Bella Nathania, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Artikel ini merupakan bagian dari seri untuk merayakan HUT DKI Jakarta ke 493, tanggal 22 Juni.


Selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sejak Maret lalu, beredar banyak foto langit kota Jakarta yang biru disertai penampakan pegunungan.

Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengklaim adanya peningkatan kualitas udara Jakarta akibat berkurangnya kuantitas kendaraan yang lalu lalang di daerah Jakarta dan sekitarnya.

Data berbeda datang dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), sebuah NGO yang mengadvokasi permasalahan polusi udara PM2.5, salah satu polutan udara yang berbahaya berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer, di Jakarta pada bulan Maret dan April 2020 masih tetap seperti tahun-tahun sebelumnya.

Partikel halus ini mudah terhirup oleh manusia dan menyebabkan penyakit kronis yang berhubungan dengan paru-paru dan jantung, seperti stroke, kanker paru-paru, dan penyakit jantung iskemik.

Masih tingginya konsentrasi PM2.5 ini berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang ‘mengepung’ kota Jakarta.

Meskipun ada penurunan polutan udara dari sumber bergerak (kendaraan), sumber tidak bergerak (PLTU) masih terus mengeluarkan polutan udara.


Baca juga: Sumber masalah polusi Jakarta: Kebijakan pemerintah yang buruk


Sebagai peneliti hukum lingkungan, saya memandang hal ini bisa terjadi karena masih minimnya informasi atas emisi, terutama dari sumber tidak bergerak, yang bisa diakses secara mudah oleh masyarakat.

Padahal, aturan sudah mewajibkan informasi emisi bisa mudah diakses oleh masyarakat agar mereka juga bisa membuat keputusan, misalnya menggunakan masker saat berada di luar rumah.

Jakarta terkepung PLTU

Jakarta yang akan berulang tahun ke-493 akan menjadi ibu kota negara yang paling banyak dikelilingi oleh PLTU di dunia dalam radius 100 km dengan total 10 PLTU yang beroperasi dan 4 PLTU masih dalam tahap pembangunan berdasarkan data pada pertengahan tahun 2019.

Polusi yang dihasilkan dari 1 PLTU baru setara dengan menambahkan 10 juta kendaraan di jalanan Kota Jakarta.

PLTU mengeluarkan emisi berupa partikel, debu, gas beracun, dan logam berat yang dapat menyebabkan kematian dini akibat penyakit yang menyerang saluran pernapasan, seperti asma dan bronkitis.

Emisi PLTU berupa logam berat dan debu pun juga berisiko mencemari tanah dan air, bahkan mengganggu pertumbuhan tumbuhan yang terdapat di sekeliling PLTU.


Baca juga: Narasi elektrifikasi rezim Jokowi `menutupi` dugaan pelanggaran HAM di sektor batu bara


Akses informasi terbatas

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan butuh peran pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak atas udara bersih.

Peran ini bisa berbentuk membuka akses informasi emisi PLTU bagi publik.

Informasi emisi PLTU merupakan informasi publik yang dijamin oleh UU Keterbukaan Informasi Publik No. 14/2008.

Setidaknya 6 bulan sekali, masyarakat seharusnya dapat dengan mudah mengetahui berapa emisi yang dikeluarkan oleh PLTU.

Terbukanya informasi emisi akan membuka partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan, terutama terkait dengan peningkatan kualitas udara.

Sebagai contoh, informasi emisi dapat menjadi dasar penolakan pembangunan PLTU baru atau sumber tidak bergerak lainnya di Jakarta dan sekitarnya atau memberikan usul kebijakan baku mutu emisi yang lebih ketat.


Baca juga: Kementerian Lingkungan Hidup gagal komunikasikan risiko polusi udara ke warga Jakarta


Saat ini, pemerintah sudah memenuhi hak mendapatkan udara bersih dengan mengeluarkan beberapa aturan.

Pemantauan emisi PLTU sudah tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2019 dengan menggunakan Sistem Pemantauan Emisi atau CEMS (Continuous Emissions Monitoring System).

Sistem yang seharusnya dipasang di setiap PLTU akan memantau secara otomatis emisi sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), partikulat (PM), dan merkuri (Hg). Belum ada data pasti terkait berapa jumlah CEMS yang telah terpasang di PLTU di seluruh Indonesia hingga kini.

Peraturan tersebut mewajibkan pelaku usaha PLTU untuk melaporkan hasil CEMS kepada penerbit izin lingkungan, baik Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, gubernur, atau bupati dan wali kota sesuai dengan kewenangannya, sebanyak 1 kali dalam 3 bulan.

Selain itu, sistem pelaporan akan terintegrasi secara daring (online) paling lambat tahun 2021. Sementara masih membangun sistem ini, maka pelaporan data pemantauan CEMS dilakukan secara manual.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara mewajibkan hasil pemantauan terhadap baku mutu emisi dari segala sumber disebarluaskan kepada masyarakat.

Contohnya, pemantauan kualitas udara ambien (udara bersih tanpa polusi) dapat diakses secara real time oleh masyarakat melalui aplikasi seperti AirVisual.

 

Sayangnya, model ini belum bisa sepenuhnya terlaksana untuk emisi PLTU karena masih manual.

Tahun 2019, media melaporkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah memasang CEMS di PLTU milik mereka, namun tidak ada keterangan lebih lanjut di mana saja atau PLTU yang mana yang sudah memiliki alat monitor ini.

Peraturan di Indonesia juga telah mencantumkan sanksi pidana bagi badan publik yang tidak memberikan, menyediakan, atau tidak menerbitkan informasi publik secara berkala, yaitu kurungan paling lama 1 tahun dan/atau denda sebanyak 5 juta rupiah sejak tahun 2008.

Akan tetapi, penerapan kurang efektif karena sanksi pidana sebagai upaya hukum paling akhir (ultimum remedium) seandainya upaya administrasi tidak berjalan.

Biasanya, sengketa informasi akan diselesaikan melalui Komisi Informasi dan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).

Sebelumnya, pelaku usaha akan dikenakan sanksi administratif, mulai dari teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, hingga pencabutan izin lingkungan apabila tidak melaporkan emisi secara berkala.

Belajar dari Cina

Tahun 2008, Cina menghadapi kondisi smog atau kabut tebal terparah yang sempat mengancam penyelenggaraan Olimpiade di Beijing. Ratusan pabrik harus berhenti berproduksi untuk mengurangi polusi udara.

Selain itu, pemerintah Cina mulai beralih dari batu bara untuk mengaliri listrik ke tenaga terbarukan. Dari pengalaman ini, Kementerian Perlindungan Lingkungan Hidup Cina memerintahkan PLTU, sumber emisi tidak bergerak, untuk mempublikasikan pemantauan emisi secara real time.

Sejak tahun 2014, masyarakat bisa langsung mengakses informasi emisi dari PLTU secara daring.

Upaya ini berhasil mengurangi polusi secara signifikan di negara tersebut karena mampu meningkatkan partisipasi publik dan mendorong pembuatan kebijakan yang berbasis data.

Rata-rata emisi SO2, NOx, dan PM menurun sebanyak 2,82%, 2,79%, dan 3,65% setiap bulannya antara tahun 2014-2017.

Indonesia bisa menerapkan beberapa cara akses informasi yang dilakukan oleh Cina, yaitu :

1) Penyebaran informasi emisi PLTU melalui website atau aplikasi seperti yang dilakukan oleh Cina. Bagi yang memiliki akses internet terbatas, informasi ini dapat disebarkan melalui televisi atau pengumuman secara real time di kantor desa dan kelurahan.

2) Salah satu faktor yang menyebabkan suksesnya diseminasi informasi emisi di Cina adalah insentif anggaran dari pemerintah bagi daerah yang mampu menurunkan tingkat pencemaran udara secara signifikan.

Total penambahan anggaran daerah yang ditawarkan adalah sebesar US$1,65 miliar (Rp23 triliun).

Ini bisa diterapkan di Indonesia melalui Dana Insentif Daerah (DID) yang memang diperuntukkan bagi daerah yang mampu meningkatkan kinerja pada bidang-bidang tertentu, misalnya laporan keuangan yang wajar tanpa pengecualian, peningkatan investasi, pendidikan, dan pengelolaan sampah.

Apabila pemerintah memang peduli dengan pemenuhan hak atas udara bersih, sangat mungkin bagi pemerintah untuk menambahkan peningkatan kualitas udara dalam kategori kinerja yang dinilai untuk memperoleh DID.

Hak atas udara bersih

Selama ini, hak atas udara bersih belum mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat itu sendiri.

Padahal, tidak terpenuhinya hak atas udara bersih akan mempengaruhi pemenuhan hak asasi lainnya, seperti hak atas penghidupan yang layak, hak hidup, hak atas kesehatan, hak atas air bersih, hak atas pangan, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.The Conversation

Bella Nathania, Research Assistant, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: