JAKARTA - Kasus semburan lumpur Lapindo 13 tahun lalu menjadi pengingat bahwa bencana muncul akibat ulah manusia. Sebanyak 75 ribu jiwa dari 15 desa, kini terusir dari kampung halamannya. Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya melakukan penanganan dengan menggunakan dana talangan pemerintah yang jumlahnya tak sedikit.

Kini Lapindo mengajukan hapus utang mereka dengan piutangnya pada pemerintah yang merupakan cost recovery usaha migas di area tersebut. "Harus diperhatikan betul kalau mau dijalankan dasar perhitungannya seperti apa," kata Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara kepada Gresnews.com, Rabu (14/8)

Menurutnya secara bisnis hal tersebut bisa saja asalkan sudah menghitung semuanya. Perhitungannya dilakukan secara adil dan berimbang. Tentu saja sudah menghitung besaran bunganya juga karena waktu pengucuran dana talangan itu sudah cukup lama. Namun kalau tidak ada transparansi dalam perhitungan utang-piutang lebih baik jangan.

Merujuk pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2018 (Audited), piutang PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) tahun 2015-2018 terdiri atas: Rp773,38 miliar. Kalaupun dikurangkan dengan pembayaran MLJ tahun 2018 sebesar Rp5 miliar maka posisi pokok, bunga, dan denda per 31 Desember 2018 adalah sebesar Rp1,59 triliun. Namun pihak MLJ mengklaim bahwa negara yang berutang kepada mereka sebesar Rp1,9 triliun (US$138 juta) yang merupakan utang cost recovery.

Sebelumnya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan mengungkap hingga saat ini pihak PT Minarak Lapindo Jaya yang merupakan anak usaha dari Lapindo Brantas inc belum melunasi utang dana talangan ganti rugi warga terdampak semburan lumpur di Sidoarjo. Padahal batas waktu pelunasan berdasarkan aturan jatuh pada tanggal 10 Juli 2019.

Pelunasan utang yang harus dibayarkan tertuang dalam perjanjian pinjaman dana antisipasi untuk pembelian tanah dan bangunan warga korban luapan lumpur Sidoarjo, pemerintah telah memberikan dana talangan sebagai bentuk ganti rugi. Dalam perjanjian itu, disepakati pengembalian maksimal dalam empat tahun terhitung penandatangan perjanjian sejak Juli 2015. (G-2)

BACA JUGA: