Ai Nur Bayinah, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI

Dalam pandemi COVID-19, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan salah satu yang terdampak.

UMKM sendiri adalah sektor yang patut diberi perhatian lebih, ini karena mereka menyangga perekonomian Indonesia dengan serapan pekerja lebih dari 113 juta orang atau setara dengan 93,88% dari total tenaga kerja.

Pandemi COVID-19 ini telah membuat UMKM merugi atau bahkan kehilangan pemasukan karena aktivitas perekonomian yang terganggu. Untuk membendung dampak negatif ini para UMKM membutuhkan modal dan bukan utang yang cenderung memberi masalah tambahan bagi mereka. Untuk itu bantuan modal dengan skema berbagi resiko (risk sharing) bisa menjadi salah satu solusi.

Presiden Joko Widodo pada April lalu memberikan stimulus bantuan modal kerja untuk 23 juta UMKM yang belum pernah mendapatkan pembiayaan. Besaran program pemulihan ekonomi tersebut mencapai Rp 150 triliun untuk membantu UMKM membayar utang dan mendapatkan modal tambahan.

Tapi penelitian terakhir menunjukkan bahwa mayoritas UMKM lebih memilih untuk menerima bantuan modal ketimbang keringanan utang semata.

SEBI Islamic Business & Economics Research Center (SIBERC) melakukan survei pendahuluan terhadap 112 UMKM pada bulan April lalu. Hasilnya dari 73,2% responden yang menjalankan usaha dengan domisili zona merah di Jakarta, Bogor, Depok dan Tangerang, dan Bekasi, sekitar 35,7% responden berharap ada bantuan modal untuk bisa melalui masa sulit akibat pandemi ini.

Sebanyak 44,6% responden menyatakan pendapatan usaha mereka turun 50%, sedangkan 35,7% lainnya berkurang penerimaan hampir seluruhnya. Kondisi tersebut tentu sangat memberatkan terutama bagi usaha mikro dan kecil sehingga membutuhkan tambahan modal yang sulit didapat dari lembaga keuangan formal pada masa pandemi ini.

Berbagi risiko tidak memberatkan debitur

Salah satu cara UMKM mendapatkan bantuan permodalan adalah dengan mendapatkan pinjaman dengan skema berbagi risiko (risk-sharing).

Skema ini memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan utang konvensional.

Pengembalian pinjaman dan keuntungannya diperhitungkan berdasarkan keuntungan yang didapatkan. Jika usaha kecil mengalami kerugian bukan karena kesengajaan, maka rugi tersebut juga dibagi kepada para mitra sesuai kesepakatan. Sehingga lebih adil bagi kedua belah pihak.

Ini juga bisa memastikan sektor keuangan sejalan dengan ekonomi, tidak menciptakan gelembung penyebab krisis keuangan karena semua berdasarkan keuntungan riil yang terjadi.

Skema ini juga bisa mencegah pinjaman yang mempunyai syarat yang merugikan sebagai kompensasi kepada investor, karena penentuannya berdasarkan kinerja aktual dari aktivitas ekonomi riil.

Dengan pinjaman berbagi risiko ini, UMKM yang pendapatannya tidak menentu selama pandemi bisa membayar angsuran pinjaman mereka.

Saat ini, institusi yang banyak menggunakan skema risk-sharing adalah lembaga keuangan syariah. Di Indonesia sendiri, perbankan syariah telah memberikan lebih dari 70% pembiayaannya untuk UMKM.

Secara spesifik untuk pelayanan terhadap usaha mikro, terdapat lebih dari 5.500 Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang merupakan Lembaga Keuangan Mikro Syariah berbasis koperasi yang sangat khas Indonesia.

Sejak tahun 1980 institusi ini sudah melaksanakan perannya dengan jumlah nasabah lebih dari 10 juta orang, dan membuat Indonesia menjadi salah satu pemain utama dan acuan di pasar pembiayaan mikro syariah.

Apa yang pemerintah harus lakukan

Usaha kecil membutuhkan bantuan keuangan berbasis modal (ekuitas).

Dalam hal ini, pemerintah dapat menggunakan skema berbagi risiko ini melalui kerja sama dengan Lembaga Keuangan Syariah untuk mengoptimalkan segala sumber dana, baik sosial maupun komersial.

Skema ini luput secara detail dimasukkan oleh pemerintah dalam stimulus untuk UMKM.

Pangsa pasar keuangan syariah yang relatif kecil, yakni tidak sampai 10%, kemungkinan membuat pemerintah setengah hati untuk mengikutsertakan industri ini dalam menopang sektor UMKM.

Akan tetapi, dengan rekam jejak dan potensi besar keuangan syariah yang ada, terutama dengan keberadaan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah yang juga dinahkodai langsung oleh presiden, maka sepatutnya skema ini menjadi alternatif utama.

Prinsip kerja sama berbasis bagi risiko ini cocok dengan kebutuhan usaha kecil. Apalagi dengan dukungan platform digital (fintech) yang berbasis kecerdasan, skema ini bisa menjadi terobosan penting dalam persiapan pembentukan tatanan baru (new normal) permodalan UMKM di Indonesia.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terdapat 113 platform teknologi keuangan (Fintech) yang berpeluang menerapkannya. Mereka terdaftar dan mendapat pengawasan OJK. Lima di antaranya beroperasi dengan prinsip syariah, yakni Investree, Ammana, Danasyariah, Danakoo, dan Duha Syariah.

Platform syariah juga berpeluang besar menjadi sumber pendanaan bagi UMKM. Tidak hanya dari basis ekuitas atau modal komersial. Dana sosial seperti zakat dan wakaf juga berpotensi menguatkan permodalan usaha kecil yang terdampak pandemi. Platform digital zakat dan wakaf akan menjadi terobosan penting dalam mendukung tatanan baru bagi UMKM.

Platform ini dapat mempertemukan usaha kecil dengan investor secara langsung, sehingga memperkecil biaya modal yang akan menjadi beban keuangan usaha kecil. Apalagi dengan kemajuan kecerdasan buatan, investasi fintech syariah berbasis kecerdasan buatan akan menjadi jalan keluar atas persoalan keuangan usaha kecil dalam jangka panjang.The Conversation

Ai Nur Bayinah, Lecturer in Islamic Accounting & Finance, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: