Mike Lee, Flinders University dan Sebastian Duchene, University of Melbourne

Catatan editor: Artikel ini telah diperbarui mengikuti perkembangan dari Wuhan. Beberapa konteks Indonesia juga ditambahkan.


Air bah infeksi SARS-CoV-2 dalam pandemi saat ini telah disertai juga dengan banjir informasi, sehingga sulit untuk menyaring berita yang dapat diandalkan.

Salah satu pertanyaan yang paling penting adalah: seberapa mematikan virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19 ini?

Sebelum ke sana: bertentangan dengan beberapa laporan, tidak ada bukti bahwa virus telah berevolusi menjadi galur baru yang lebih mematikan sejak muncul pada akhir 2019. Tentu saja, semua virus berevolusi, dan SARS-CoV-2 tidak terkecuali, tapi laporan adanya galur baru yang agresif sekarang telah dicabut.


Baca juga: Why are older people more at risk of coronavirus?


SARS-CoV-2 tampaknya bermutasi (mengalami perubahan genetik) pada tingkat yang sama dengan coronavirus lainnya, seperti virus SARS 2002 dan virus yang menyebabkan Sindrom Pernapasan Timur Tengah (MERS-CoV) pada 2012.

Laju ini kurang dari setengah laju virus influenza biasanya bermutasi, yang mutasinya sendiri cukup lambat dan memungkinkan vaksin flu tahunan diproduksi.

Tingkat evolusi untuk tiga coronavirus, termasuk SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19. Nilai yang lebih tinggi menunjukkan virus yang mengakumulasi mutasi lebih cepat; batas kesalahan seputar SARS-CoV-2 menunjukkan ketidakpastian saat ini. Taiaroa et al. 2020 / Sebastian Duchene (Univ. Melbourne)

Jadi, seberapa mematikan virus ini?

Ini tidak mudah dijawab.

Laporan-laporan tentang tingkat mematikan virus ini berbeda jauh satu sama lain. Walaupun sebagian besar penderita berhasil pulih dari COVID-19, tidak sedikit yang tak mampu melawan kerusakan langsung, pneumonia, dan sepsis (komplikasi berbahaya akibat infeksi).


Baca juga: How does coronavirus kill?


Pada 3 Maret, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa tingkat kematian COVID-19 adalah 3,4%. Perkiraan lain yang dikutip secara luas telah menyebut angka 3% atau 5%.

Namun, sumber-sumber lain memperkirakan angkanya jauh di bawah 1%.

Salah satu alasan perbedaan ini adalah bahwa mereka sering menggunakan dua cara berbeda untuk menghitung angka kematian.

Persentase Fatalitas Kasus (Case Fatality Rate atau CFR) adalah jumlah kematian dibagi dengan jumlah infeksi yang diketahui. Angka ini bisa sangat bias ke atas atau ke bawah karena pengambilan sampel.

Bayangkan bila virus menginfeksi 100 orang; 70 tidak menunjukkan gejala dan tidak menyadari terinfeksi, sementara 30 jatuh sakit dan didiagnosis, serta 1 dari 30 orang ini meninggal.

Dalam contoh ini, angka kematian sebenarnya adalah 1% (1/100), tapi CFR adalah 3,3% (1/30).

Contoh lain: menurut laporan pemerintah Indonesia, sampai dengan 25 Maret 2020 (tiga minggu sejak kasus pertama diumumkan) tercatat penderita positif 790 orang dan 58 orang meninggal. Ini berarti CFR berada pada 7,34%.

Bias ini biasanya paling kuat selama tahap awal wabah, yakni ketika banyak kasus ringan tidak terdeteksi dan jumlah yang dikonfirmasi masih rendah.

Oleh karena itu, beberapa ahli epidemiologi sekarang menduga bahwa angka kematian yang dilaporkan pada tahap awal adalah perkiraan yang sangat berlebihan.

Ada cara mengukur kedua yang bisa kita gunakan di sini, yang lebih sesuai dengan ukuran “seberapa mematikan”. Persentase Fatalitas Infeksi (Infection Fatality Rate, IFR) adalah jumlah kematian dibagi dengan jumlah infeksi sesungguhnya (termasuk kasus yang dikonfirmasi dan tidak terdiagnosis). Statistik ini lebih sulit untuk dihitung karena memerlukan perkiraan jumlah infeksi yang tidak terdeteksi.

CFR adalah jumlah kematian dibagi dengan jumlah kasus yang diketahui. IFR adalah jumlah kematian dibagi dengan semua infeksi (kasus yang diketahui ditambah kasus yang tidak diketahui). Michael Lee (Flinders Univ. & SA Museum)

Salah satu perkiraan IFR untuk COVID-19 ditempatkan di angka 1%, dan beberapa data baru menunjukkan bahwa angka ini kredibel.

Seiring pengujian lebih luas dan ketat dilakukan, perbedaan antara kedua ukuran (CFR dan IFR) semakin kecil. Ini mungkin sedang terjadi di Korea Selatan, saat pengujian menyeluruh telah mendeteksi banyak infeksi ringan dan membawa perkiraan tingkat kematian turun menjadi 0,65%.

Demikian pula, kejadian yang melanda kapal pesiar Diamond Pesiar membawa penjelasan baru karena karantina yang ketat yang dilakukan di kapal itu berarti hampir semua kasus COVID-19 di kapal itu (bahkan yang tanpa gejala) diidentifikasi. Ada 7 kematian di antara lebih dari 600 infeksi di kapal itu, sehingga IFR tercatat sekitar 1,2%. Ini lebih tinggi daripada di Korea Selatan, tapi mungkin wajar, mengingat sepertiga penumpang kapal itu berusia di atas 70 tahun.

Bukan “cuma flu”

Bagaimana pun, angka kematian 1% sangatlah merisaukan. Proyeksi yang baru dirilis menunjukkan 20-60% orang Australia dapat tertular SARS-CoV-2, ini bisa berarti 50.000-150.000 kematian.

Data yang dimiliki pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa orang yang berisiko terpapar virus corona berjumlah antara 600.000 sampai 700.000. Tingkat kematian 1% di sini berarti 60.000-70.000 orang bisa tewas karena COVID-19.

Sebagai perbandingan, sekitar 35 juta orang Amerika terkena flu tahun lalu, 34.000 di antaranya meninggal: kurang dari 0,1%. COVID-19 jauh lebih mematikan daripada flu musiman, terutama untuk orang yang lebih tua, dan tidak ada vaksin hingga kini.

Karena virus ini lebih menyerang orang lanjut usia, negara-negara dengan populasi yang menua akan lebih parah terkena dampak.

Jika menggunakan data demografi saja, angka kematian yang diproyeksikan di Italia adalah tujuh kali angka di Niger; Australia lebih buruk daripada rata-rata global. Tentu saja, tingkat kematian akhirnya juga akan tergantung pada sistem kesehatan dan respons penanggulangan masing-masing negara.

Proyeksi tingkat kematian (global, dan negara) dari COVID-19. Berdasarkan data CFR dari 13 Maret 2020. worldometers.info / populationpyramid.net (Michael Lee, Flinders Univ. & SA Museum)

Kematian yang lebih sering terjadi pada penderita COVID-19 usia lanjut ini harus dipertimbangkan secara eksplisit dalam upaya memerangi wabah. Di Australia, 11% dari populasi berusia lebih dari 70 tahun dan diprediksi menyumbang 63% kematian. Mengisolasi sebagian kecil lansia akan mengurangi separuh kematian dan berpotensi lebih praktis dibanding penguncian (lockdown) total seluruh populasi.

Kita perlu segera fokus pada cara terbaik untuk mencapai target ini. Pada saat artikel ini ditulis, Inggris sedang serius membahas strategi ini.

Warga Australia berusia di atas 70 tahun bisa menyumbang 63% kematian akibat virus SARS-CoV-2 di sana. Berdasarkan data CFR dari 13 Maret 2020. worldometers.info / populationpyramid.net (Michael Lee, Flinders Univ. & SA Museum)

Ada juga sisi lain yang merisaukan bila tingkat kematian ternyata memang lebih rendah dari yang dilaporkan: ini berarti setiap kematian menyiratkan adanya jumlah infeksi yang jauh lebih besar.

Sebagian besar kematian COVID-19 terjadi setidaknya dua minggu setelah infeksi. Jadi, satu kematian hari ini berarti sekitar 100 orang sudah terinfeksi dua minggu lalu, dan jumlah orang terinfeksi itu kemungkinan meningkat secara eksponensial menjadi beberapa ratus pada hari ini.

Implikasinya jelas. Kita tidak bisa menunggu sampai banyak orang meninggal dalam sebuah kluster COVID-19 sebelum menerapkan tindakan penanggulangan ekstrem. Pada saat itu, wabah akan menjadi sangat besar dan sulit untuk dikelola.


Baca juga: 8 tips on what to tell your kids about coronavirus



Update: Sejumlah besar infeksi COVID-19 dan kematian di Wuhan sekarang telah dimodelkan untuk memastikan tingkat kematian. Sebuah penelitian menghitung metrik yang disebut sCFR, yang memperkirakan CFR ketika pengujian telah dilakukan cukup luas sehingga semua individu yang bergejala diidentifikasi sebagai kasus. Nilai sCFR yang dihitung adalah 1,4%, yang dapat dijadikan batas atas IFR di sana.

Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari bahasa InggrisThe Conversation

Mike Lee, Professor in Evolutionary Biology (jointly appointed with South Australian Museum), Flinders University dan Sebastian Duchene, ARC DECRA Fellow, University of Melbourne

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: