Luthfi T. Dzulfikar, The Conversation

Komunitas akademik berbeda pandangan mengenai bagaimana rencana dibukanya kampus Monash University di Indonesia akan berdampak pada sektor pendidikan tinggi.

Monash akan menjadi universitas asing pertama yang membuka kampus cabang di Indonesia. Perguruan tinggi Australia tersebut mengumumkan rencana pembukaan kampus di Indonesia sesaat setelah penandatanganan Perjanjian Kerjasama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia, atau IA-CEPA, awal bulan ini.

Perjanjian ini memudahkan perusahaan atau lembaga Australia, termasuk universitas, untuk berinvestasi di Indonesia.

Sementara itu, potensi kehadiran kampus asing di Indonesia telah menjadi topik yang ramai dibicarakan di dalam komunitas akademik.


Baca juga: Apakah membuka pintu untuk universitas asing ide bagus bagi Indonesia?


Beberapa akademisi mengatakan bahwa kampus cabang universitas asing akan mendongkrak iklim riset pendidikan tinggi di Indonesia dengan membuka lebih banyak saluran untuk kolaborasi internasional.

Namun, akademisi lain khawatir apabila tidak diregulasi dengan hati-hati, kampus asing dapat berpengaruh besar pada pasar pendidikan tinggi Indonesia dan berujung menutup universitas lokal kecil yang belum siap untuk bersaing.

Pintu gerbang kolaborasi riset…

Dicky Pelupessy, dosen psikologi di Universitas Indonesia, adalah salah satu dari mereka yang menyambut rencana kampus cabang Monash.

Meskipun ia mengakui bahwa niat Monash utamanya adalah memasuki pasar pendidikan tinggi Indonesia, ia menanti prospek kolaborasi sains yang mungkin terjadi ke depannya.

“Tanpa Monash datang pun kemudian banyak warga kita yang belajar ke universitas di luar negeri melalui program beasiswa. Dengan universitas asing kemari, mereka bisa diupayakan untuk lebih intens berkolaborasi dengan komunitas akademik kita,” katanya.

Berkaca pada pengalamannya mengemban studi di Victoria University, Australia – yang juga memiliki sebuah kampus cabang ilmu bisnis di Cina bersama dengan Liaoning University – Dicky mengatakan bahwa kampus cabang Monash akan membuat iklim riset Indonesia lebih hidup.

“[Kehadiran kampus asing] membuat pergerakan akademisi dan knowledge generation [produksi pengetahuan] bisa lebih dinamis. Karena kemudian exposure [paparan] tersebut memudahkan peneliti kita untuk kerjasama dengan Monash di Jakarta misalnya, dan kemudian terkoneksi dengan Monash yang lain.”

Sebuah penelitian tahun 2018 dari Swedia nampaknya mendukung argumen Dicky.

Studi tersebut menemukan bahwa kampus cabang dapat menjembatani jaringan riset kampus utama dengan universitas lokal di mana kampus cabang tersebut berada, sehingga memicu peningkatan kolaborasi internasioanl.

Para peneliti menemukan bahwa publikasi yang dihasilkan oleh kampus cabang di Qatar, Cina, Malaysia, dan Uni Arab Emirat memiliki performa yang lebih baik dari rerata nasional. Misalnya di Malaysia, rerata dampak sitasi dari kampus cabang pada tahun 2016 memiliki skor sekitar 1.4 sementara nilai rerata nasional tertinggal di angka sekitar 0.9.


Baca juga: Indonesia ingin jadi No. 1 di ASEAN, tapi dalam dunia ilmu pengetahuan kolaborasi lebih penting


…atau memperparah kesenjangan pendidikan tinggi?

Meskipun demikian, beberapa akademisi lain memiliki pendapat berbeda. Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko, misalnya, khawatir bahwa kampus cabang dapat mendisrupsi pasar untuk universitas swasta yang kecil.

“Harapan saya adalah pemerintah itu memberi kebaikan dulu pada PTS [perguruan tinggi swasta]. Disehatkan dulu, dinaikkan dulu kualitasnya baru bertarung dengan [kompetitor] lain,” katanya sebagaimana dikutip oleh The Jakarta Post.

“Persyaratannya adalah dia membuka program studi yang langka, yang tidak ada di Indonesia sehingga tidak akan terjadi persaingan secara langsung. Kelas menengah atas akan bergeser maka perguruan tinggi kelas menengah tergeser; perguruan tinggi yang bawah tergeser juga, dan universitas yang lebih kecil nggak ada mahasiswanya.”

Pada laporan Peringkat Universitas Dunia keluaran lembaga rating pendidikan Quacquarelli Symonds, terdapat sembilan universitas Indonesia di 1.000 posisi teratas.

Hanya satu di antaranya – Universitas Bina Nusantara – yang merupakan lembaga swasta, dan meraih posisi di antara peringkat 800-1.000. Sekitar 3.000 universitas swasta yang lain bahkan tidak masuk daftar sama sekali. Di daftar yang sama, Monash meraih peringkat ke-58.


Baca juga: Pendidikan, setelah 20 tahun Reformasi


Meski begitu, Dicky berpendapat kampus cabang Monash tidak akan banyak mendisrupsi kampus swasta kecil karena Monash hanya menawarkan program S2 dan S3.

“Ini kan mereka sekadar menjadi lebih dekat dengan pasar yang memang sudah dari awal akan ke [kampus di luar negeri termasuk Monash University di Australia].”

Astadi Pangarso, seorang dosen administrasi bisnis di Telkom University mengatakan bahwa kehadiran Monash University di Indonesia justru dapat memiliki efek tumpahan pada universitas di Indonesia, negeri maupun swasta.

“Mungkin kita [harus memberi] kesempatan Monash membuktikan keberadaan di Indonesia akan memberikan dampak publikasi lebih baik apalagi kolaborasi untuk meningkatkan kualitas dosen Indonesia,” ungkapnya.

“Akan ada banyak pengaruh juga misal ke gaya ajar, pengelolaan budaya organisasi, gaya hilirisasi dari hasil riset ke masyarakat atau ke industri kita bisa banyak mencontoh dan belajar dari mereka.”

Masa depan kampus asing di Indonesia

Meskipun Dicky menyambut baik rencana pembukaan kampus cabang Monash karena sudah memiliki rekam jejak akademik yang baik, ia menghimbau pemerintah harus mempertimbangkan dengan matang setiap proposal pembukaan kampus cabang di masa depan.

“Kalau sudah memilih liberalisasi pendidikan tinggi, pemerintah punya peran penting. Bukan untuk proteksionisme, tapi supaya kebijakan-kebijakan pembukaan pasar ini benar-benar mendukung pengembangan sistem perguruan tinggi kita,” katanya.

“Harus ada pengaturan bagaimana kita memilih universitas yang akan masuk, jangan asal asing boleh masuk.”

Sebuah studi dari Amerika tahun 2012 mengindikasikan bahwa hanya universitas yang dengan kapasitas dan pengalaman mendirikan kampus cabang dengan baik – dengan kualitas mendekati kampus utama – yang dapat benar-benar meningkatkan kesejahteraan dan kualitas akademik dari negara di mana ia berada.

Kalau tidak, kampus cabang hanya akan berperan sebagai institusi satelit yang menyerap mahasiswa dan sumber daya ilmiah kembali ke kampus utama tanpa memberikan banyak ke universitas lokal.


Baca juga: Bagaimana Korea Selatan dan Taiwan mengembangkan ekonomi mereka dengan cepat, sementara Malaysia dan Indonesia tertinggal


“Ini baru Monash, terbuka kemungkinan akan menyusul yg lain. Harus ada kriteria, apa yangg membuat satu kampus di luar negeri boleh masuk. Menurut saya, kriteria itu adalah kapasitas riset, rekam jejak akademik, dan peluang kerjasama internasional,” tambah Dicky.

Inaya Rakhmani, seorang dosen di Universitas Indonesia, adalah akademisi lain yang bersikap hati-hati terhadap masuknya kampus asing ke dalam sektor pendidikan tinggi.

Ia menyampaikan kekhawatirannya beberapa bulan lalu saat rencana kampus cabang Monash masih dalam tahap perencanaan.

“Tanpa [kriteria ketat dan penguatan pendidikan tinggi Indonesia terlebih dahulu], yang akan dapat manfaat dari internasionalisasi adalah pemain yang sudah kuat, biasanya universitas Anglo-Saxon,” katanya.

“Bukan saya xenofobik, tapi seluruh kolaborasi itu harus juga bermanfaat dua arah di mana institusi publik dan sumber daya ilmiah kita ditingkatkan melalui kerjasama, bukan kita sebagai pasar yang dikomodifikasi oleh pemain-pemain yang sangat hebat di bidangnya.”

Kampus Monash tersebut akan dibangun di suatu kawasan ekonomi khusus di Tangerang Selatan. Rencananya, program S2 dan S3 akan dibuka pada akhir 2021, namun program sertifikasi dan kelas untuk eksekutif akan terlebih dahulu dibuka akhir tahun ini.

Pejabat Monash University mengatakan bahwa target mereka adalah mengakomodasi setidaknya 2.000 mahasiswa S2, 1.000 pendaftar kelas eksekutif, dan 100 mahasiswa S3 pada 2030.The Conversation

Luthfi T. Dzulfikar, Associate Editor, The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: