Luthfi T. Dzulfikar, The Conversation

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro berencana membentuk badan layanan umum (BLU) tahun depan untuk pengelolaan investasi Dana Abadi Penelitian.

Saat ini pengelolaan Dana Abadi Penelitian, yang dibentuk pada awal tahun 2019 dengan modal awal Rp990 miliar, dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP).

“Mungkin sekarang masih masuk akal di bawah LPDP karena jumlahnya masih dikit. Tapi, nanti harus dibentuk sendiri BLU untuk mengelolanya sendiri di bawah Kemenristek,” katanya Kamis (15/05) dalam diskusi online peluncuran buku studi kebijakan “Membangun Penyelenggaraan Pendanaan Penilitian yang Berkelanjutan dan Mandiri” yang disusun oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).

Sebelum pandemi COVID-19 pemerintah berencana menambahkan dana abadi penelitian sebanyak Rp 5 triliun.

Bambang mengatakan bahwa formalisasi kelembagaan dana abadi penelitian akan tertunda karena pandemi COVID-19. Namun, ia berharap dana abadi penelitian ini akan menjadi instrumen utama dalam pendanaan riset kompetitif di masa depan.

Dana abadi penelitian di bawah Kemenristek, terpisah dari LPDP

Inaya Rakhmani, Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia sekaligus Direktur Komunikasi ALMI, dalam diskusi Kamis menyebutkan ada beberapa opsi untuk pengelolaan investasi dana abadi.

“Pertama, investasi bisa tetap di LPDP, tentunya dikoordinasikan Kemenristek. Kedua, bisa dibentuk Badan Layanan Umum (BLU) baru untuk mengelola dananya,” katanya.

Bambang mengatakan bahwa kemungkinan besar, kementerian yang ia pimpin akan mengambil opsi kedua.

Tiga opsi yang diajukan ALMI utuk pengelolaan investasi dari Dana Abadi Penelitian. (Ringkasan Kebijakan: Membangun Penyelenggaraan Pendanaan Penelitian yang Berkelanjutan dan Mandiri), Author provided

“Kalau kita kasih wewenang ke LPDP akan sangat tergantung pada pimpinan LPDP, kemungkinan besar orang [Kementerian] Keuangan, walaupun saya kenal semuanya.”

“Sehingga siapapun yang menitipkan duitnya ke mereka akan kesulitan untuk bisa merealisasikan programnya 100% karena pasti orang Keuangan punya ide dan rambu-rambu sendiri,” tambah Bambang.

DIPI akan punya peran yang lebih besar

Selain skenario di atas, Bambang juga mengatakan bahwa salah satu gagasannya yang sedang dipertimbangkan oleh Kemenristek/BRIN adalah menjadikan Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia, lembaga hibah riset yang dikelola Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, sebagai pengelola investasi ketimbang harus membentuk BLU baru.

Namun, Satryo Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) mengingatkan bahwa hal ini dapat mengancam independensi DIPI dalam menyalurkan dana riset.

“Memang kalau pragmatis kita ingin lihat, ya sudah jadi BLU. Tapi di sisi lain, menjadi BLU berarti bagian dari pemerintah, itu akan mengurangi independensi DIPI,” ujarnya.

Merespons komentar Satryo, Bambang mengatakan bahwa DIPI akan dijamin independensinya. Lembaga tersebut akan diberikan wewenang untuk menentukan prioritas pendanaan riset dasar tanpa intervensi Kemenristek.

Ia juga menyiapkan alternatif lain dari peran DIPI apabila tidak memungkinkan dijadikan sebuah BLU.


Baca juga: Bukan (hanya) soal anggaran. Bagaimana dana riset dibelanjakan juga penting


“Kalau DIPI tidak mungkin jadi BLU sendiri, kita bisa kembalikan rencana seperti awal. Ketika sudah ada BLU untuk dana abadi tersebut, bisa punya semacam unit yang kalau di perusahaan itu ‘Unit Strategi Bisnis’,” katanya.

“DIPI bisa jadi unit strategi tersebut, dan langsung mengelola manfaat dari dana abadi yang masuk. Apabila 70% hasil investasi untuk riset dasar dan 30% untuk inovasi, maka 70% dikelola DIPI.”

Bambang mengatakan berencaana untuk mengalokasikan porsi terbesar hasil investasi tersebut akan diserahkan kepada DIPI sebagai lembaga hibah riset dasar untuk disalurkan kepada peneliti Indonesia secara kompetitif - seperti National Science Fund (NSF) di Amerika Serikat.

Pada akhir tahun lalu, DIPI mengelola portfolio 11 penelitian yang aktif dengan pendanaan total Rp10,5 miliar.

Dengan skema yang dikemukakan Bambang, apabila diasumsikan hasil investasi Rp 5 triliun yang ada sekarang adalah 7% (Rp 350 miliar) dan proporsi riset dasar adalah 70%, maka DIPI akan memegang setidaknya Rp 245 miliar.

Ada porsi dana abadi untuk memantik hilirisasi riset oleh swasta

Berry Juliandi, Dosen Biologi di IPB University, Bogor yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal ALMI mengatakan bahwa keterlibatan pihak swasta yang masih lemah merupakan satu dari enam masalah iklim riset yang dipaparkan di buku studi kebijakan.

“Masih rendah kontribusi industri dan swasta dalam riset. Mungkin kita harus beri contoh dulu dari investasi pemerintah agar swasta lebih bersedia,” katanya.

Pada 2016, industri hanya berkontribusi 9,15% dari total investasi riset Indonesia.

Tahun lalu Indonesia menginvestasikan Rp35,7 triliun (0,24% dari GDP) untuk riset. Angka ini jauh lebih kecil dari Singapura (2,2%), Malaysia (1,3%) dan bahkan Thailand (0,5%).

Menurut studi kebijakan yang dilakukan AIPI, rendahnya kontribusi swasta merupakan salah 1 dari 6 permasalahan iklim riset di Indonesia. (Ringkasan Kebijakan: Membangun Penyelenggaraan Pendanaan Penelitian yang Berkelanjutan dan Mandiri), Author provided

Bambang mengatakan hilirasi riset akan jadi salah satu prioritas dari BLU dana abadi apabila sudah dibentuk.

Ia memberikan gambaran bagaimana hilirisasi ini akan dilakukan.

“Misal Rp 1 triliun untuk hilirisasi, kalau [asumsi hasil investasi] 7% maka 70 miliar. Memang kecil, tapi kalau kita pakai ini untuk penyertaan modal di perusahaan startup teknologi, mudah-mudahan bisa memicu swasta memasukkan juga,” katanya.

“Perusahaan itu nanti tidak hanya bergantung sekian miliar yang diinvestaskan tapi juga bisa memicu sekian miliar lain dari swasta sehingga hilirasinya yang dikembangkan jadi besar.”


Baca juga: Belajar dari Jerman: memajukan riset Indonesia dengan dukungan dari pihak swasta The Conversation


Luthfi T. Dzulfikar, Associate Editor, The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: