Fabio Scarpello, Lecturer in Politics and International Relations, University of Auckland

Banyak orang terkejut ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo tidak memasukkan menteri kelautan dan perikanan Susi Pudjiastuti dari kabinet barunya pada bulan Oktober 2019.

Susi adalah sosok yang dikenal dan disukai publik karena sikap tegasnya terhadap penangkapan ikan ilegal selama masa jabatan pertama Jokowi.

Tapi terlepas dari dukungan publik kepada Susi, Jokowi justru memilih mantan anggota DPR Edhy Prabowo untuk menggantikannya. Sebagai seseorang yang dekat dengan Prabowo Subianto – lawan Jokowi selama dua pemilihan presiden terakhir - pemilihan Edhy dinilai sebagai langkah politik untuk menarik Prabowo ke dalam koalisi pemerintah.


Baca juga: Analisis Kabinet Indonesia Maju: Jokowi utamakan stabilitas politik di atas segalanya


Namun, penelitian terbaru saya mengungkap alasan lain mengapa hal ini terjadi. Studi ini menganalisis berbagai sumber sekunder dari tahun 2018 hingga 2019 dan melakukan 30 wawancara dengan pejabat kementerian, kelompok nelayan, pelaku bisnis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), politikus, dan juga Susi sendiri.

Meskipun kebijakan Susi berhasil menurunkan penangkapan ikan ilegal hingga 90%, gaya kepemimpinannya yang keras mengancam banyak pihak. Mereka kemudian membentuk sebuah koalisi untuk melawan kebijakan Susi dan akhirnya menggulingkannya dari kursi menteri.

Temuan di atas mengokohkan anggapan adanya sistem oligarki yang masih sangat mendominasi ekonomi politik di Indonesia. Mereka yang berusaha untuk mendobrak sistem ini – seperti Susi - diserang dan diasingkan.

Bangkitnya koalisi anti-Susi

Koalisi yang melawan Susi terdiri dari perusahaan perikanan baik di dalam maupun luar negeri, anggota dewan legislatif, politikus senior, akademisi, hingga kelompok sipil dan asosiasi perikanan.

Mereka punya alasan yang berbeda untuk menentang Susi, dan tidak semua dari mereka terafiliasi mafia perikanan. Namun, mereka akhirnya menganggap Susi sebagai musuh bersama ketika Susi melarang kapal buatan asing pada tahun 2016.

Hasil evaluasi 11 bulan oleh Satuan Tugas 115 bentukan Susi yang bertugas memberantas perikanan ilegal menemukan bahwa mayoritas dari 1.132 kapal asing yang dipantau tidak banyak dimiliki orang Indonesia dan dengan demikian beroperasi di perairan Indonesia secara ilegal.

Sayangnya, Susi menerapkan hukuman dan pencabutan izin operasi kepada seluruh perusahaan tersebut tanpa pandang bulu. Hal ini tidak hanya membuat marah mereka yang beroperasi secara ilegal di Indonesia, melainkan juga mereka yang melakukan pelanggaran administrasi atau pajak yang bersifat ringan.

Berdasarkan wawancara yang saya lakukan di Jakarta, strategi yang digunakan oleh koalisi untuk melawan Susi berubah dari waktu ke waktu.

Di awal masa jabatannya, mereka mencoba bernegosiasi dengan Susi terkait kebijakannya. Setelah ini gagal, mereka mencoba menekan Jokowi untuk menggantikan Susi. Ketika Jokowi memutuskan bahwa ini bukan langkah politik yang tepat, koalisi berganti fokus untuk memastikan Susi tidak akan diangkat kembali di periode berikutnya.

Dalam hal ini, anggota koalisi memilih strategi yang berbeda, termasuk ‘menyuap’ dan ’melakukan kampanye hitam’ - kedua strategi ini tidak berhasil.

Koalisi kemudian fokus untuk melobi politikus senior dan anggota parlemen, mengatur dan membiayai demonstrasi yang melawan Susi, serta menyerang Susi melalui pers atau media sosial.

Kombinasi dari tiga strategi terakhir ini membuahkan hasil dan mungkin berakhir pada keputusan Jokowi untuk tidak mengangkat Susi kembali.

Keberhasilan koalisi anti Susi ini terlihat ketika mereka bisa meyakinkan Jokowi untuk menunda larangan cantrang – sejenis penangkapan pukat – tanpa batas waktu tertentu. Padahal, semula cantrang sudah dilarang melalui Peraturan Menteri No. 2/2015 bersama dengan berbagai jenis jaring pukat lainnya karena dianggap sebagai praktik penangkapan ikan yang merusak.

Nelayan di seluruh Indonesia diberi waktu hingga 2018 untuk beralih ke metode penangkapan ikan alternatif, yang walaupun lebih ramah lingkungan, menghasilkan tangkapan yang lebih sedikit. Banyak nelayan di Jawa akhirnya melawan, dan dibiayai oleh anggota koalisi, untuk kemudian turun ke jalan dan melakukan protes.

Pada akhirnya, Jokowi bertemu dengan para perwakilan nelayan tersebut pada awal 2018. Ia kemudian langsung menginstruksikan Susi untuk memperpanjang masa transisi di Jawa tanpa batas waktu.

Perubahan aturan itu merusak citra politik Susi, yang berulang kali mengatakan bahwa pelarangan itu sudah bersifat final.

Sikap ‘tanpa krompromi’ Susi

Hengkangnya Susi dari kabinet kedua Jokowi juga dipicu oleh ketidakmampuan - atau keengganan - dia untuk membangun koalisi sendiri untuk mendukung visi dan tindakannya.

Susi memadukan kebijakannya dengan gaya kepemimpinan sebagai sosok ‘wanita kuat’, yang merasa paling ‘benar sendiri’ yang akhirnya membuatnya terisolasi. Ini berakar dari kepribadian yang ia tunjukkan pada publik bahkan sebelum menjadi menteri, sebagai orang luar yang tidak tertarik pada kekuasaan.

Susi berusaha menjalin hubungan langsung dengan masyarakat dengan memanfaatkan apa yang dianggap orang lain sebagai kelemahan: sosok wanita dalam dunia milik pria; orang yang putus sekolah yang akhirnya berhasil; pebisnis yang sukses; dan seorang nenek yang merokok, bertato, dan berbicara secara terus terang.

‘Persona’ ini sangat disukai oleh masyarakat umum tetapi berkontribusi pada pengasingan Susi di dalam dan luar kementerian.

Dalam Kementerian Perikanan dan Kelautan, Susi memusatkan pengambilan keputusan hanya pada dirinya dan sejumlah individu tertentu. Perbedaan pendapat tidak ditoleransi dan dihukum dengan pemecatan atau penggantian. Dalam jangka panjang, hal ini memperburuk kementerian yang memang sudah terpecah - dengan banyak pejabat yang meragukan prioritas dan pendekatan Susi - dan perlahan-lahan memberi alasan pada banyak pihak untuk bergerak melawan Susi.

Pendekatannya memutus hubungan baik dengan banyak pelaku yang secara historis terlibat dalam industri perikanan, termasuk sejumlah asosiasi perikanan dan para peneliti kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

Susi membersihkan kementeriannya dari para alumni IPB - penyumbang tetap staf di Kementerian Perikanan dan Kelautan - yang dinilai terlalu dekat dengan mantan menteri Rohmin Dahuri. Rohmin sendiri adalah alumni IPB yang hingga kini masih punya pengaruh dan rutin mengkritik kebijakan Susi.

Susi mengelompokkan berbagai aktor ini sebagai anggota mafia perikanan - sesuatu yang tidak dapat bisa dikonfirmasi dalam penelitian saya - dan akhirnya mengasingkan mereka.

Kelompok seperti Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada awalnya sangat mendukung pendekatan Susi karena mereka diberi jalur untuk mempengaruhi kebijakan melalui berbagai komisi seperti Komisi Tuna dan Komisi Udang.

Namun, melewati pertengahan masa jabatannya, mereka merasa frustrasi dengan fokus Susi yang “berlebihan” pada penangkapan ikan ilegal sehingga mengorbankan kesejahteraan nelayan.

Isolasi politik Susi menjadi semakin jelas setelah pertikaiannya dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada awal 2018. Mereka meminta Susi untuk menghentikan peledakan kapal dan fokus pada pengembangan industri perikanan.


Baca juga: Buasnya sistem politik Indonesia halangi upaya reformasi dari dalam oleh mantan aktivis


Artikel ini diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Ayesha Muna.The Conversation

Fabio Scarpello, Lecturer in Politics and International Relations

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: