Diastama Anggita Ramadhan, Universitas Diponegoro

Sejak 31 Maret 2020, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menyatakan kondisi darurat kesehatan terkait wabah COVID-19 yang berdampak pada berbagai sektor kegiatan baik perekonomian dan sosial kemasyarakatan.

Jokowi menyatakan darurat kesehatan nasional melalui sebuah Keputusan Presiden (Keppres). Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) untuk pelaksanaan PSBB.

Secara de facto, Indonesia kini berada dalam masa hukum tata negara darurat, sehingga hukum nasional yang tidak berlaku seperti dalam kondisi normal.

Pelaksanaan hukum darurat ini membolehkan negara untuk melakukan hal-hal di luar prinsip hukum umum, termasuk mengesampingkan kewenangan otonomi daerah.

Sayangnya, status darurat yang diberlakukan menafikan pengetahuan dan kemampuan pemerintah daerah dalam proses penanganan pandemi.

Pemerintah daerah yang seharusnya menjadi ujung tombak penanganan pandemi justru tidak dapat membuat keputusan sendiri dan bergantung pada keputusan pemerintah pusat.


Baca juga: Enam alasan mengapa orang Papua menolak pemekaran


Tidak sejalan

Selama masa darurat, pemerintah daerah banyak terkekang pemerintah pusat.

Dalam menetapkan PSBB di suatu wilayah, misalnya, gubernur, bupati, atau walikota setempat harus membuat permohonan pada Menteri Kesehatan. Hal ini menyebabkan panjangnya waktu yang harus dijalani oleh Pemerintahan Daerah, dimana segala sesuatunya dalam keadaan Pandemi ini harus dijalankan secara cepat dan tepat.

Contoh lain, pemerintah pusat memutuskan secara sepihak untuk mengganti model proses belajar mengajar, padahal tidak seluruh siswa di segala tingkat pendidikan dapat mengikutinya.

Dinas pendidikan di tingkat daerah tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi masing-masing daerahnya.

Meski dilegalkan dalam kondisi darurat, kekang pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah di atas berlawanan dengan semangat otonomi daerah yang sudah lama diperjuangkan sejak reformasi.

Otonomi daerah adalah salah satu prinsip dasar yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak boleh dilanggar.

Konstitusi sendiri merupakan kesepakatan mengenai prinsip yang dianut oleh bangsa Indonesia.

Dalam hal otonomi daerah, Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 telah menjelaskan secara jelas bahwa otonomi daerah dijalankan secara seluas-luasnya kecuali urusan yang secara nyata telah ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

Selama kesepakatan tersebut belum berubah, maka konstitusi tetap berlaku dan wajib dihormati seutuhnya.

Otonomi daerah bertujuan untuk memberikan keleluasaan agar daerah mampu memaksimalkan potensinya, sehingga ketimpangan antar daerah yang terjadi dapat ditekan.

Tapi keleluasaan tersebut ditarik kembali selama pandemi yang akhirnya menyebabkan perlambatan pelaksanaan penanganan pandemi di daerah.

Pembukaan kembali bandar udara, pergerakan penduduk dengan persyaratan khusus, dan tetap beroperasinya kereta Commuter Line di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) adalah beberapa contoh ketidakharmonisan hubungan pusat dengan daerah yang bersama-sama berperang melawan wabah.

Pemerintah daerah dibuat tidak berdaya untuk menghentikan beberapa keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat.


Baca juga: Janji pemerintah untuk melindungi hak masyarakat adat belum terwujud: 2 hal yang perlu dilakukan


Pentingnya kolaborasi

Dalam masa pandemi, kolaborasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah seharusnya dapat tercipta.

Kolaborasi sangat penting karena pemerintah daerah lebih memahami kondisi sosial kemasyarakatan, budaya, geografis, dan segala aspek terkait daerah mereka, sehingga mereka dapat merumuskan strategi yang tepat untuk melawan pandemi ini untuk masyarakat masing-masing.

Bentuk kolaborasi tersebut merupakan salah satu dari tiga model hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah.

Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah yang pertama adalah bentuk model relatif di mana pemerintah pusat memberikan kebebasan pada pemerintah daerah dengan tetap memberikan pengakuan terhadap pemerintah pusat.

Selain itu, ada model agensi yaitu ketika pemerintah daerah hanya sebagai agen dan pelaksana teknis dari kebijakan-kebijakan yang seluruhnya dibuat oleh pemerintah pusat lalu ada model interaksi yang merupakan bentuk model yang paling fleksibel.

Dalam model interaksi, pemerintah pusat memberikan kebebasan yang amat luas kepada daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan, selama kebijakan tersebut dianggap menguntungkan kedua belah pihak.

Dari ketiganya, model relatif menjadi model yang disepakati oleh pemerintah Indonesia sebagai proses pelaksanaan otonomi daerah.

Meski dalam kondisi otonomi daerah, pemerintah pusat dapat menjadi dominan sehingga bisa memiliki imunitas untuk melakukan tindakan-tindakan di luar kewajaran dalam praktik hukum darurat, seperti yang diungkap oleh William Nicholson, seorang profesor hukum di North Carolina Central University, Amerika Serikat.

Imunitas ini kemudian membuat negara dan perangkatnya tidak dapat dituntut secara hukum.

Namun Nicholson juga mengatakan bahwa imunitas tersebut harus dijalankan berdasarkan prinsip kehati-hatian yang mengutamakan kepentingan publik.


Baca juga: Kapasitas beberapa pemerintah daerah naik dalam mengelola pendidikan dasar, apa pendongkraknya?


Upaya pencegahan

Ke depan, perlu ada solusi untuk mencegah dominasi pemerintah pusat atas pemerintah daerah khususnya dalam kondisi darurat negara, selain dari kondisi darurat militer.

Perlu ada peraturan perundangan yang secara lebih spesifik untuk mengatur hubungan antara dengan hubungan pusat dan daerah, terutama dalam keadaan darurat.

Indonesia belum memiliki regulasi baik undang-undang maupun segala tata aturan pelaksananya yang mengatur kondisi darurat negara.

Undang-Undang (UU) No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hanya mengatur adalah mengenai perubahan anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam kondisi darurat.

Tanpa harus membuat UU baru, pemerintah dapat merevisi UU No. 23 tahun 2014 dengan memberikan desentralisasi secara luas sebagaimana amanat UUD 1945, tidak hanya dalam hal realokasi anggaran namun juga pada pengambilan kebijakan oleh pemerintah daerah.

Harapannya, pemerintah pusat dan daerah bisa bersinergi menghadapi situasi darurat kesehatan nasional, dan pemerintah pusat tetap bertindak dalam koridor konstitusi.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.The Conversation

Diastama Anggita Ramadhan, Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Universitas Diponegoro

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: