Memiliki kendaraan bermotor menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari oleh masyarakat saat ini. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, masyarakat dapat membeli kendaraan dengan cara mencicil atau kredit melalui perusahaan pembiayaan keuangan atau bank.

Selama ini pihak perusahaan pembiayaan atau bank dalam melakukan eksekusi kendaraan bermotor dengan status kredit macet memakai dasar hukum Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADlLAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila debitur cedera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Namun Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 menyatakan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) telah bertentangan dengan UUD 1945:

  1. Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
  2. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “cedera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cedera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditor melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditor dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cedera janji”;
  3. Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusian maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

(NHT)

BACA JUGA: