JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sebulan lamanya penyelidikan kasus dugaan korupsi proyek Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) Perusahaan Gas Negara (PGN) di Lampung oleh Kejaksaan Agung tak kunjung jelas. Tak kunjung ada tersangka dalam kasus korupsi yang diduga telah merugikan negara hingga Rp1 triliun itu.

Penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) mengaku masih terus mengumpulkan bukti untuk memperjelas kasus dugaan korupsi proyek FSRU tersebut. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah mengatakan penyidik masih mendalami kebijakan pemindahan proyek itu dari Sumatera Utara ke Lampung. Apakah kebijakan tersebut ada tindak pidana korupsinya atau tidak.

"Masih kita dalami. Ingin kita buat terang indikasi itu," terang Arminsyah di Kejaksaan Agung, Senin (11/4).

Arminsyah mengatakan pihaknya telah memanggil direksi PGN sebagai saksi untuk mengetahui pihak yang bertanggung jawab dan mencari alat bukti dalam kasus korupsi FSRU Lampung yang telah ditingkatkan ke tingkat penyidikan itu. Soal siapa tersangka kasus ini, Arminsyah berdalih masih penyidikan dan belum ada tersangka.

Sejumlah saksi telah diperiksa di antaranya direksi PGN termasuk Dirut PGN Hendi Prio Santoso. Mereka dimintai keterangan proses pengadaan proyek ini dan pelaksanaannya. Pada awal Maret, Kejagung juga telah memeriksa pegawai PGN. Mereka adalah Agoes Kresnowo selaku panitia pengadaan, Tri Setyo Utomo selaku Asisten Manajer Keuangan dan administrasi proyek, Wahid Sutopo selaku Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko, Eri Surya Kelana selaku Direktur Keuangan dan Administrasi serta Retno Kadarni selaku Ketua Panitia Pengadaan.

Arminsyah mengatakan dari keterangan saksi-saksi tersebut sejauh ini diduga proyek tersebut ada sejumlah masalah.  Masalah itu antara lain terkait pengadaan jaringan pipa yang dinilai kemahalan. Penunjukan PGN secara langsung oleh Menteri BUMN saat itu juga bermasalah. Penyidik masih terus mendalami pihak-pihak yang diduga terlibat termasuk pejabat di Kementerian BUMN.

Dalam kasus ini, Koordinator Indonesia Energy Watch (IEW) M. Adnan Rarasina meminta Kejaksaan Agung mengusut tuntas kasus tersebut. Sebab dalam proyek pemindahan FSRU dari Sumut ke Lampung ada "permainan" direksi. Selain itu, Adnan juga mendesak Menteri BUMN Rini Soemarno memberhentikan direksi PGN hasil RUPS.

"Kami akan terus mengawal kasus dugaan korupsi FSRU Lampung ini hingga tuntas proses penegakan hukumnya. Sebagai pertanggungjawaban moral, semua direksi PGN yang saat ini menjabat harus mengundurkan diri," kata Adnan dalam keterangannya kepada wartawan beberapa waktu lalu.

KEJAKSAAN LAMBAN - Sebelumnya Direktur Eksekutif IEW Ferdinand Hutahaean mengatakan untuk menjerat siapa yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini tidak sulit. Menurutnya, dalam kasus ini ada dugaan kesengajaan sehingga memunculkan kerugian negara per bulan mencapai US$7 juta. Menurutnya siapa tersangka dalam kasus ini sangat mudah untuk dicari.

Untuk itu Ferdinand mendesak Kejaksaan Agung menuntaskan kasus ini. Jangan sampai kasus-kasus seperti ini dijadikan ATM berjalan oleh oknum Kejaksaan. Apalagi, menurut Ferdinand, data dan informasi yang diberikan ke Kejaksaaan Agung telah sangat lengkap.

Diketahui kasus dugaan korupsi ini bermula dari laporan Energy Watch Indonesia. Mereka melaporkan dugaan kerugian negara atas pembangunan FSRU di Lampung senilai US$250 juta. Pada 2011, FSRU ini sebelumnya akan dibangun di Belawan, Medan, Sumatera Utara. Namun, Menteri Badan Usaha Milik Negara saat itu, Dahlan Iskan, mengubah proyek FSRU Belawan dengan revitalisasi kilang Arun yang digarap PT Pertamina.

Tahun 2012, proyek FSRU dipindahkan ke Lampung dan rampung setelah dua tahun kemudian. September 2014, PGN mulai menjual 40,5 juta kaki kubik gas per hari (MMSCFD) dari FSRU Lampung ke PLN untuk dialirkan ke PLTGU Muara Tawar di Bekasi, Jawa Barat.

Namun, kontrak jual-beli gas dengan harga US$18 per MMBTU tersebut tidak dilanjutkan per Januari 2015. Meskipun kerjasama berhenti, PGN harus terus membayar biaya sewa dan operasional kapal FSRU meskipun tidak ada pemasukan.

Selain itu, investasi menara sandar kapal yang mencapai US$100 juta dan pembangunan jaringan pipa offshore (lepas pantai) sepanjang 30-50 kilometer dari FSRU Lampung ke jaringan transmisi Sumatera Selatan-Jawa Barat dan fasilitas off take (penjualan) pendukung lainnya sebesar US$150 juta. Harga tersebut dianggap kemahalan.

BACA JUGA: