Tunggul Adi Purwonugroho, Universitas Jenderal Soedirman; Heny Ekowati, Universitas Jenderal Soedirman; Laksmi Maharani, Universitas Jenderal Soedirman, dan Sarmoko, Universitas Jenderal Soedirman

Setelah Jumat pekan lalu Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah sedang menyiapkan klorokuin fosfat dan avigan untuk menyembuhkan penderita COVID-19, dua jenis obat ini kini diburu oleh penduduk di tengah makin tingginya kecemasan masyarakat akibat melonjaknya kasus baru infeksi coronavirus di Indonesia.

Karena sampai kini belum ditemukan obat COVID-19 dan vaksinnya, Jokowi terpaksa “menggunakan” klorokuin setelah pil ini disebut-sebut mampu menyembuhkan penderita COVID-19 di beberapa negara. Tak tanggung-tanggung, pemerintah telah memesan 3 juta pil klorokuin.

Klorokuin sudah digunakan secara luas selama lebih dari 70 tahun untuk mencegah dan mengobati penyakit malaria, serta terapi pada penyakit autoimun (lupus dan artritis rematik). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkannya dalam daftar obat esensial, yakni obat-obatan untuk memenuhi prioritas kebutuhan pelayanan kesehatan penduduk.

Sesungguhnya, hingga saat ini belum ada hasil uji klinis (uji pada manusia) yang andal yang dapat mengkonfirmasi efektivitas dan keamanan klorokuin untuk menyembuhkan pasien COVID-19.

Saat ini baru ada dua publikasi ilmiah terkait uji coba klorokuin pada pasien terinfeksi SARS-CoV-2 (penyebab COVID-19).

Satu riset pada 26 pasien di Prancis dan satu lagi di Cina pada lebih dari 100 pasien. Walau kedua riset tersebut mengindikasi pengobatan itu berdampak positif pada pasien, kita harus memberlakukan pemberian obat itu dalam konteks obat eksperimental atau obat off-label karena baru diuji pada pasien yang terbatas.

Penggunaan obat ini juga harus diawasi dengan sangat ketat lantaran obat ini memiliki banyak efek samping dari yang ringan seperti gatal dan mual sampai berat seperti gangguan irama jantung dan kematian.

Orang tidak boleh minum klorokuin tanpa resep dokter dan pengawasan petugas medis. Kasus minum klorokuin tanpa resep dokter di Nigeria menyebab dua orang tewas baru-baru ini.

Uji pre-klinik klorokuin untuk COVID-19

Uji di lab menggunakan sel yang diinfeksi oleh SARS-CoV-2 membuktikan klorokuin sangat efektif dalam mengurangi penggandaan virus. Obat ini juga cukup menjanjikan untuk mengobati COVID-19 karena dengan pemberian dosis standar memiliki kemampuan masuk yang baik ke jaringan tubuh, termasuk ke paru-paru.

Peneliti menduga mekanisme antivirus klorokuin terjadi karena zat aktif klorokuin meningkatkan kebasaan dari endosom sehingga mengganggu penyatuan (fusi) antara virus dan sel target, sehingga proses infeksi tidak terjadi.

Selain itu, klorokuin dapat menghambat masuknya SARS-CoV dengan mengganggu proses glikosilasi ACE2 (angiotensin converting enzyme), suatu proses penambahan gula tertentu pada reseptor ACE2. Jika glikosilasi ini dihambat, maka ikatan antara virus dan reseptor (molekul protein tempat virus melekat) akan terganggu dan mencegah infeksi serta penyebaran virus.

Turunan klorokuin (hidroksiklorokuin) juga telah diteliti di lab terhadap sel yang diinfeksi SARS-CoV-2. Sekelompok peneliti dari Cina baru-baru ini menunjukkan hidroksiklorokuin secara efektif menghambat proses masuknya virus ke dalam sel, dan memperlambat perbanyakan diri virus yang sudah masuk dalam sel inang. Manfaat senyawa ini serupa dengan klorokuin.

Uji coba pada pasien COVID-19

Dalam keadaan darurat beberapa pelayanan medis menggunakan klorokuin dan hidroksiklorokuin untuk pasien terinfeksi COVID-19. Namun, sebelum dilaksanakan uji klinis dengan metode sahih penggunaannya belum bisa dijadikan standar untuk terapi pasien secara umum.

Di Prancis, Philippe Gautret dan koleganya melakukan uji klinis hidroksiklorokuin untuk indikasi COVID-19 secara open-label (peneliti dan pasien mengetahui obat diujicobakan pada tubuh pasien) dan tanpa acak pada pada 36 orang. Sebanyak 26 pasien terdaftar dalam kelompok pengobatan, sedangkan 16 orang dalam kelompok kontrol.

Kelompok pengobatan minum 200 mg hidroksiklorokuin sulfat tiga kali sehari selama 10 hari. Enam pasien juga diberi azitromisin (obat antiinfeksi bakteri) selama lima hari (500 mg/hari) pada hari pertama, diikuti 250 mg/hari selama 4 hari berikutnya.

Hasilnya menunjukkan adanya hasil positif penggunaan hidroksiklorokuin baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan azitromisin. Para pasien menunjukkan negatif SARS-CoV-2 pada hari keenam. Namun, temuan ini masih sangat dini dan hanya dilakukan pada subjek terbatas. Philippe sendiri menyarankan untuk menelitinya lebih lanjut terkait hal ini.

Jianjun Gao dan koleganya dari Departemen Farmakologi Qingdao University Cina) juga melaporkan penggunaan klorokuin pada 100 pasien lebih yang terkena COVID-19 di Cina.

Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok yang diberi pengobatan klorokuin fosfat lebih unggul daripada kelompok tanpa diberi klorokuin dalam menghambat memburuknya pneumonia (radang paru-paru), memperbaiki gambaran CT-scan paru, menghasilkan pengurangan virus, dan memperpendek durasi penyakit.

Riset Gao ini memberikan harapan pada penanganan COVID-19. Namun, data yang diperoleh dalam penelitian tersebut tidak dapat kami pelajari lebih lanjut karena detail protokol dan hasil penelitian dipublikasi masih menggunakan bahasa Mandarin.

Saat ini, uji klinis fase I (uji obat pertama kali pada manusia untuk menentukan keamanan obat) hidroksiklorokuin untuk indikasi infeksi COVID-19 sedang didaftarkan di National Institute of Health Amerika Serikat.

Uji klinis ini akan menilai efektivitas penggunaan hidroksiklorokuin sebagai obat pencegahan penularan COVID-19 bagi orang berisiko tinggi seperti tenaga kesehatan yang berinteraksi dengan pasien COVID-19. Riset yang disponsori oleh Universitas Oxford direncanakan mulai Mei 2020 selama 100 hari.

Selain itu di Cina sedang berjalan setidaknya 23 uji klinik pada pasien COVID-19 untuk membuktikan kemanjuran dan keamanan obat tersebut. Hasilnya kemungkinan akan dipublikasikan dalam waktu dekat.

Efek yang merugikan

Selain dapat menyembuhkan beberapa penyakit, klorokuin memiliki efek merugikan bagi pasien yang minum obat ini. Namun karena masyarakat telah menggunakan obat ini cukup lama, klinisi mampu memprediksi, memantau, dan mengatasi efek merugikan dari obat ini.

Obat ini diketahui memiliki indeks terapi yang sempit, artinya konsentrasi obat untuk menghasilkan efek terapi sangat berdekatan dengan konsentrasi obat untuk menghasilkan efek toksik/beracun.

Berikut ini beberapa efek membahayakan dari klorokuin/hidroksiklorokuin:

  1. Gangguan pada otot jantung dan memperparah kondisi pasien dengan riwayat penyakit jantung.

  2. Gangguan pada pergerakan otot: kepayahan bergerak hingga kekakuan, kejang berlanjut, dan gerakan menyentak tidak teratur.

  3. Kerusakan retina hingga kebutaan yang muncul pada penggunaan dalam jangka waktu lama (lebih dari 5 tahun) dan dosis tinggi.

  4. Adanya kemungkinan interaksi yang berbahaya antara klorokuin dengan obat lain seperti antibotik, antimuntah dan antidepesan.

Karena itu, penggunaan klorokuin harus dilakukan dengan monitoring yang ketat seperti pemeriksaan darah, uji serum elektrolit, uji fungsi hati dan ginjal, uji fungsi mata, serta EKG untuk mengetahui fungsi jantung.

Dengan kata lain, penggunaan obat ini sangat tidak dianjurkan untuk pengobatan mandiri tanpa pengawasan ketat dari dokter, apoteker, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya.

Mengingat kasus kelangkaan masker dan hand sanitiser karena masyarakat membelinya dengan membabi buta, kami berharap kasus serupa tidak akan terjadi pada obat ini.

Jika ini terjadi maka kelangkaan obat juga akan menjadi masalah baru. Pasien yang benar-benar membutuhkan klorokuin, seperti pasien malaria, artritis rematik, dan lupus akan juga terkena dampaknya.The Conversation

Tunggul Adi Purwonugroho, Dosen Lab. Farmakologi dan Farmasi Klinis, Jurusan Farmasi, FIKES, Universitas Jenderal Soedirman; Heny Ekowati, Peneliti Laboratorium Farmasi Klinis, Universitas Jenderal Soedirman; Laksmi Maharani, Dosen Lab Farmakologi dan Farmasi Klinis Jurusan Farmasi, Universitas Jenderal Soedirman, dan Sarmoko, Lecturer at Pharmacy Department, Universitas Jenderal Soedirman

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: