Anto Mohsin, Northwestern University

Informasi yang bejibun baik yang akurat maupun tidak benar, termasuk teori konspirasi terkait COVID-19, menyebar dengan cepat dan dalam skala besar di media sosial.

Berkat teknologi internet, baru kali ini informasi palsu (misinformasi) terkait penyakit menyebar dari level lokal ke global dan sebaliknya dengan kecepatan yang luar biasa.

Di Indonesia, misalnya, hingga pertengahan April lalu pemerintah telah mengidentifikasi lebih dari 500 hoaks terkait COVID-19 di media sosial.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebut fenomena hoaks kesehatan ini sebagai infodemi, yang harus dilawan. Misinformasi penyakit yang menular ini telah menjadi masalah global karena bisa mempengaruhi tindakan masyarakat di tengah kondisi obat dan vaksin untuk melawan virus corona belum tersedia.

Hasil riset Julii Bainard dan Paul Hunter dari University of East Anglia Inggris menyimpulkan bahwa misinformasi kesehatan–dalam studi ini fokus pada flu, cacar monyet, dan norovirus (infeksi sistem pencernaan)–dapat membuat wabah suatu penyakit menjadi lebih parah. Menurut Paul orang-orang yang mempercayai informasi bohong ini condong tidak mau melindungi diri mereka sehingga mempersulit penanganan wabah.

Di tengah pandemi yang dahsyat ini kita perlu lebih banyak mendapat informasi yang benar dan kredibel dari para ahli kesehatan dan ilmuwan serta otoritas kesehatan untuk mencegah penularan lebih luas. Walau tidak mudah membandingkannya, tidak semua negara mengambil kebijakan yang efektif dan tepat untuk menekan laju penularan virus.

Dalam konteks saat ini, setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi penyebaran informasi bohong tersebut: insting dasar manusia ingin mengetahui, teknologi komunikasi modern, bias konfirmasi dan ruang gema.

Insting dasar manusia: ingin tahu

Seorang ahli filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara J. Sudarminta menyatakan “kegiatan mengetahui merupakan bagian hakiki dari cara berada manusia”.

Keinginan manusia untuk mengetahui sesuatu hal yang menarik perhatian mereka menjadi salah satu faktor penyebaran informasi bohong.

Perasaan ingin tahu ini biasanya dibarengi oleh perasaan takut (karena wabah ini berada di luar kontrol mereka). Menurut riset psikologi dari University of Kent, jika perasaan rasa takut ini dibarengi dengan keinginan menyalahkan orang lain dan menjaga identitas positif seseorang atau kelompok, hal ini bisa memicu kemunculan dan penyebaran teori-teori konspirasi.

Dalam situasi pandemi, dampak penyebaran teori konspirasi-misalnya jaringan komunikasi 5G sebagai penyebab COVID-19–bisa menyulitkan usaha perlawanan virus. Ada juga orang-orang yang percaya teori-teori konspirasi yang melakukan destruksi.

Teknologi komunikasi modern

Jaringan komunikasi seluler, telepon genggam, internet, dan bermacam aplikasi adalah kendaraan sekaligus jembatan yang memudahkan penyebaran informasi, baik yang akurat maupun hoaks, dari satu orang ke orang dan kelompok orang.

Pada saat yang sama ada efek samping dari teknologi komunikasi modern yang membuat siapa pun bisa memproduksi dan menyebarkan konten. Dalam konteks tertentu, orang awam juga kadang-kadang merasa menjadi ahli. Mereka dapat dengan mudah membuat dan mengemas informasi dan menyebarkannya lewat sosial media.

Berbeda dengan media massa arus utama yang memiliki kode etik, wartawan, hingga hingga editor yang memverifikasi informasi, media sosial tidak memiliki “penjaga gawang” yang mengatur pembuatan dan penyebaran informasi. Terlebih karena grup-grup di Facebook dan WhatsApp masih sulit dikontrol.

Baru-baru ini viral video dokumentar Plandemic di YouTube dan Facebook yang sudah dilihat jutaan kali. Video ini menggambarkan coronavirus sebagai konspirasi dari orang-orang untuk mengambil untung dari vaksin. Banyak media dan sejumlah peneliti telah membantah isinya.

Karena infodemi begitu berbahaya, WHO meluncurkan situs komunikasi risiko yang memuat informasi akurat dan nasihat yang mudah dimengerti publik (EPI-WIN).

Lewat situs resminya dan beberapa akun media sosial di Weibo, Twitter, Facebook, Instagram, LinkedIn, Pinterest, organisasi ini juga telah menyanggah beberapa misinformasi yang beredar di internet.

Contohnya, di media sosial WHO telah meluruskan pesan menyesatkan mengenai penggunaan cahaya ultraviolet, sinar matahari dan konsumsi disinfektan untuk melindungi dari bahaya COVID-19. 

Bias konfirmasi dan ruang gema

Kemudahan mengakses informasi lewat teknologi ini menjadikan banyak orang condong membaca dan menyebarkan informasi yang diterima tanpa mengecek akurasi informasi dan berita yang disebarkan. Informasi yang membludak bisa membuat orang kewalahan mengolah informasi tersebut.

Yang terjadi biasanya adalah bias konfirmasi, sebuah fenomena pembaca condong memilah informasi sesuai dengan keyakinannya. Jika ada yang percaya bahwa strategi tertentu bisa menangkal COVID-19 atau ramuan herbal tertentu bisa menyembuhkan penyakit ini, maka orang itu akan lebih percaya pada informasi yang menguatkan keyakinan tersebut.

Contohnya adalah kabar pasien COVID yang sembuh karena minum vitamin C dan telor dan berjemur 15 menit. Contohnya lainnya, penuturan Bambang Priyambodo, praktisi farmasi UGM, yang menuntun penyembuhan COVID putrinya dari jauh. Sudah diketahui bahwa kedua berita ini adalah kabar bohong.

Bias konfirmasi ini bisa tumbuh subur di media sosial karena informasi bohong, hoaks, dan misinformasi banyak bersirkulasi di platform ini.

Di Indonesia, banyak sekali pengguna aplikasi WhatsApp yang menjadi wahana penyebarluasakan berbagai pesan dan informasi lewat banyak grup WhatsApp. Untuk hal-hal yang baik seperti penggalangan dana media sosial berperan penting dan bagus.

Namun, grup-grup ini juga bisa menjadi ruang gema (echo chamber). Di dalam ruang gema ini, satu opini yang kurang kredibel atau fakta yang kurang akurat bisa dianggap benar karena didukung oleh informasi palsu secara berulang-ulang, sehingga menyulitkan mendapatkan atau menerima perspektif lain.

Masalah-masalah di atas dapat diperparah oleh kurangnya pengetahuan tentang sains penyakit menular sehingga informasi yang akurat dikesampingkan. Satu contoh adalah konsep “herd immunity” atau kekebalan kawanan yang sempat digaungkan sebagai strategi mengatasi wabah COVID-19.

Mengatasi infodemi COVID-19

Sebenarnya, sejarah menunjukkan bahwa misinformasi terkait wabah penyakit juga terjadi saat terjadi flu Russia melanda pada 1889. Saat itu ada yang menulis bahwa lampu listrik sebagai penyebab pandemi tersebut.

Bedanya, penyebaran misinformasi saat itu masih terbatas karena teknologinya lebih sederhana dibanding saat ini.

Banjir informasi terkait COVID-19 mengenai pandemi ini akan terus berlanjut karena kegiatan mengetahui adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari menjadi manusia.

Pada titik ini, informasi kredibel dari para ahli dan otoritas kesehatan sangat diperlukan dan harus disebar lebih luas dibanding skala penyebaran hoaks. Media massa arus utama harus menyebarkannya dan mengecek fakta informasi palsu tersebut secara cepat.

Secara struktural, pemerintah dan otoritas kesehatan harus lebih serius mengatasi informasi ini. Di Indonesia, Kementerian Informasi dan Komunikasi selain mengumpulkan dan menampilkan daftar hoaks di situs kementerian, mereka juga merilisnya secara berkala dalam suatu dokumen pdf yang disebar via WhatsApp. Di situs Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, ada laman Hoax Buster yang bisa dirujuk untuk mencari informasi yang akurat.

Secara indvidual, salah satu cara menghadapi infodemi adalah melatih diri kita untuk selalu kritis terhadap informasi yang kita terima. Belajar mengurangi bias konfirmasi. Telaah sumber berita termasuk penulisnya dan pembuatnya. Utamakan dapatkan informasi dari organisasi dan media massa yang kredibel. Cari informasi yang seimbang dengan mendapatkannya dari beberapa sumber.

Yang lebih penting adalah cara melawan infodemi dan menyampaikan pesan-pesan yang benar.

Awal April lalu WHO menyarankan empat strategi untuk mengatasi infodemi virus corona: identifikasi kabar bohong, menyanggah pesan-pesan tersebut yang dikemas secara mudah dan menarik, sebarkan pesan-pesan akurat ini lewat media sosial dan menggandeng banyak partner, dan mengevaluasi dampaknya secara berkala.The Conversation

Anto Mohsin, Assistant Professor of Science and Technology Studies in Liberal Arts Program, Northwestern University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: