Mochammad Wahyu Ghani, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)

Artikel ini terbit dalam rangka Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli.


Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa sawit terbesar dan terpenting di dunia dengan proyeksi 51,44 juta ton di tahun 2019.

Namun, angka ini tidak diikuti oleh kesejahteraan petani kelapa sawit di Indonesia. Selain itu, ada temuan eksploitasi anak sebagai buruh dalam industri kelapa sawit.

UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan pekerja anak dimungkinkan jika melakukan praktik kerja yang tidak tergolong pekerjaan berbahaya di bawah 3 jam per hari.

Namun, beberapa laporan dari Lembaga Swadaya Masyarakat menunjukkan praktik pekerja anak di bawah umur dengan durasi waktu dan upah yang tidak wajar.

Pekerja anak di perkebunan kelapa sawit

Badan PBB yang menangani isu anak-anak, UNICEF (2016) menyebutkan setidaknya 5 juta anak di Indonesia hidup, baik sebagai tanggungan pekerja kelapa sawit atau sebagai pekerja.

Dua tahun kemudian, Koalisi Buruh Sawit, merilis Lembar Fakta Buruh Sawit menemukan kembali adanya pekerja anak di perkebunan kelapa sawit.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa fenomena buruh anak ini terjadi karena ada anggapan keliru bahwa anak bekerja dan membantu orangtua merupakan bagian budaya Indonesia.

Anak-anak tersebut bekerja secara tidak langsung untuk perusahaan sebagai buruh kernet atau tukang pemungut brondol (biji dari satu tandan sawit) hingga pembantu perkebunan.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Dayang Haszellinna binti Abang Ali (University Malaysia of Sarawak) dan G. Reza Arabsheibani (London School of Economics di London, Inggris), para pekerja anak ini dibayar tunai, namun 84% dari penghasilan anak-anak diberikan kepada orang tua mereka.

Tugas mereka, umumnya, adalah memetik kelapa sawit, mengumpulkan brondol dan beberapa membantu pengangkutan rata-rata 10 kilogram dengan jarak 250 meter.

Laporan-laporan ini setidaknya memberikan gambaran bahwa buruh anak di sektor perkebunan masih ada dan tersebar luas.

Penyebab masih ada pekerja anak di kebun sawit

Setidaknya ada dua alasan mengapa buruh anak masih marak ditemukan di perkebunan kelapa sawit

Pertama, kemiskinan di daerah pedesaan menjadi alasan para orangtua membuat anak-anak mereka ikut bekerja di perkebunan kelapa sawit.

Praktik buruh anak di perkebunan kelapa sawit, pada dasarnya, dipicu oleh rendahnya upah untuk buruh dewasa serta kewajiban untuk mencapai target kerja dan mendapatkan uang tambahan.

Dengan kewajiban tersebut, para buruh dewasa (orangtua) ini akhirnya mengizinkan anak-anak untuk ikut bekerja karena terbuai dalam cara hidup yang diatur oleh kapitalis.

Harapan mereka memasuki industri kelapa sawit adalah mendapatkan manfaat ekonomi, meningkatkan standar hidup seperti konsumsi gizi dan kualitas makanan.

Namun, kenyataannya malah sebaliknya. Apalagi, di tengah pandemi COVID-19, buruh sawit yang kebanyakan bekerja di sektor informal merasakan dampak ekonomi dan membuat mereka terancam kelaparan.

Kedua, lemahnya fungsi pengawasan terhadap anak di Indonesia membuat praktik ini terus berlangsung.

Kementerian Ketenagakerjaan kekurangan sumberdaya keuangan dan personel untuk menegakkan hukum tenaga kerja anak secara memadai di negara ini.

Rekomendasi

Berikut beberapa rekomendasi untuk menghindarkan anak-anak harus bekerja dalam perkebunan sawit :

1) Memberikan akses pendidikan kepada keluarga petani sawit. Tidak adanya pendidikan berkualitas yang relevan dapat berkontribusi pada berulangnya siklus pekerja anak.

Padahal, kesempatan untuk mengubah hidup dan lepas dari lingkaran kesulitan ekonomi buruh kelapa sawit bisa didapatkan dengan mengenyam pendidikan.

Salah satu contoh, kisah Riani, seorang anak buruh tani yang berhasil lulus kuliah dengan predikat Cum laude (IPK 3,99) dari Universitas Bosowa, Sulawesi Selatan.

Ia akhirnya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2 Ke Jepang. Keberhasilan Riani merupakan hasil dari ketekunan dia dan komitmen ibunya, yang notabene hanya seorang buruh sawit, untuk tetap mengutamakan pendidikan.

Keberhasilan Riani mematahkan anggapan bahwa anak dari buruh sawit harus bekerja di ladang sawit.

Pendidikan berkualitas dapat memutus siklus penyediaan pekerja anak di perkebunan kelapa sawit.

2) Negara mengembangkan program pengawasan yang terintegrasi untuk kasus-kasus pekerja anak, seperti Child Labour Monitoring (CLM), yang merupakan rekomendasi dari Badan PBB untuk Perburuhan (ILO).

Tujuan program CLM adalah memastikan bahwa anak-anak terhindar dari eksploitasi dan bahaya di tempat kerja.

CLM dapat digunakan sebagai basis informasi untuk penyusunan rencana aksi nasional menentang pekerja anak dan mengedepankan pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, advokasi/pendampingan, dan lain-lain.

Isu pekerja anak merupakan agenda yang mendapatkan perhatian global. Komitmen ini juga sudah tertuang dalam peta jalan Indonesia Bebas Pekerja Anak pada tahun 2022.

Selanjutnya, badan organisasi dunia, seperti ILO dan UNICEF, juga sudah mendefinisikan anak-anak sebagai orang yang berada di bawah 18 tahun dan berhak mendapatkan perlindungan.

Oleh karena itu, anak-anak berhak mendapatkan waktu yang istimewa dan merasa terlindungi, dibiarkan tumbuh, belajar, bermain dan berkembang dengan bermartabat sesuai dengan usia mereka.

Berdasarkan pemahaman tersebut, negara harus melindungi hak anak dari kegiatan perburuhan.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.The Conversation

Mochammad Wahyu Ghani, Peneliti, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: