterlambatan pengembalian pinjaman Rp699,13 miliar.

Lapindo baru membayar Rp5 miliar. Jadi, total utang, denda, dan bunga yang harus dibayar Lapindo kepada pemerintah sebesar Rp1,594 triliun.  Itu semua tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/LKPP (Audited) 2018 yang telah diperiksa juga oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Namun, Lapindo melakukan manuver. Sebelum jatuh tempo pada 10 Juli 2019, Lapindo bersurat kepada pemerintah melalui Surat Nomor 586/MGNT/ES/19 pada 19 Juni 2019. Mereka menawarkan skema perjumpaan utang (set-off), yakni penghapusan utang-piutang antara Lapindo dan pemerintah. Lapindo balik melakukan klaim bahwa mereka memiliki piutang kepada pemerintah sebesar Rp1,9 triliun (US$138 juta) berupa dana cost recovery.

Klaim Lapindo itu didasarkan pada dua dokumen: 1) Hasil audit khusus Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap pembukuan Lapindo Brantas Inc. dan PT MInarak Lapindo Jaya (MLJ) pada Juni 2018; 2) Verifikasi oleh SKK Migas sebagai biaya yang dapat diganti (Cost Recoverable) pada September 2018 sesuai Surat SKK Migas No. SRT-0761/SKKMA0000/2018/S4 tanggal 10 September 2018. Reporter Gresnews.com Ach. Haqqi mendatangi kantor BPKP, Kamis (15/8), di Jakarta, untuk meminta tanggapan atas audit BPKP yang diklaim Lapindo tersebut. Tak satu pun pejabat BPKP bisa ditemui dengan alasan sedang di luar kantor. Humas BPKP tak mau memberi penjelasan dengan alasan tidak berwenang.

Selain kasus set-off, desakan untuk mengungkap adanya potensi kerugian negera sebenarnya telah ada sejak 2009. Tercatat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pernah mendatangi KPK, Selasa (15/12).

Walhi melaporkan dugaan korupsi dalam penanganan luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Juru bicara Walhi, Erwin Usman saat itu mengatakan laporan itu terkait dengan pengelolaan keuangan negara yang diduga tidak sesuai aturan.

Dalam laporannya, Walhi menyertakan data audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2007. Hasil audit itu menyatakan adanya aliran uang negara Rp4 triliun untuk menangani kasus Lapindo. Aliran itu layak dipertanyakan karena dilakukan ketika proses hukum perdata masih berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan PN Jakarta Selatan.

Selain menyertakan hasil audit BPK, Walhi juga melengkapi laporan dengan dokumen yang dibuat oleh sebuah perusahaan pertambangan Medco. Dokumen tersebut memaparkan 12 kesalahan pengeboran yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. (G-2)
BACA JUGA: