Resya Kania, University of Birmingham

Dua belas tahun lalu, Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Kementerian Aparatur Milik Negara berkomitmen melarang para pegawai mereka untuk rangkap jabatan.

Para pegawai itu dilarang untuk menerima peran tambahan berbayar di luar jabatan publik mereka, misalnya sebagai dewan (komisaris maupun pengawas) BUMN. Rangkap jabatan ini dilarang karena merugikan masyarakat.

Namun, komitmen yang dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) itu nampaknya sudah dilupakan.

Akhir Juni, Ombudsman Republik Indonesia telah memperingatkan ada 564 orang pejabat negara merangkap jabatan di beberapa BUMN dan anak perusahaannya.

Sebanyak 55 orang diantaranya berasal dari Kementerian BUMN, dan 42 dari Kementerian Keuangan.


Baca juga: Kepemimpinan yang beretika diperlukan untuk memulihkan integritas BUMN


Masalah moral dan ekonomi

BUMN adalah perusahaan yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara. Jenis BUMN sangat beragam dan perannya sangat strategis, mulai dari penyediaan listrik seperti PLN, perdagangan seperti Bulog, transportasi seperti KAI, hingga layanan keuangan seperti Bank Mandiri.

BUMN di berbagai belahan dunia memiliki dua ciri khas yang sama dalam hal kepemilikan dan tujuan.

Masyarakat adalah pemilik utama BUMN; dan BUMN tidak semata-mata mencari keuntungan, tapi juga melayani kepentingan masyarakat.

Sebagai pemilik sekaligus konsumen BUMN, masyarakat ingin agar BUMN bisa melayani publik secara optimal, menjangkau seluruh lapisan, dengan biaya yang terjangkau, sesuai amanat undang-undang.

Standar transparansi dan akuntabilitas yang tinggi diperlukan agar masyarakat yakin bahwa BUMN digunakan sesuai dengan kepentingan publik.

Fungsi pengawasan dan pembinaan BUMN dilakukan oleh kementerian BUMN. Lembaga negara ini bertugas melindungi kepentingan masyarakat terhadap BUMN.

Dalam melaksanakan tugas ini, mereka mengangkat dewan BUMN dan kerap menunjuk pejabat publik sehingga terjadi rangkap jabatan.

Di sinilah, alih-alih menjalankan pengawasan secara efisien dan efektif, penunjukkan pejabat negara sebagai dewan BUMN justru menimbulkan persoalan yang disebut masalah principal-agent.

Masalah ini terjadi karena ada tantangan untuk menyelaraskan kepentingan masyarakat (principal) dengan para komisaris dan pengawas BUMN (agent) yang dipekerjakan atas nama masyarakat.

Masalah pertama yang muncul adalah masalah moral (moral hazard). Masalah moral terjadi karena ada risiko bahwa pejabat publik yang ditunjuk sebenarnya tidak memiliki kapasitas, waktu, dan tenaga dalam menjalankan tugasnya mengawasi BUMN.

Masalah ini khususnya muncul ketika seorang komisaris merangkap jabatan.

Riset dari Universitas Stanford dan Yale menunjukkan bahwa orang yang mengerjakan berbagai tugas memiliki kinerja yang lebih rendah daripada mereka yang fokus menyelesaikan satu tugas pada satu waktu.

Masalah kedua adalah kerugian ekonomi akibat kurangnya infomasi yang valid (adverse selection).

Kerugian ini khususnya muncul karena kurang tersedianya rekam jejak para pejabat terkait kapasitas, waktu, dan tenaga mereka, baik pada saat perekrutan maupun selama mereka bekerja.

Kementerian BUMN tidak menyediakan informasi ini untuk diakses publik secara mudah, misalnya lewat situs kementerian BUMN.

Potensi kerugian ekonomi bisa dihitung salah satunya dari honorarium komisaris BUMN.

Honorarium seorang komisaris BUMN bisa mencapai Rp 120 juta per bulan.

Jika mengambil nilai tengah saja, Rp 60 juta per bulan, maka honorarium 564 pejabat yang merangkap dewan BUMN dalam satu tahun mencapai Rp 406 milyar.

Jumlah ini lebih tinggi dari anggaran Kementerian BUMN tahun 2020 sebesar Rp 345 milyar.

Potensi kerugian ekonomi lain adalah penyalahgunaan kewenangan akibat rangkap jabatan.

Penelitian terhadap peran pengawasan BUMN di Cina selama 40 tahun terakhir menyatakan bahwa BUMN cenderung mengeluarkan biaya yang lebih tinggi ketika anggota dewan BUMN merangkap jabatan.

Penelitian itu menyebut bahwa seorang pejabat bisa menggunakan BUMN untuk kepentingan institusinya (lembaga pemerintah dan partai politik).

Dalam konteks Indonesia, pejabat misalnya bisa mendorong penggunaan dana BUMN untuk kegiatan lembaga atau partai seperti seminar dan pekan olahraga.


Baca juga: Kartu Prakerja: ketika kelompok kepentingan terlibat dalam `solusi` krisis COVID-19


Aturan yang tidak berkeadilan sosial

Masalah moral dan ekonomi ini diperburuk dengan aturan penetapan honorarium dewan BUMN yang tidak memihak pada masyarakat sebagai pengguna layanan BUMN.

Honorarium pejabat dewan BUMN ditetapkan berbanding lurus dengan laba bersih masing-masing BUMN. Artinya, honorarium pejabat dewan BUMN akan naik, bila laba BUMN naik.

Peraturan ini membuat pejabat memiliki kepentingan agar BUMN memperoleh laba sebesar-besarnya.

Menghasilkan laba memang menjadi salah satu tujuan BUMN berdiri.

Namun, pengaturan honorarium ini membuat kepentingan dewan pengawas BUMN sejalan dengan tim eksekutif BUMN (yang diawasi) dan bertentangan dengan kepentingan publik sebagai konsumen (yang diwakili).

Konsumen menginginkan layanan yang optimal dengan biaya yang minimal.

Dengan peraturan ini, rangkap jabatan juga menguntungkan tim eksekutif BUMN dan makin merugikan konsumen.

Dewan yang merangkap jabatan bisa jadi diangkat bukan karena mereka memiliki kemampuan dan integritas mengawasi kinerja BUMN.

Mereka justru dipilih karena bisa menggunakan kekuasaannya sebagai pejabat publik untuk mempertahankan dominasi sebuah BUMN di pasar meskipun pelayanannya buruk atau mempertahankan operasionalnya meskipun merugi.


Baca juga: Ramai-ramai korupsi: persekongkolan legislatif dan eksekutif


Kementerian BUMN perlu tegas dan jelas

Tugas dewan BUMN adalah mengawasi dan menasihati tim eksekutif BUMN untuk membuat keputusan yang sesuai dengan kepentingan publik dengan menciptakan tata kelola yang baik di BUMN.

Inti dari tata kelola yang baik adalah mengurangi masalah principal-agent.

Hal ini bisa dilakukan dengan membentuk mekanisme pengawasan BUMN yang meminimalisir konflik kepentingan.

Untuk itu, ada dua tindakan yang perlu dilaksanakan oleh Kementerian BUMN.

Pertama, melarang dewan BUMN melakukan rangkap jabatan dengan tegas. Larangan ini harus menjadi komitmen dan tertulis jelas dalam peraturan Kementerian BUMN.

Rangkap jabatan sebenarnya sudah menabrak berbagai aturan. Misalnya Undang-Undang (UU) No 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik dan UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN.

Peraturan Menteri BUMN juga menyatakan bahwa komisaris tidak diperbolehkan menjadi pengurus partai politik.

Namun, berbagai peraturan ini justru ditafsirkan sewenang-wenang, bahwa komisaris bisa merangkap jabatan lain, asal bukan pengurus partai politik.

Penggiat anti korupsi Muji Kartika Rahayu menyatakan salah satu penyebab mengapa pejabat tidak malu melakukan tindakan yang tidak wajar - dalam kasus ini, rangkap jabatan - adalah karena mereka memiliki kekuasaan melebihi hukum yang ada.

Tidak adanya ketegasan dari Kementerian BUMN membuat para pejabat ini yakin tidak akan tersentuh aparat hukum.

Hal ini terbukti karena strategi Ombudsman melakukan naming and shaming (mengumumkan untuk mempermalukan) dengan merangkul media untuk mempublikasikan nama-nama pejabat rangkap jabatan tidak mendapat respons.

Kedua, pengawasan BUMN langsung dilakukan oleh pegawai kementerian BUMN sebagai bagian dari tugas dan fungsinya.

Strategi ini dilakukan di Prancis. Pemerintah Prancis juga tidak mengizinkan pengawas BUMN menerima keuntungan apapun dari tugas yang mereka lakukan. Karena memang tidak wajar jika kegiatan pengawasan mendapat imbalan dari yang diawasi (BUMN).

Kementerian BUMN tidak mesti bekerja sendiri. Tindakan-tindakan ini bisa didiskusikan dan disepakati dalam pertemuan tahunan tiga pihak antara Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Tahun ini pertemuan tiga pihak dilaksanakan pada bulan Juli dan Agustus. Pertemuan ini adalah satu titik genting penyelarasan antara kebijakan substantif dan fiskal dalam siklus perencanaan dan penganggaran.

Ada peluang bagi ketiga kementerian ini untuk berinovasi dan berkolaborasi. Mereka bisa menggandeng berbagai lembaga lain, seperti Ombusdman Indonesia dan lembaga riset, untuk mendorong perbaikan kegiatan pengawasan dan pembinaan BUMN.

Jika diperlukan, mereka juga bisa mengkaji remunerasi pegawai kementerian BUMN agar sesuai dengan tanggungjawabnya sebagai pengawas langsung BUMN.

Formulanya harus wajar dan akuntabel, mendorong integritas, serta berdasarkan target kinerja yang konkret dan berpihak pada masyarakat sebagai konsumen.

Rangkap jabatan di BUMN adalah masalah moral dan ekonomi.

Masalah ini akan terus ada sampai pejabat berwenang di Kementerian BUMN mau menggunakan hati nurani, melihat rangkap jabatan sebagai masalah bagi keadilan sosial.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.The Conversation

Resya Kania, PhD Candidate in Social Policy, University of Birmingham

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: