Jenderal Polisi Drs. Idham Azis, M.Si  telah dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) pada Jumat, 1 November 2019. Pimpinan tertinggi kepolisian tersebut akan menjalankan tugas dan fungsi keamanan, ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta menjalankan peraturan perundang-undangan.

Secara hukum, bagaimana sebenarnya aturan pengangkatan Kapolri?

Berdasarkan  UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada DPR. Persetujuan atau penolakan DPR terhadap usulan Presiden diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh DPR. Apabila DPR tidak memberikan jawaban dalam waktu 20 (dua puluh) hari maka calon Kapolri yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh DPR. Sedangkan calon Kapolri adalah perwira tinggi kepolisian yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.

Jadi, pengangkatan Kapolri adalah kewenangan penuh dan hakprerogatif Presiden dengan memperhatikan masukan dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Presiden, dalam menetapkan calon kapolri, harus diajukan kepada DPR untuk dilakukan fit and proper test dan disetujui DPR.

Selanjutnya pengangkatan Jenderal Polisi Drs. Idham Azis, M.Si dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 97/Polri/Tahun 2019 tentang Pengangkatan Kapolri, disertakan kenaikan pangkat menjadi bintang empat berdasarkan Keppres 98/Polri/2019 tentang Kenaikan Dalam Golongan Perwira Polri. (NHT)

BACA JUGA: