Luthfi T. Dzulfikar, The Conversation

Perdebatan tengah berlangsung - dari politisi hingga peneliti - terkait penerapan lockdown oleh pemerintah Indonesia setelah jumlah kasus COVID-19 meningkat pesat sejak awal bulan ini.

Lockdown adalah kebijakan pembatasan secara ketat aktivitas dan mobilitas warga di suatu daerah. Tujuannya adalah untuk menghentikan penyebaran penyakit ketika terjadi suatu epidemi.

Sejauh ini, ada 1.285 kasus positif di Indonesia, meningkat hampir dua kali lipat hanya dalam 4 hari terakhir, dengan total 114 pasien yang meninggal. Rasio kematian ini (8.87%) adalah salah satu yang tertinggi di dunia.

Bahkan, peneliti sudah memprediksi bahwa pada akhir bulan April jumlah kasus COVID yang positif di Indonesia bisa menyentuh angka 71.000 orang.

Namun, Presiden Joko “Jokowi” Widodo sudah menyampaikan bahwa pemerintah tidak akan menerapkan kebijakan lockdown karena risiko ekonomi yang dapat melanda masyarakat rentan, dan lebih memilih untuk menggencarkan social distancing (pembatasan sosial).

Sebaliknya, Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) kemarin mendesak pemerintah untuk menerapkan lockdown, setidaknya untuk Jakarta. Menurut mereka, kapasitas sistem kesehatan Indonesia tidak akan mampu membendung jumlah pasien yang diprediksi akan terinfeksi.


Baca juga: Saatnya mencegah Indonesia jadi "Italia-nya ASEAN" karena COVID-19: 4 hal penting ini harus dilakukan pemerintah


Banyak rumah sakit kini dikabarkan kekurangan petugas kesehatan dan alat pelindung diri (APD). Sebuah studi juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki salah satu kapasitas unit perawatan insentif terendah di Asia dengan hanya 2.7 per 100.000 orang.

Beberapa politisi menyerukan kebijakan pembatasan pergerakan warga yang lebih ketat supaya Indonesia tidak menjadi pusat pandemi global selanjutnya.

Beberapa negara yang sudah menerapkan lockdown adalah Italia, India, dan baru saja hari ini Afrika Selatan.

Tapi, beberapa ahli menyatakan bahwa bentuk kontrol penyebaran virus yang paling ideal di Indonesia adalah lockdown parsial mengingat risiko sosial ekonomi dari penerapannya pada masyarakat miskin.

Tentang partial lockdown

Berbeda dengan lockdown secara total sebagaimana yang diterapkan di Cina dan Italia yang melarang orang untuk keluar rumah tanpa izin dan sepenuhnya menutup akses antar daerah, lockdown secara parsial masih memberikan ruang gerak untuk masyarakat dan bisnis tertentu. Penerapannya pun sedikit berbeda antar negara.

Misalnya, pemerintah Malaysia dan Thailand melarang perkumpulan massal termasuk keagamaan, membatasi penerbangan internasional, dan menutup sekolah serta bisnis non-esensial seperti hiburan.

Mereka memberi ancaman denda dan hukuman hingga enam bulan bagi siapapun yang melanggar.

Namun, warganya masih bisa keluar untuk belanja dan kegiatan tertentu, dan toko-toko bahan kebutuhan pokok seperti penyedia bahan pangan, makanan, obat-obatan, perbankan dan energi diperbolehkan untuk tetap buka.

 

Bagaimana dengan Indonesia?

Dosen kebijakan kesehatan di Australian National University, I Nyoman Sutarsa, mengatakan lockdown yang parsial di Indonesia bisa dilakukan menurut karakter ekonomi, demografi, dan epidemi di setiap daerah di Indonesia.

“Di Flores atau Bali misal, akan banyak konsekuensi karena sumber pendapatannya dari industri hospitality [wisata dan perhotelan]. Karakter ekonomi rural dan urban juga beda, di daerah rural sebagian besar di pertanian, sehingga lockdown tidak memungkinkan,” ujarnya.

Sutarsa berpendapat bahwa lockdown total yang menutup bisnis dan jalur transportasi secara penuh sebagaimana yang diterapkan di Cina dan Italia, tidak cocok dilakukan di Indonesia karena hanya akan akan melukai pekerja informal yang tidak bisa bekerja dari rumah.


Baca juga: Bagaimana pemerintah harus bertindak dalam skenario terburuk wabah COVID-19


Pada tahun 2019, ada sekitar 74 juta pekerja informal atau 57% dari total pekerja di Indonesia.

Untuk daerah pusat epidemi seperti Jakarta, Berry Juliandi, seorang peneliti di IPB University di Bogor, Jawa Barat dan juru bicara Forum Peneliti Muda Indonesia (IYSF) mengatakan lockdown parsial dan selektif ini dapat memiliki beberapa poin kebijakan.

Di antaranya, mengatur secara formal supaya pekerja ‘kerah putih’ sepenuhnya bekerja dari rumah, memilah dan mengawasi siapa saja warganya yang dapat bepergian, serta menutup layanan non-esensial meskipun dengan selektif supaya tidak melukai pekerja informal.

Berry mengatakan bahwa di lapangan, pemerintah sebenarnya sudah menerapkan lockdown parsial melalui kebijakan larangan perkumpulan masal hingga himbauan penutupan toko dan perkantoran.

“Namun, restriksi ini belum ada enforcement [penegakan] yang cukup tegas disertai pemilahan yang jelas warga seperti apa yang boleh bergerak,” ujarnya.

Ketidaktegasan ini dinilai telah menyebabkan Jakarta gagal membendung persebaran infeksi ke daerah lain di Indonesia. Kondisi diprediksi akan lebih parah lagi karena banyak warga Jakarta kini bisa dengan mudah ‘mudik’ lebih awal sehingga berpotensi meningkatkan laju infeksi di daerah.


Baca juga: Mengapa meratakan kurva penularan COVID-19 sangat penting, matematikawan menjelaskannya


Untuk mendukung upaya karantina tersebut, Berry juga menyarankan diterapkannya penyaringan di stasiun dan terminal transit lain terhadap siapa saja yang boleh bepergian dan menggunakan layanan transportasi.

Ia memberikan gambaran, bagi warga yang ingin bepergian atau bekerja dapat melakukan asesmen pribadi - termasuk usia, kondisi kesehatan, tipe pekerjaan, dan indikator lain - pada suatu aplikasi pelacakan status kesehatan di smartphone seperti yang diterapkan di Singapura.

“Dari self assessment [penilaian sendiri] tersebut akan muncul statusnya apakah hijau merah atau kuning. Misal merah sama sekali tidak boleh keluar rumah, kalau kuning boleh keluar misal untuk belanja dan ke tempat kesehatan, dan hijau masih boleh,” usulnya.

Lockdown tidak ada artinya tanpa jaminan sosial

Meskipun demikian, para akademisi mengingatkan bahwa lockdown hanyalah bagian kecil dari strategi besar penanganan epidemi COVID-19, dan harus didukung oleh kebijakan dukungan lainnya.

“Terlepas pilihan lockdown diambil - parsial maupun penuh - konsekuensi ekonomi ke masyarakat akan tinggi. Ada resiko sebagian warga tidak siap kalau pemerintah tidak mendukung secara penuh,” tegas Sutarsa.

Selain proposi pekerja informal yang besar, hanya terdapat 1 dari 5 orang di Indonesia yang memiliki keamanan finansial dengan sekitar 60 juta lainnya rawan untuk jatuh miskin.

Dalam menghadapi pandemi COVID, sejauh ini pemerintah telah mengumumkan berbagai kebijakan stimulus ekonomi termasuk pembebasan pajak bagi pekerja manufaktur, alokasi dana tambahan menjadi Rp 1 juta per bulan melalui Kartu Pra-Kerja, hingga penangguhan cicilan kredit untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Namun menurut Alloysius Joko Purwanto, seorang ekonom di Institut Penelitian Ekonomi ASEAN dan Asia Timur (ERIA), kebijakan seperti penangguhan pembayaran kredit selama setahun untuk usaha kecil belum bisa dinikmati oleh semua warga yang rentan.


Baca juga: Bagaimana kebijakan mengisolasi diri akibat pandemi COVID-19 ‘menghukum’ penduduk miskin di Indonesia


“Mereka yang mencatatkan diri sebagai wajib pajak dapat kompensasi, tapi kan sektor informal besar dan tidak semua [mencatatkan]. Jadi selain kompensasi tersebut, ya peningkatkan intensitas bantuan langsung tunai (BLT) yang bisa membantu mereka yang tidak [memiliki] NPWP [Nomor Pokok Wajib Pajak],” katanya.

“Rasanya hanya ini yang akan menyentuh kalangan yang terbawah ketika terjadi lockdown .”

Pemerintah di Australia, negara tempat Sutarsa mengajar, menyediakan dana sebanyak hampir Rp 11 juta per dua minggu - meningkat dua kali lipat dari biasanya - mulai 27 April untuk warga berusia 22 sampai 66 yang kehilangan sumber pendapatan mereka akibat COVID-19.

Dana tambahan ini merupakan peningkatan dana sosial terbesar dalam sejarah Australia.


CATATAN EDITOR: Kami menambahkan keterangan terkait tanggal berlakunya tambahan dana sosial di Australia, serta melakukan pembaruan terkait jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia (30 April, 07:00 WIB).The Conversation

Luthfi T. Dzulfikar, Associate Editor, The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: