Alexander Soeriyadi, University of South Wales; Ronny Martien, Universitas Gadjah Mada , dan Veli Sungono, Universitas Pelita Harapan

Para peneliti sedang menyelidiki apakah vaksin anti-TBC, bacillus Calmette-Guérin (BCG), yang digunakan sebagai proteksi dari berbagai penyakit infeksi saluran pernapasan, dapat juga digunakan untuk melawan COVID-19.

Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa dampak COVID-19 di negara-negara yang tidak melakukan vaksin BCG – yang telah digunakan sejak 1921 untuk mencegah infeksi TBC, nyatanya lebih parah, ditandai dengan kasus terjangkit lebih banyak dan angka kematian yang lebih tinggi.

The Serum Institute di India, sejak April lalu, mulai melakukan uji klinis berskala besar, dan telah mengetes 6.000 individu yang berisiko tinggi terjangkit virus corona, termasuk petugas kesehatan dan mereka yang pernah melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi.

Peneliti-peneliti di Australia dan Eropa juga sedang melakukan penelitian serupa mengenai potensi vaksin BCG dalam melindungi individu-individu yang lebih rentan terhadap infeksi COVID-19, seperti lansia dan para pekerja kesehatan.

Indonesia merupakan salah satu dari 17 negara di dunia yang memproduksi vaksin BCG. Maka dari itu, Indonesia perlu melakukan uji klinis skala besar untuk menguji potensi BCG sebagai vaksin COVID-19.

COVID-19 di negara-negara yang melakukan vaksin BCG

Dampak COVID-19 bervariasi pada setiap negara, terutama jika dilihat dari jumlah kasus dan angka kematiannya. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kemampuan dalam melakukan pengetesan, faktor demografi dan ekonomi, kualitas sistem kesehatan, dan kebijakan lockdown yang diterapkan.

Selain itu, faktor lainnya yang juga dapat menjelaskan variasi ini – walau tidak sepenuhnya, adalah jika negara tersebut memiliki program vaksin BCG nasional yang dilakukan sejak masa kanak-kanak.

Kami telah mengumpulkan data terbaru (hingga 3 Juni) yang membandingkan program vaksin BCG di berbagai negara dengan angka kasus dan angka kematian COVID-19 di negara tersebut.

Data tersebut menunjukkan bahwa negara-negara yang tidak menerapkan kebijakan wajib vaksinasi BCG nasional, seperti di Italia, Belanda, Belgia, dan Amerika Serikat, nyatanya mengalami dampak yang lebih parah (ditandai dengan angka kasus terjangkit dan angka kematian yang lebih tinggi), jika dibandingkan dengan negara-negara yang menerapkan program vaksin BCG secara universal sejak lama.

Hal ini terlepas dari fakta bahwa negara-negara tersebut dianggap sebagai negara-negara berpenghasilan tinggi. Data ini juga menunjukkan bahwa negara-negara dengan program vaksinasi BCG universal mengalami penurunan jumlah kasus COVID-19 secara lebih cepat. Maka dari itu, kombinasi dari adanya penurunan angka kasus dan kematian COVID-19, menjadikan vaksinasi BCG sebagai alat baru yang potensial yang dapat digunakan untuk memerangi COVID-19.

Hubungan antara vaksinasi BCG dan kematian akibat COVID-19. Kematian per satu juta jiwa hingga 3 Juni ditunjukkan pada tabel di atas. Data diambil dari Miller A, et al Correlation between universal BCG vaccination policy and reduced morbidity and mortality for COVID-19: an epidemiological study, MedRvix, 2020 and www.worldometers.info/coronavirus

Saat ini, negara-negara yang tidak atau belum memiliki kebijakan BCG universal memiliki jumlah angka kematian COVID-19 per satu juta penduduk yang tertinggi. Tingkat kematian yang tinggi di negara-negara seperti Spanyol, Swiss, dan Swedia mungkin dapat dikaitkan dengan adanya penghentian vaksinasi BCG universal pada 1980-an.

Apa yang harus dilakukan oleh Indonesia

Perlu dicatat bahwa penelitian tentang COVID-19 dapat berubah-ubah, karena berbagai negara sedang berada pada tahap pandemi yang berbeda-beda. Maka dari itu, data perlu diperbarui dan dianalisis dengan sesuai perkembangan.

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia sempat menyatakan belum ada bukti tentang efektivitas vaksinasi BCG pada COVID-19. Namun, organisasi ini sedang mengamati dua uji klinis yang dilakukan di Australia dan Belanda.

Namun, mengingat peran potensial dari BCG dan kepentingan strategis untuk mencari cara perlindungan terhadap COVID-19, kami merekomendasikan Indonesia untuk:

  1. mengeksplorasi peran potensial BCG dengan melakukan uji klinis sendiri

  2. segera mengeluarkan kebijakan yang mendorong kelompok berisiko tinggi seperti petugas kesehatan untuk melakukan vaksin BCG ulang.

  3. mempersiapkan perluasan produksi BCG, dengan cara menjamin tersedianya bahan baku untuk mendukung pasokan vaksin BCG di dalam negeri dan internasional.

Indonesia merupakan salah satu dari 17 negara yang mampu untuk memproduksi vaksin BCG. Indonesia juga termasuk dalam sepuluh negara yang memasok vaksin BCG di luar wilayah domestik. Pabrik yang memproduksi vaksin BCG di Indonesia adalah Biofarma, yang merupakan sebuah badan usaha milik negara.

Sejak 1999, Indonesia telah menerapkan program vaksinasi BCG untuk anak-anak - akibat tingginya risiko TBC. Diperkirakan, cakupan BCG untuk bayi yang baru lahir (0-2 bulan) telah mencapai angka 92,2%.

Namun, kasus tuberkulosis di Indonesia masih sangat tinggi. Terdapat 395 kasus positif per 100.000 kasus. Cakupan vaksin BCG yang mungkin masih rendah bagi untuk keluarga menengah ke bawah dapat menjadi salah satu alasannya.

Maka dari itu, penting bagi Indonesia untuk memulai program vaksin BCG ulang.

Membangun kekebalan terlatih

Secara historis, para peneliti merancang vaksin dengan cara mengidentifikasi antigen yang dianggap “sempurna” yang terdiri dari molekul-molekul yang dapat menghasilkan respons jangka panjang dan spesifik terhadap suatu infeksi, yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh. Hal ini yang kemudian menciptakan kekebalan tubuh jikalau berhadapan kembali agen penyebab penyakit yang sama.

Namun, pengembangan dari pendekatan ini membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Dan hingga saat ini, pendekatan semacam ini belum juga mengarah ke pada vaksin yang dapat melawan berbagai virus corona, walau berbagai upaya dalam melawan SARS dan MERS yang dilakukan sejak 2003, telah menggunakan pendekatan ini.

Pendekatan lainnya adalah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh secara luas untuk melawan infeksi dengan cara memicu suatu bentuk memori kekebalan “non-spesifik”, yang disebut kekebalan terlatih. Kekebalan terlatih dapat mempersenjatai berbagai sel dalam melawan berbagai penyakit menular.

BCG merupakan vaksin yang berasal dari bakteri hidup (Mycobacterium bovis) yang dilemahkan, dan tampaknya dapat memicu bentuk kekebalan ini.

Sebuah data menunjukkan bahwa vaksinasi BCG bisa saja memiliki manfaat-manfaat lebih lainnya, di luar pencegahan tuberkulosis. Perlindungan dari infeksi pernafasan yang tidak terkait dengan TBC, serta pengurangan risiko kematian akibat infeksi tersebut, merupakan beberapa manfaat lainnya dari vaksin BCG.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa vaksinasi BCG dapat ‘memprogram ulang’ kekebalan tubuh, dan sering dikaitkan dengan peningkatan perlindungan terhadap berbagai infeksi pernapasan.

Mengingat risikonya yang rendah dan potensi manfaat dari vaksin BCG yang tinggi, maka dari itu, Indonesia perlu memberlakukan program booster BCG (vaksin ulang BCG) dengan segera. Peningkatan kapasitas dalam memproduksi vaksin BCG secara massal juga perlu dilakukan.

Selain itu, Indonesia juga harus segera melakukan uji klinis skala besar untuk menguji apakah BCG dapat menjadi proteksi untuk melawan COVID-19.


Artikel ini ditulis bersama dokter Richard Suwandi yang menjabat sebagai ahli penyakit dalam di Rumah Sakit OMNI.The Conversation

Alexander Soeriyadi, Adjunct Lecturer, University of South Wales; Ronny Martien, Lecturer in Pharmaceutical Sciences, Universitas Gadjah Mada , dan Veli Sungono, Epidemiologist, Universitas Pelita Harapan

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: