Irwandy, Universitas Hasanuddin

Artikel ini diterbitkan untuk memperingati Hari Perawat Internasional 12 Mei.

Walau Gugus Penanganan COVID-19 menyatakan setidaknya 55 tenaga kesehatan telah gugur akibat COVID-19 di Indonesia, hingga saat ini belum ada studi khusus yang menunjukkan dampak virus corona pada tenaga kesehatan Indonesia atau pun data terbuka yang memuat pelaporan jumlah tenaga kesehatan yang terinfeksi virus corona dalam 70 hari terakhir.

Setiap hari pekerja kesehatan bertemu dengan pasien dan banyak orang di rumah sakit. Tanpa alat pelindung diri yang memadai, mereka sangat berisiko tertular virus dari pasien atau sebaliknya menularkan virus kepada orang yang di rumah sakit. Itu cukup berisiko karena sekitar 70% orang terinfeksi virus corona tidak menunjukkan gejala umum.

Situs resmi COVID-19 tidak memberikan informasi ihwal profesi dan pekerjaan pasien yang terinfeksi dan pasien dan orang dalam pengawasan. Tanpa data terbuka kita sulit mengukur level risiko yang dialami para petugas kesehatan kita baik yang menangani pasien COVID maupun non-COVID.

Negara lain laporkan dampak COVID-19 terhadap tenaga kesehatan

Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Center of Disease Control and Prevention, CDC) dalam laporan mingguannya pada April mengeluarkan studi mengenai karakteristik petugas kesehatan yang terkena COVID-19. Dari 12 Februari hingga 9 April diumumkan ada 9.282 (19% dari 49.370 pelaporan yang menuliskan pekerjaan) tenaga kesehatan terinfeksi virus corona. Datanya pun lumayan detail: rata-rata usia meninggal, jenis kelamin, persentase mereka yang kontak dengan pasien di rumah sakit, dan gejala umum infeksi virus corona yang menimpa petugas kesehatan.

Di Italia, data terbuka memuat pelaporan jumlah tenaga kesehatan yang terinfeksi virus korona, menunjukkan infeksi di kalangan medis mencapai 10%. Spanyol melaporkan infeksi di tenaga kesehatan mencapai 20%. Di Malaysia, pemerintah telah melaporkan bahwa 5,8% kasus positif adalah tenaga kesehatan.

Secara global, International Council of Nurses mencatat hingga 5 Mei, lebih 90.000 tenaga kesehatan di dunia terinfeksi Covid-19, bahkan diprediksi jauh lebih banyak.

Risiko mereka tertular virus sangat tinggi karena setiap hari berinteraksi dalam jarak dekat dengan pasien COVID dan orang-orang yang berobat yang mungkin saja membawa virus corona. Apalagi masa inkubasi virus cukup lama, 2-14 hari.

Estimasi kasus infeksi pada petugas kesehatan di Indonesia

Karena tiada data terbuka yang tersedia, saya menghitung estimasi petugas kesehatan di Indonesia yang terinfeksi virus corona menggunakan rujukan dari negara lain dalam kasus serupa.

Jika menggunakan persentase tenaga kesehatan yang terinfeksi dari Malaysia hingga Amerika yakni antara 5,8 dan 20%, maka diperkirakan di Indonesia hingga 6 Mei terdapat 721 hingga 2.488 tenaga kesehatan yang telah terinfeksi. Angka ini mungkin bisa lebih tinggi jika pencatatan terekam dengan baik.

Tingginya angka penularan dan kematian yang menimpa para tenaga kesehatan sangat mengkhawatirkan. Sebab, usaha pemerintah selama ini untuk menambah kapasitas layanan kesehatan dengan menyediakan RS khusus Covid-19, menyediakan RS Rujukan, serta menambah peralatan medis seperti ventilator, pada akhirnya akan sia-sia jika sumber daya tenaga kesehatan tidak tersedia.

Persentase kematian tenaga kesehatan lebih besar

Secara global, hingga 6 Mei 2020 ada lebih 3,58 juta kasus positif COVID-19 dengan 247.503 kematian (Case Fatality Rate 6,9%).

Per 7 Mei, di seluruh dunia tercatat 989 tenaga kesehatan meninggal akibat Covid-19 atau sebesar 0,37% (989/270.426).

Di Indonesia pada periode yang sama, ada sekitar 12.400 kasus positif dengan 895 kematian (CFR 7,2%), termasuk 55 tenaga kesehatan. Hal ini berarti dalam setiap 100 kematian terdapat 6-7 petugas kesehatan (55/895) yang meninggal.

Jika keadaan tidak berubah, yakni persentase kematian tenaga kesehatan dan pelipat gandaan kasus kematian Indonesia tetap per 23 hari, maka pada awal Juni jumlah tenaga kesehatan yang meninggal bisa menyentuh angka 100 orang.

Ini sangat mengkhawatirkan, karena persentase kematian tenaga kesehatan di Indonesia saat ini (6,5%) jauh lebih tinggi dari rata-rata global (0,37%). Bahkan angka di Indonesia jauh lebih tinggi dari Amerika Serikat yang memiliki jumlah kematian kumulatif tertinggi di dunia saat ini.

Studi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat melaporkan persentase angka kematian tenaga kesehatan di negara itu hingga 9 April sebesar 0,16% (27 kematian tenaga kesehatan per 16.570 total seluruh kematian akibat Covid-19).

Di Inggris, salah satu negara di Eropa yang memiliki angka kematian yang tinggi, hingga 2 Mei persentase kematian tenaga kesehatannya 0,5% (165 kematian tenaga kesehatan per 28.131 total seluruh kematian akibat Covid-19).

Rasio kecil dan hilang usia produktif 495 tahun

Dengan semakin banyaknya para tenaga kesehatan yang gugur, maka jumlah tenaga kesehatan di Indonesia ke depan akan semakin berkurang.

Rasio dokter umum dan penduduk di Indonesia, menurut WHO pada 2017, hanya empat per 10.000 penduduk. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara terburuk kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja dalam hal rasio dokter umum dan penduduk.

Sedangkan rasio dokter spesialis lebih rendah lagi 1,4 per 10.000 penduduk.

Di tengah situasi pandemi saat ini, Italia yang mempunyai dokter 10 kali lebih banyak dari Indonesia saja tetap kewalahan menghadapi lonjakan kasus COVID.

Tidak hanya dokter, rasio perawat dan penduduk di Indonesia juga belum ideal. Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia, saat ini hanya ada 10 perawat per 10.000 penduduk (rasio ideal WHO adalah 18 per 10.000 penduduk).

Menurut Kementerian Kesehatan, pada 2017 kekurangan tenaga kesehatan di Puskesmas mencapai sekitar 37.000 orang (sekitar 3.000 di antaranya dokter umum) dan di rumah sakit sekitar 159.000 orang.

Dengan menganalisis data kematian tenaga kesehatan per 7 Mei yang tersedia di Medscape, saya menemukan mayoritas (68%) tenaga kesehatan yang meninggal di Indonesia berada pada usia berisiko yakni 50-79 tahun (rata-rata usia 56 tahun, dengan rentang 25-79 tahun).

Jika diasumsikan usia produktif hingga 65 tahun, maka rata-rata tenaga kesehatan yang gugur telah kehilangan 9 tahun potensi pengabdian yang masih dapat mereka berikan untuk masyarakat atau 495 potensi tahun kehidupan yang hilang secara total dari 55 kematian.

Melindungi penjaga benteng terakhir

Editorial jurnal Hospital Infection dan WHO menyatakan tingginya angka risiko terhadap tenaga kesehatan disebabkan, antara lain, oleh faktor lama terpapar dan jumlah paparan virus.

Faktor tersebut diperparah dengan kelangkaan APD, kurangnya pengetahuan terkait penggunaan APD serta banyaknya kasus pasien yang tidak jujur ketika berobat akibat takut terhadap stigma.

Fakta-fakta tersebut sangat menyesakkan dada karena semua faktor penyebab tersebut dapat dicegah. Untuk mencegah semakin besarnya masalah, pemerintah perlu fokus pada sejumlah langkah.

Fokur pertama, mengatasi ketidakjujuran pasien akibat takut terkena stigma sosial dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Pelibatan para tokoh masyarakat, tokoh agama, selebritis hingga mereka yang telah sembuh dari COVID-19 menjadi penting dalam upaya menggalang dukungan sosial melawan stigma di masyarakat.

Penegakan hukum dibarengi dengan upaya terus menerus memerangi berita bohong dan penyebaran berita positif terkait COVID-19 juga harus terus ditingkatkan.

Lalu, pemerintah dan organisasi profesi tenaga kesehatan perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penggunaan APD bagi petugas kesehatan. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Pedoman Penggunaan APD bagi pekerja kesehatan, tapi ini belum cukup.

Satu studi literatur menunjukkan penggunaan APD dan pelatihan terkait pencegahan infeksi berkaitan dengan penurunan risiko terinfeksi COVID-19. Hal ini penting mengingat COVID-19 adalah penyakit baru, pengetahuan para tenaga kesehatan masih terbatas dan perkembangan pengetahuan terkait mekanisme penularan masih terus berkembang.

Fokus ketiga, pemerintah perlu memanfatkan teknologi sistem informasi elektronik khusus APD secara terpusat. Metode ini dimaksudnya agar dapat mengontrol distribusi APD termasuk yang berasal dari donasi masyarakat dan kebutuhan APD seluruh RS. Pemerintah harus memastikan bahwa RS memiliki akses ketika membutuhkan APD dan menghindari penumpukan APD di beberapa rumah sakit.

Fokus terakhir adalah menyiapkan pasokan cadangan. Ini penting untuk mengantisipasi kebutuhan APD ke depan yang diprediksi masih akan meningkat serta adanya potensi gelombang kedua pandemi COVID-19.

Pemerintah harus mengingat bahwa perang melawan COVID-19, ibarat perlombaan lari adalah sebuah perlombaan maraton, bukan lomba lari jarak pendek.The Conversation

Irwandy, Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: