JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Kepolisian lebih serius menyelesaikan kasus penunjukkan PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas, kini SKK Migas) sebagai penjual kondensat bagian negara. Sudah empat tahun lebih kasus ini jalan ditempat sehingga menimbulkan ketidakjelasan hukum.

Peneliti ICW Firdaus Ilyas mengatakan seharusnya polisi aktif bekerjasama dengan interpol untuk menangkap pemilik lama TPPI Honggo Wendratno. "Kalau Nazaruddin yang di Kolombia saja bisa dikejar apalagi ini. Terlebih dengan teknologi geotagging saat ini seharusnya polisi bisa lebih cepat menyelesaikan kasus ini," kata Firdaus kepada Gresnews.com, Rabu (7/8).

Menurut Firdaus, masalah TPPI ini cukup pelik lantaran melibatkan banyak institusi, Ada Kementerian Keuangan, BP Migas, Pertamina dan pemegang saham lainnya di TPPI. Seharusnya, lanjut Firdaus, aparat penegak hukum bisa mengikat atau membekukan aset para terduga koruptor sehingga bila dia kabur maka aset tersebut dapat disita negara.

Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri telah menyita aset dan rekening buronan Honggo Wendratno dan kawan kawan, pendiri PT Trans Pasific Petrocemical Indotama (TPPI). Aset yang disita senilai US$2,577 miliar dari total kerugian negara US$2,716 miliar.

Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Kombes Pol Daniel Tahi Monang Silitonga mengemukakan aset yang disita itu berupa sejumlah rekening milik para tersangka sebesar US$2,5 miliar ditambah aset berupa pabrik kilang minyak senilai US$77 juta yang ditotal mencapai US$2,577 miliar.

Menurut Daniel, seluruh aset baik berupa rekening maupun pabrik kilang minyak itu sudah dikembalikan kepada negara untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh perkara tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) penjualan kondensat bagian negara. Menurut Daniel, pihaknya tidak akan berhenti memburu aset lain milik buronan Honggo Wendratno dan tersangka lainnya yang masih kurang US$139 juta untuk mengganti kerugian negara. (G-2)

BACA JUGA: