Trevino Pakasi, Universitas Indonesia

Setelah didesak ratusan ahli, pada 8 Juli Badan Kesehatan Dunia (WHO) merevisi pendapat mereka yang sebelumnya menyatakan virus penyebab Covid-19 tidak bisa menyebar melalui aerosol, partikel yang sangat kecil yang bisa terbawa angin di udara.

Pernyataan ini menambahkan daftar faktor penularan Covid-19 yang perlu diperhatikan masyarakat, petugas medis, dan pemerintah. Artinya, langkah-langkah pencegahan yang telah direkomendasikan sebelumnya tidak cukup untuk menghindari risiko penularan virus jenis baru SARS-CoV-2.

Pembatasan jarak fisik dan penggunaan masker mungkin tidak akan menurunkan pertumbuhan kasus baru selama era normal baru. Pengelola gedung, alat transportasi dan fasilitas umum lainnya, juga kita, perlu memperhatikan kualitas udara ruangan.

Menyebar lewat droplet dan aerosol

Sejak awal pandemi, WHO berkukuh bahwa virus tersebut menyebar dengan cara mendompleng pada droplet (lendir/cairan yang keluar dari mulut/hidung) yang hanya bisa terbang maksimal 2 meter tanpa pengaruh angin. Ukuran droplet setidaknya 5 mikron. Satu mikron ini besarnya ibarat benda berukuran 1 milimeter dibagi seribu.

Namun riset terbaru menunjukkan virus yang terkandung dalam partikel yang lebih kecil dalam bentuk aerosol terbukti dapat bertahan dan ditransmisikan lebih jauh, serta dapat mencapai saluran napas bawah, yang kemungkinan besar berhubungan dengan tingginya kematian pasien. Aerosol berukuran kurang dari 5 mikron.

Perbandingannya, droplet hanya bisa terbang mencapai 1-2 m meter dalam waktu 6 detik, sementara aerosol dapat melayang mencapai 6 meter dalam waktu 1 detik.

Edukasi tentang etika batuk selama ini membentuk opini bahwa batuk atau bersin hanya membentuk droplet, padahal sebuah artikel yang merupakan hasil telaah beberapa penelitian menyatakan partikel droplet maupun aerosol dapat keluar pada saat seseorang berbicara.

Baik droplet maupun aerosol dapat bertahan di udara dan permukaan, membawa virus yang masih dapat menginfeksi manusia.

Artinya pada kondisi tanpa gejala (batuk, bersin), seorang pembawa virus SARS-CoV-2 (termasuk orang tanpa gejala) dapat menyebarkan virus ketika berbicara. Hembusan napas, bersin, dan batuk melepaskan awan gas, droplet dan aerosol dengan berbagai ukuran.

Sejumlah riset terbaru menyimpulkan bahwa selain ukuran partikel, arah angin, polutan dan sistem ventilasi ruangan juga mempengaruhi transmisi virus baru ini.

Riset lainnya, meskipun masih bisa dianggap sebagai pernyataan pakar (non peer-reviewed article), menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi transmisi virus ini adalah kualitas udara.

Jarak dua meter tidak cukup

Saran WHO untuk pembatasan jarak fisik satu hingga dua meter dengan mempertimbangkan virus menyebar melalui droplet berukuran 5 mikron atau lebih besar tersebut, kemungkinan kurang tepat.

Dalam kondisi berangin, menjaga jarak dua meter tidak akan cukup untuk mencegah seseorang tidak menghirup droplet apalagi aerosol yang dikeluarkan orang lain, terlepas dari ada tidaknya virus tersebut di dalamnya.

Karena ukuran dan beratnya, droplet besar (400-900 mikron) dapat menyebar dengan radius 2–5 meter selama 2,3 detik. Droplet kecil (100–200 mikron) bisa terbang mencapai 8–11 meter bila dibantu angin.

Sebuah penelitian di Belanda melaporkan virus SARS-CoV-2 stabil selama tiga jam di udara dalam bentuk aerosol. Dalam konteks ini, radius persebaran aerosol sulit diprediksi karena aerosol lebih ringan sehingga dapat melayang-layang di udara selama beberapa jam dan dapat diterbangkan angin.

Dalam penelitian di rumah sakit di University Nebraska, aerosol dapat ditemukan di berbagai ruangan yang bisa menggambarkan jauhnya penyebaran aerosol.

Selain karena partikel halus yang dikeluarkan pada aktivitas pernapasan, droplet dan aerosol masih menyebar karena faktor ukuran dan arah angin.

Peran polusi udara

Hembusan aerosol dari pasien yang terinfeksi SAR-CoV-2 semakin berisiko di daerah-daerah dengan tingkat polusi udara tinggi. Berbagai penelitian mendukung kesimpulan bahwa transmisi aerosol yang mengandung virus SARS-CoV2 dapat mendompleng partikel-partikel halus nan kecil polutan di udara.

Ukuran partikel yang lebih kecil menyebabkan inti partikel tersebut dapat mencapai saluran napas bawah bahkan alveoli (tempat pertukaran udara di paru).

Penelitian di Italia dan Jerman melaporkan partikel polutan di udara dapat menjadi pembawa virus.

Penelitian Luigi Marteletti dari City University of London menggambarkan hubungan antara polusi, ukuran partikel yang kecil dan banyaknya infeksi.

Marteletti mengumpulkan kasus-kasus Covid-19 yang dibandingkan dengan wilayahnya. Ia menyimpulkan bahwa polusi udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi Covid-19.

Sejalan dengan hal itu, laporan dari Amerika Serikat juga menggambarkan pengaruh pencemaran udara terhadap tingkat kematian pasien Covid-19.

Kasus-kasus kematian yang umumnya disebabkan oleh sindrom kesulitan nafas akut berkorelasi dengan masuknya partikel-partikel halus ke dalam saluran napas sampai ke alveoli di daerah-daerah dengan polusi tinggi.

Kualitas udara dalam ruangan

Ada temuan yang mengejutkan di Wuhan, kota pertama yang di dunia yang menjadi episenter Covid-19. Sebuah riset di sana menyatakan area berventilasi buruk dalam rumah sakit, seperti di toilet dan ruang ganti dokter, ditemukan dengan konsentrasi tinggi RNA (asam ribonukleat) SARS-CoV-2 dalam bentuk aerosol (0,25–1 mikron dan > 2,5 mikron).

Temuan ini menekankan pentingnya sistem penghangat ruangan, ventilasi, dan pendingin ruangan (HVAC). Sistem HVAC yang tidak dipelihara baik justru menjadi sumber penularan.

Sebagai contoh, penelitian di sebuah restoran di Cina menunjukkan peran ventilasi dan AC dalam penularan virus. Di dalam restoran tersebut, seseorang yang terinfeksi SARS-CoV–2 duduk dari arah AC dan dia menularkan pada orang-orang yang duduk mengikuti aliran angin AC tersebut.

University of Nebraska Medical Center AS meneliti contoh udara dan kontaminasi SARS-CoV-2 di dalam ruang isolasi dan juga di lorong-lorong rumah sakit universitas tersebut. Hal ini memberi pesan bahwa virus dapat menyebar di lingkungan sekitar pasien dalam bentuk aerosol.

RNA virus juga ditemukan di permukaan telepon seluler, toilet, meja samping ranjang dan peralatan olahraga yang digunakan pasien.

Lalu bagaimana?

Dalam sejarah pandemi yang pernah dinyatakan oleh WHO, SARS-CoV-2 merupakan pandemi terbesar yang menular dalam waktu relatif singkat.

Hanya dalam enam bulan terakhir, lebih dari 11 juta orang di berbagai negara terinfeksi virus ini. Lebih dari 500 ribu di antaranya meninggal.

Cukup jelas bahwa beberapa variabel di atas mempengaruhi transmisi virus corona.

Pandemi belum akan berakhir dan dalam konteks Indonesia, tiap hari kasus baru bertambah.

Di sisi lain, dengan alasan ekonomi, masyarakat mulai beraktivitas. Untuk mengurangi meluasnya penularan, pemerintah meminta masyarakat menjaga jarak fisik, menggunakan masker dan kerap mencuci tangan dengan sabun.

Pada 9 Juli WHO telah menerbitkan penjelasan yang lebih detail mengenai penyebaran SARS-CoV-2 melalui aerosol.

WHO telah berkomentar baru-baru ini mengenai penyebaran aerosol, tapi WHO masih mempertanyakan validitas hasil riset-riset tersebut. Beberapa minggu yang lalu WHO menyatakan kemungkinan penyebaran aerosol pada prosedur medis di rumah sakit. Publikasi terakhir WHO ini menyatakan kemungkinan penyebaran virus via udara di masyarakat.

Di tengah kontroversi ini, ada satu yang terlupakan dalam pengendalian kesehatan jika kita melihatnya dari kacamata kesehatan dan keselamatan kerja (K3), yaitu pengendalian lingkungan. Penyakit-penyakit yang menular lewat udara, baik karena kontak langsung via droplet atau udara via partikel aerosol, membutuhkan pengendalian lingkungan. Hal ini hanya bisa dicapai kalau kita membersihkan udara di ruang kerja atau rumah kita.

Dalam kedokteran penggunaan alat penyaring udara untuk menahan partikel halus (HEPA filter) sudah biasa dilakukan di ruangan isolasi. Penggunaan alat ini sepertinya sudah harus diperluas untuk memperbaiki kualitas udara ruang kerja atau rumah kita.

Perilaku lainnya yang sudah dianjurkan WHO dan Kementerian Kesehatan tetap harus dijalankan. Kita tetap harus memakai masker, menjaga jarak fisik, dan mencuci tangan pakai sabun.

Bagi tenaga kesehatan harus tetap menggunakan alat pelindung diri (APD), melepaskan APD dan pengelolaan APD yang terinfeksi, dan memperhatikan faktor kerentanan diri petugas dan pasien (seperti pengidap hipertensi dan diabetes miletus) terhadap infeksi Covid-19.


Levina S. Pakasi, Executive Board Counselor Member, Asia-Pacific Travel Health Society, berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Levina juga terafiliasi dengan Faculty of Travel Medicine, Royal College of Physicians and Surgeons of Glasgow, United Kingdom; dan Direktur, Travel and Adventure Medicine of Asia (TAMASIA).The Conversation

Trevino Pakasi, Lecturer at Department of Community Medicine Faculty of Medicine, Universitas Indonesia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: