Alloysius Joko Purwanto, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia dan Panayotis Christidis, European Commission`s Joint Research Centre

Merebaknya wabah COVID-19 membuat negara-negara ASEAN menerapkan beberapa kebijakan drastis di sektor angkutan di antaranya lewat pengetatan prosedur masuknya warga negara asing lewat transportasi udara.

Pembatasan terhadap penerbangan domestik dan internasional telah membuat maskapai kehilangan pendapatan yang sangat signifikan.

Di Indonesia, maskapai penerbangan nasional, Garuda Indonesia, memperkirakan pendapatannya tergerus 33% pada tiga bulan pertama tahun ini. Hal ini berarti Garuda hanya akan mendapatkan Rp 11 triliun dibandingkan Rp 16,49 triliun yang diperoleh pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Menurut perkiraan Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA), dibandingkan situasi 2019, maskapai penerbangan di negara-negara ASEAN pada tahun 2020 secara keseluruhan akan mengalami penurunan pendapatan sebesar US$38 miliar .

Untuk pulih dari keterpurukan ini, salah satu strategi yang bisa dilakukan negara-negara di ASEAN adalah mengadopsi perjanjian transportasi udara dengan kawasan lainnya.

Dengan membuat perjanjian tentang pasar penerbangan dengan kawasan lainnya di dunia, maskapai-maskapai penerbangan di ASEAN diharapkan bisa meningkatkan kembali jumlah penumpang dan pendapatan yang tergerus akibat pandemi COVID-19.

Salah satu perjanjian transportasi yang bisa segera diadopsi adalah Perjanjian Transportasi Udara Komprehensif ASEAN-Uni Eropa (EU) yang disingkat ASEAN-EU CATA, yang negosiasinya sedang berjalan.

Mengapa ASEAN-EU CATA penting

Perundingan persiapan perjanjian ASEAN-EU CATA antara Komisi Eropa dan ASEAN ini dimulai sejak 2016 dan sejauh ini sudah ada delapan putaran perundingan yang telah dilakukan.

ASEAN-EU CATA akan menjadi perjanjian penerbangan antar blok pertama pada skala antarbenua dan akan mencakup berbagai penyetaraan regulasi secara bertahap terutama pada aspek akses pasar penerbangan di kedua kawasan di samping aspek-aspek lainnya seperti keselamatan, keamanan, manajemen lalu lintas udara, perlindungan sosial, konsumen dan lingkungan, dan persaingan.

Perjanjian ASEAN-EU CATA merupakan perjanjian transportasi udara terbesar yang ASEAN akan miliki, sebelumnya perjanjian seperti ini hanya berlangsung dengan satu negara, seperti perjanjian transportasi udara ASEAN-Cina.

Bagaimana perjanjian ini bisa membantu

Perjanjian ASEAN-EU CATA dapat membantu pemulihan industri penerbangan ASEAN melalui dua hal:

1. Pemberian hak penerbangan yang lebih luas pada maskapai-maskapai di kedua kawasan tersebut

ASEAN-EU CATA akan memeberikan maskapai-maskapai dari EU dan ASEAN hak penerbangan yang disebut sebagai hak kebebasan penerbangan ke-5 atau fifth freedom flights. Hak ini membuat sebuah maskapai diperbolehkan untuk melayani penerbangan antar dua negara asing yang bukan merupakan negara asal dari maskapai tersebut.

Dengan hak tersebut, Garuda Indonesia, misalnya, bisa terbang dari Denpasar, Bali di Indonesia ke Amsterdam di Belanda dengan transit di Paris. Ketika transit tersebut, Garuda Indonesia dapat mengambil penumpang dan kargo.

Dan begitu pun sebaliknya, maskapai milik salah satu negara Uni Eropa bisa mengambil penumpang dan kargo ketika transit di negara ASEAN.

Perjanjian ini juga akan mempermudah terjadinya kerja sama penerbangan antar dua maskapai atau lebih atau disebut juga dengan codeshare pada rute-rute penerbangan jaringan regional maupun domestik.

Misalnya maskapai Lufthansa milik Jerman bisa memiliki rute Munich - Surabaya, Jawa Timur dimana pesawat Lufthansa hanya akan mengantar sampai Jakarta dan setelahnya penumpang pesawat akan menggunakan pesawat dari maskapai Indonesia ke Surabaya.

Kerja sama seperti ini akan meningkatkan lalu lintas udara antara negara-negara ASEAN dan Uni Eropa. Selain itu, hal ini akan memperkuat posisi bandara di kedua kawasan dan menciptakan permintaan tambahan yang dapat membantu membuka kembali rute-rute yang ditutup karena krisis ekonomi maupun pandemi.

2. Pelonggaran batasan-batasan akses pasar penerbangan

Dengan perjanjian ASEAN-EU CATA, akan lebih banyak maskapai ASEAN dan Uni Eropa yang akan dapat berpartisipasi dalam penerbangan antar bandara penghubung atau disebut hub-to-hub. Hal ini berpotensi menyaingi para pemain Timur Tengah dan kawasan Teluk maupun Turki yang saat ini mendominasi koridor penerbangan ASEAN – Uni Eropa lewat bandara-bandara penghubung seperti di Dubai dan Abu Dhabi di Uni Emirat Arab; Doha di Qatar; atau Istanbul, Turki.

Operator-operator ASEAN dan Uni Eropa yang bersaing pada rute-rute hub-to-hub lainnya akan terstimulasi untuk bekerja sama dalam bentuk joint-venture yang memungkinkan pemasaran bersama maupun pembagian pendapatan, yang pada akhirnya akan mengurangi dominasi operator-operator besar yang ada saat ini. Pada saat yang sama kehadiran pemain baru juga akan mengurangi biaya perjalanan secara rata-rata.

Kemungkinan masuknya pemain-pemain asing ke dalam pasar domestik transportasi udara ASEAN sebaiknya tidak dilihat sebagai hilangnya kedaulatan. Pembukaan rute baru adalah suatu strategi yang cukup realistis untuk diambil guna memulihkan seluruh industri penerbangan saat ini.

Strategi ini juga berpotensi meningkatkan persaingan pasar transportasi udara antarnegara ASEAN maupun di pasar domestik di tiap negara melalui peningkatan efisiensi dan penurunan biaya perjalanan.

Di sisi lain, negara-negara ASEAN mungkin perlu membuat aturan tentang kepemilikan saham maskapai asing yang beroperasi di kawasan nasional masing-masing negara. Investor domestik idealnya menjadi pemegang saham mayoritas agar mendapatkan keuntungan yang baik.

Akhirnya, pemerintah juga harus merumuskan dan menerapkan standar-standar keselamatan dan keamanan angkutan udara untuk menyeleksi maskapai yang beroperasi di pasar. Hal ini akan menjamin terjaganya tingkat pelayanan yang tinggi di tengah persaingan.The Conversation

Alloysius Joko Purwanto, Transport & energy economist, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia dan Panayotis Christidis, Senior Researcher, European Commission`s Joint Research Centre

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: