COVID-19 telah berdampak terhadap aspek ekonomi sehingga pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional. 

Namun, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Moh. Mahfud MD, menyatakan keputusan tersebut tidak dapat dijadikan dasar sebagai force majeure untuk membatalkan kontrak.

Hal itu telah menjadi polemik di antara para pelaku usaha, karena setelah itu terdapat kebijakan pemerintah seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membuat kegiatan usaha menjadi tidak berjalan.

Lantas, apa yang dimaksud kejadian force majeure dan dasar hukumnya?

Force majeure adalah suatu kondisi di mana seseorang tidak dapat menjalankan kewajibannya bukan karena ia sengaja atau lalai melainkan karena ada hal-hal yang ada di luar kuasanya dan mempengaruhi dirinya untuk tidak menjalankan kewajibannya.

Dasar hukum force majeure diatur dalam beberapa aturan antara lain:

Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata:

“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidak ada pada pihaknya.”

“Tiadalah biaya rugi dan bunga harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama  telah melakukan perbuatan yang terlarang.”

Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi menafsirkan keadaan memaksa merupakan kejadian yang yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.

Pasal 1 angka 52 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyatakan:

“Keadaan Kahar adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dalam kontrak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi.”

Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No.409K/Sip/1983 tertanggal 25 Oktober 1984 berpendapat bahwa keadaan memaksa harus memenuhi unsur sebagai berikut:

  1. Tidak terduga;
  2. Tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus memenuhi kewajiban atau melaksanakan perjanjian; dan
  3. Di luar kesalahan dari pihak tersebut.

(NHT)

BACA JUGA: