Martijn van der Kamp, Monash University

Tiga puluh lima ilmuwan perempuan dari lembaga penelitian terkemuka di Eropa dan Amerika bagian utara baru-baru menulis sebuah artikel bersama berjudul “Women in science are battling both COVID-9 and patriarchy (Perempuan dalam sains sedang melawan COVID-19 dan patriarki).”

Artikel tersebut adalah seruan pada komunitas global bahwa “… pandemi telah memperburuk ketidaksetaraan gender dan ras yang telah lama berakar dalam ilmu pengetahuan yang mendorong banyak dari kita untuk mengatakan, ‘cukup sudah’”.

Kolaborasi internasional adalah bagian penting dalam sains saat ini, dan dalam bidang-bidang tempat kita secara aktif berusaha menciptakan ruang yang setara bagi semua.

Elsevier, perusahaan penerbit dan analisa sains, tentang gender dalam lanskap penelitian global melaporkan bahwa meskipun ada peningkatan kolaborasi internasional dalam 20 tahun terakhir, perempuan lebih kecil kemungkinannya dibanding laki-laki untuk berkolaborasi secara internasional dalam publikasi penelitian.

Ketimpangan ini berkaitan dengan adanya “tembok kaca” - yaitu hambatan yang dihadapi perempuan dalam bidang mereka, termasuk struktural, sosial, budaya, dan pendanaan - yang mencegah perempuan untuk terlibat dalam kolaborasi internasional.

Bagaimana menangani isu ketidaksetaraan gender dalam kolaborasi penelitian internasional? Kami akan berbagi beberapa pengalaman kami dalam membangun tim peneliti internasional yang kolaboratif dan inklusif.


Baca juga: Di tengah pandemi COVID-19, representasi perempuan dalam sistem kesehatan masih rendah


Menghancurkan “tembok kaca”

Jess Hill, jurnalis investigatif pemenang penghargaan asal Australia, menggambarkan patriarki sebagai “… sebuah kerangka utama yang tak terlihat, yang mengatur bagaimana kita hidup.”

Pada dasarnya, patriarki adalah sebuah sistem yang mencakup nilai, kepercayaan, sikap, dan perilaku yang bersama-sama menciptakan kerangka utama, budaya.

Sebuah budaya yang (seringkali secara tidak sadar dan tidak langsung) menganggap normal bahwa laki-laki lebih diutamakan ketimbang perempuan. “Tembok kaca” adalah contoh utama dari budaya ini.

Menurut laporan Knowledge Sector Initiative, pada tahun 2017, 44% staf akademik di universitas di Indonesia adalah perempuan, tapi hanya 20% yang menjadi guru besar .

Laporan Universities Australia 2016 menunjukkan pola yang sangat mirip juga terjadi di Australia.

Jelas, kedua negara menghadapi masalah partisipasi perempuan dalam ilmu pengetahuan.

Pada tahun 2019, pemerintah Australia mendanai Kemitraan untuk Penelitian Australia-Indonesia (Partnership for Australia-Indonesia Research/, PAIR), sebuah program penelitian multidisiplin yang besar.

Dalam pengalaman kami menyelenggarakan PAIR dan program penelitian bilateral lainnya, kami menggunakan tiga prinsip yang kami gunakan untuk membuat tim penelitian inklusif dan berupaya menghancurkan “tembok kaca” ketidakadilan bagi perempuan: proses seleksi, struktur, dan rancangan.

Seleksi adalah bagian penting dari tahap pembentukan tim PAIR. Proses kompleks ini melibatkan proses membangun kepercayaan, memahami prioritas kelembagaan, dan memahami struktur dan kepentingan kelembagaan yang kompleks.

Kami harus bekerja sama dengan setiap mitra untuk menyelaraskan prioritas mereka dengan tujuan kami dalam isu keberagaman.

Terkait struktur, salah satu prioritas kami adalah memastikan keterwakilan yang setara di semua tingkatan dalam struktur organisasi dan tata kelola program kami.

Kami menetapkan target bahwa tim manajemen tiap program dan dewan penasihat suatu penelitian diisi setengahnya oleh perempuan.

Kami mencari tahu hambatan perempuan untuk berpartisipasi, lalu membuat penyesuaian yang rasional terhadap proses perekrutan, seleksi, tata kelola, dan penelitian untuk menghapus hambatan tersebut.

Dalam merancang proses penelitian, kami menentukan sejak awal bahwa semua proyek perlu mengidentifikasi dan mengatasi hambatan untuk partisipasi di seluruh proses.

Di semua proyek - jika relevan - data dikumpulkan, dianalisis, dan dipilah berdasarkan gender untuk memberikan bukti yang dapat memperkaya hasil penelitian dan pembuatan kebijakan.

Kami memastikan bahwa proyek penelitian mengidentifikasi dan berkonsultasi dengan kelompok-kelompok perempuan untuk mencerminkan perspektif perempuan.

Para peneliti juga didorong untuk mengeksplorasi berbagai masalah yang berkaitan dengan perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya di dalam penelitian mereka.


Baca juga: Kepala sekolah perempuan di Indonesia: saat ini masih sedikit dan kita butuh lebih banyak


Butuh kerja keras

Ruth Bader Ginsberg, Hakim Agung di Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS), membongkar sebagian dari sistem patriarki dengan menunjukkan bagaimana hukum AS memiliki bias terhadap perempuan.

Tekad Ginsberg yang besar membawanya sampai ke posisi dia sekarang dan pada akhirnya menghasilkan perubahan pada hukum di sana.

Setiap tindakan yang dapat kita lakukan sebagai individu atau bahkan sebagai organisasi mungkin tampak kecil.

Tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh Ginsberg, melalui banyak tindakan kecil, dan tekad untuk mencapai tujuan akhir, hal ini akan menghasilkan perubahan nyata.

Tulisan ini tidak bermaksud menyerang, juga bukan anti-laki-laki.

Tapi artikel kami ini jelas anti-patriarki.

Ini adalah seruan untuk membongkar suatu sistem yang secara teratur menempatkan kekuasaan dan hak istimewa yang sangat besar berada pada sekelompok kecil orang.

Penghapusan patriarki adalah tugas monumental yang telah berlangsung selama beberapa dekade dan membutuhkan upaya berkelanjutan dari seluruh komunitas untuk berhasil, termasuk dari sebagian besar laki-laki.

Menghadapi hambatan berupa “kerangka yang tak kasat mata”, niat baik saja tidak cukup.

Patriarki berakar dalam dan sudah tertanam dalam diri kita sejak dini dan sering berlaku tanpa disadari.

Hanya melalui kegigihan dan usaha kita terus-menerus dan bersama-sama, kita akan dapat membongkar dan menghapus sistem yang berakar dalam ini dan memperkaya semua pekerjaan kita dengan perspektif inklusif.

Aksi perseorangan kita sering tampak kecil atau sepele, tetapi bisa jadi tindakan kecil tapi oleh banyak orang adalah senjata yang diperlukan untuk menghancurkan tembok tersebut.


Kepala Operasional Australia-Indonesia Centre (AIC) Helen Fletcher-Kennedy dan Direktur Eksekutif AIC Eugene Sebastian berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Artikel ini diadaptasi dari artikel asli berbahasa Inggris yang telah terbit di Times Higher Ed.The Conversation

Martijn van der Kamp, Senior Fellow, Monash Business School, Monash University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: