JAKARTAKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum bisa mengambil alih kasus penunjukkan PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas, kini SKK Migas) sebagai penjual kondensat bagian negara. Pemilik lama TPPI Honggo Wendratno telah menjadi tersangka dan buron di luar negeri.

"Nanti kita lihat, kalau belum public expose bersama, tentu undang-undang mengatakan kita belum boleh ambil alih," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang kepada Gresnews.com, dalam sebuah acara di Jalan Raden Saleh, Jakarta, Rabu (7/8).

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) memberikan dasar bagi KPK untuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penanganan perkara oleh kepolisian atau kejaksaan. Sebelumnya sekitar Mei 2015, Kabareskrim saat itu yang dipimpin Komjen Budi Waseso melalui Dirtipikor Ekonomi Brigjen Vicktor E Simanjuntak telah menetapkan tiga tersangka korupsi Kondensat TPPI. Mereka antara lain Honggo Wedratmo pemilik PT TPPI, Raden Priyono, mantan kepala BP Migas dan Djoko Harsono, mantan Deputi Keuangan BP Migas.

Menurut Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), negara dirugikan sebesar US$2,716 miliar. Jika dikonversi ke rupiah, nilainya sekitar Rp35 triliun. Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya saat itu sampai mengatakan, nilai tersebut terbesar sepanjang sejarah penghitungan kerugian negara oleh BPK pada awal tahun 2018.

Penyidik menyita Rp32 triliun yang diperoleh dari beberapa rekening tersangka yang diblokir. Selain itu, ada pula rekening lain yang mendapat keuntungan sekitar Rp140 miliar. Penyidik Bareskrim Polri juga menyita kilang minyak milik TPPI di Tuban, Jawa Timur, senilai Rp600 miliar. "Kerugiannya Rp35 triliun. Itu artinya masih ada selisih yang terus harus kami kejar," kata Agung.

Agung mengakui penanganan kasus kondensat rumit. Sebab, korupsi dilakukan di area perminyakan. Umumnya, kasus yang ditangani polisi berkaitan dengan proyek dan pengadaan barang. Pada awal penanganan perkara pun banyak pihak yang melirik untuk menangani kasus sini. "Ada juga yang sampai ingin menggeser pidananya menjadi perdata. Tapi kami temukan kuncinya bahwa kasus ini tidak ada kontraknya," kata dia saat itu.

Polisi memisahkan berkas perkara menjadi dua. Berkas pertama terdiri dari dua tersangka, yaitu mantan Kepala BP Migas, Raden Priyono dan mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas, Djoko Harsono. Sementara, berkas kedua untuk tersangka mantan Presiden Direktur PT TPPI, Honggo Wendratmo. Penyidik menemukan sejumlah dugaan tindak pidana yakni penunjukan langsung PT TPPI oleh BP Migas untuk menjual kondensat. Kedua, PT TPPI telah melanggar kebijakan wakil presiden untuk menjual kondensat ke Pertamina. TPPI justru menjualnya ke perusahaan lain.

Penyidik juga menemukan bahwa meski kontrak kerja sama SKK Migas dengan PT TPPI ditandatangani pada Maret 2009, tetapi PT TPPI sudah menerima kondensat dari BP Migas sejak Januari 2009 untuk dijual. Komitmen awal kontrak kerja mereka adalah memproduksi bahan bakar untuk dijual Pertamina. Namun, PT TPPI mengolahnya menjadi LPG. Selain itu, PT TPPI juga diduga tidak menyerahkan hasil penjualan kondensat ke kas negara.

Kendati berkas sudah lengkap alias P21 sejak 3 Januari 2018, kasus ini belum juga dinaikkan ke pengadilan. Polri dan Kejaksaan Agung sepakat menunda pelimpahan berkas perkara dan tersangka dugaan korupsi penjualan kondensat ini. Penundaan dilakukan karena menunggu kehadiran salah satu tersangka yang belum ditangkap hingga saat ini, yakni mantan Direktur Utama TPPI, Honggo Wendratno. Polri dan Kejaksaan Agung juga tidak menetapkan batas waktu pelimpahan berkas perkara dan tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang merugikan negara hingga Rp35 triliun ini. (G-2)

BACA JUGA: