Kris Wijoyo Soepandji, Universitas Indonesia dan Fakhridho Susilo, Australian National University

Peran lembaga peradilan, khususnya peradilan konstitusi, menjadi makin krusial dalam pandemi.

Ini karena pemerintah bisa saja secara sewenang-wenang membuat aturan dan kebijakan yang merugikan masyarakat atau mengelak kewajiban yang harus dilakukannya dengan dalih suasana darurat pandemi.

Peran peradilan konstitusi penting untuk mengevaluasi kebijakan negara dan permasalahan tata kelola pemerintahan agar memastikan hak dan kewajiban warga negara terpenuhi dengan adil bahkan selama pandemi.

Selama ini lembaga peradilan hanya memiliki dua jalur upaya hukum warga masyarakat dalam menuntut keadilan karena kelalaian pemerintah: gugatan perwakilan kelompok (class action) dan uji materi (judicial review).

Pada awal masa pandemi, beberapa pihak yang mewakili pengusaha usaha kecil dan menengah memang telah menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan class action terhadap kegagalan pemerintah dalam merespons pandemi.

Namun dampak hukumnya terbatas karena hanya memberikan penyelesaian pada para penggugat terkait dalam bentuk ganti rugi finansial. Class action bukanlah jalur yang tepat untuk menuntut ‘kompensasi politik’ atau perubahan dengan dampak yang lebih universal atas suatu keputusan politik.

Demikian juga judicial review.

Walau warga negara dapat melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melindungi hak konstitusionalnya, upaya tersebut hanya terbatas pada pengujian atas konstitusionalitas undang-undang.

Jalur ini tidak dapat digunakan untuk menguji segala keputusan atau tindakan aparatur negara yang berpotensi mencederai hak asasi manusia, yang mungkin saja berlandaskan pada produk hukum yang lebih rendah daripada undang-undang.

Dalam konteks inilah, pengaduan konstitusional (constitutional complaint) sebagai suatu mekanisme hukum perlu diadopsi.


Baca juga: Penegak hukum Indonesia bertindak sewenang-wenang selama pandemi: perlunya sistem pemidanaan rasional


Konsep constitutional complaint

Pada dasarnya, constitutional complaint dapat diartikan sebagai mekanisme langsung bagi warga negara untuk membuat pengaduan ke peradilan konstitusi manakala mereka merasa bahwa hak-hak konstitusionalnya telah tercederai atau terabaikan oleh kebijakan, keputusan, ataupun tindakan aparatur negara.

Peran lembaga peradilan yang memungkinkan warga untuk melakukan gugatan langsung pada negara muncul seiring gelombang demokratisasi di berbagai belahan dunia yang meningkatkan peran lembaga peradilan dalam merespons kebijakan publik, tata kelola pemerintahan, dan permasalahan politik yang pelik.

Pengaduan ini merupakan perwujudan perlindungan tertinggi atas hak asasi manusia dalam negara demokratis dimana segala keputusan, kebijakan, dan tindakan otoritas publik wajib didasarkan - pertama-tama dan terutama - pada konstitusi yang menggariskan antara kewenangan negara dengan hak dan kewajiban rakyatnya.

Dalam penanganan pandemi, ada kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia yang berpotensi mencederai hak konstitusional warga negara.

Misalnya, negara gagal dalam menyediakan alat pelindung diri untuk tenaga medis yang memadai dengan segera, sehingga turut meningkatkan jumlah dokter dan perawat yang berguguran dalam penanganan pasien.

Hal ini bertentangan dengan konstitusi Indonesia (Undang-Undang Dasar 1945), yang menjamin hak tiap warga negara untuk hidup dan melindungi kehidupannya, serta yang mewajibkan negara untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai.

Contoh yang lain adalah polisi yang melakukan penangkapan orang-orang yang diduga telah menghina presiden dan otoritas publik dalam mengekpresikan kekecewaannya terkait penanganan wabah oleh pemerintah, sebagaimana dialami oleh aktivis Ravio Patra bulan lalu.

Aktivis hukum mengecam kepolisian karena secara terbuka melawan putusan MK tahun 2006) terkait penghinaan presiden dan kekuasaan umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penangkapan ini tentunya bertentangan dengan UUD 1945 tentang hak tiap warga negara untuk bebas berpendapat.

Pengadopsian constitutional complaint sebagai suatu mekanisme hukum akan mengukuhkan perlindungan hak tiap warga negara Indonesia, sebagaimana diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan.

Dengan mekanisme ini, warga negara yang merasa hak konstitusionalnya tercederai atau dilanggar oleh kebijakan pemerintah dalam penanganan krisis pandemi sebagaimana diilustrasikan diatas, dapat secara langsung mengajukan permohonan ke MK.

Teknis pengajuan permohonan tentunya perlu diatur lebih lanjut dalam hukum acara persidangan yang berlaku di MK.

Di Jerman, pemohon mengajukan constitutional complaint kepada mahkamah konstitusi setempat Bundesverfassungsgericht secara tertulis dengan menerangkan sejelas-jelasnya tindakan atau kebijakan otoritas publik yang berdampak negatif pada dirinya serta hak konstitusional yang dilanggar oleh kebijakan tersebut.

Di sana, mahkamah berwenang, antara lain, untuk menyatakan suatu tindakan otoritas publik sebagai tidak konstitusional atau membatalkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.

Satu kasus yang cukup populer di sana adalah pengajuan constitutional complaint atas larangan pemakaian hijab terhadap guru sekolah di negara bagian North Rhine-Westphalia. Beberapa guru perempuan beragama Islam yang keberatan dan merasa dirugikan atas larangan tersebut mengajukan pengaduan.

Mahkamah konstitusi mengabulkan permohonan tersebut dan kemudian mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa larangan tersebut inkonstitusional karena melanggar hak kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam konstitusi Jerman. Putusan ini berdampak luas berupa dicabutnya aturan larangan serupa yang berlaku di beberapa negara bagian lain di sana.


Baca juga: Explainer: Seperti apa gugatan _class action_ di Indonesia?


Mengadopsi constitutional complaint

Penanganan constitutional complaint oleh MK sebenarnya bukanlah konsep yang baru di Indonesia. Gagasan ini pernah mengemuka di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada masa amandemen konstitusi Indonesia zaman Reformasi.

Namun gagasan ini tidak berlanjut karena adanya kekhawatiran tumpang tindih fungsi kehakiman dan perluasan kewenangan MK.

Pada kenyataannya, di berbagai negara lain sangat jarang peradilan konstitusi yang tidak memiliki kewenangan constitutional complaint mengingat fungsinya yang sangat penting dalam menjamin hak konstitusional warga negara.

Mantan hakim ketua MKRI, Hamdan Zoelva, bahkan menyatakan bahwa semenjak didirikan, MK banyak menerima pengajuan kasus yang pada hakekatnya adalah constitutional complaint namun tidak dapat diterima karena tidak adanya kewenangan.

Idealnya, diperlukan amandemen konstitusi atau setidaknya revisi undang-undang yang mengatur constitutional complaint sebagai kewenangan kehakiman MK.

MK sendiri juga secara hukum berwenang untuk melakukan penafsiran konstitusi guna memasukkan constitutional complaint sebagai bagian dari mekanisme judicial review yang telah dimilikinya.

Kesempatan untuk melakukan hal tersebut sejatinya muncul saat beberapa elemen masyarakat sipil tahun lalu mengajukan permohonan pada MK untuk menginterpretasikan kewenangannya sebagaimana termaktub dalam peraturan perundang-undangan terkait sehingga meliputi kewenangan untuk mengadili constitutional complaint.

Sayangnya, meskipun MK mengakui berwenang mengadili kasus tersebut namun permohonan tersebut tidak diterima karena pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum.

Dorongan dan dukungan bagi MK untuk mengambil inisiatif progresif sehingga constitutional complaint dapat diadopsi di Indonesia perlu terus dilakukan demi kemaslahatan warga negara.

Hanya waktu yang akan menjawab apakah MK akan terus berlaku sebagai ‘judicial activist’, memainkan peran aktif dalam membumikan demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia seperti dicatat oleh ahli politik Bjoern Dressel, ataukah dia akan secara bertahap menanggalkan jubah ‘kepahlawanannya’ sebagaimana ditulis oleh ahli hukum Stefanus Hendrianto.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.The Conversation

Kris Wijoyo Soepandji, Assistant Professor of Law. Theory of State Lecturer, Universitas Indonesia dan Fakhridho Susilo, PhD Candidate in Policy and Governance at the Crawford School of Public Policy, Australian National University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: