Kanti Pertiwi, Universitas Indonesia

Selama ini gerakan antikorupsi di Indonesia dan dunia berpegang pada pendekatan rasionalis. Pendukung pendekatan ini percaya bahwa keberadaan demokrasi, budaya organisasi dan tata kelola yang baik yang berkembang di negara-negara Barat dapat menekan korupsi. Pendekatan ini juga melihat korupsi sebagai permasalahan moral dalam masyarakat.

Korupsi jamak dikonstruksikan sebagai “kanker”, “AIDS” maupun “iblis” yang merusak moral masyarakat dan mencuri kesejahteraan dari si miskin.

Namun pengkonstruksian makna “korupsi” semacam ini perlu dicermati. Seiring dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember, kita perlu mengkritisi suara pihak yang dominan dalam pendefinisian korupsi dan bagaimana antikorupsi kemudian diartikulasikan ke dalam sebuah gerakan.

Skandal-skandal seperti Paradise Papers, dan sebelumnya Panama Papers, serta kasus Enron dan Unaoil, menunjukkan bahwa negara-negara yang dianggap memiliki pencapaian demokrasi yang lebih matang, budaya, etos kerja, dan tata kelola terbaik pun, tak kebal dari perilaku korup.

Alat kekuasaan

Ekonom Jeffrey Sachs menyerukan, jika dunia ingin terbebas dari korupsi mulailah dengan Inggris dan Amerika Serikat, karena mereka pun memiliki “budaya korupsi” dengan membiarkan korupsi terjadi secara terang-terangan. Keberadaan suaka pajak yang legal pada hakikatnya memudahkan orang kaya menghindari membayar pajak.

Gerakan antikorupsi global sering menghadapi kesulitan dalam mendorong perubahan perilaku. Sebabnya, gerakan antikorupsi global terlalu didominasi oleh ide-ide dari kalangan elite antikorupsi dari negara-negara Barat. Dominasi ini cenderung meminggirkan suara mereka yang paling terkena dampak dari gerakan tersebut, yaitu kelompok marjinal.

Bagi David Kennedy, Profesor hukum dari Harvard, konsep antikorupsi lebih tepat dilihat sebagai alat untuk mengendalikan mereka yang bermain di luar kesepakatan para pihak yang berkuasa.

Antikorupsi juga menciptakan stigma terhadap sistem ekonomi dan politik lokal yang berbeda dari dengan sistem ekonomi negara-negara Barat. Stigma bahwa sistem ekonomi dan politik lokal ini lebih inferior ketimbang sistem dan politik negara Barat, menurut Kennedy, berdampak pada semakin timpangnya kekuatan antara negara-negara di dunia.

Kennedy juga mengkritik praktik antikorupsi yang memandang korupsi sebagai permasalahan akut moral yang menjangkiti seluruh sektor dan lapisan di masyarakat. Cara memandang korupsi sebagai permasalahan moral mengabaikan kondisi masyarakat pasca-kolonial seperti Indonesia yang tak dapat dipisahkan dari konteks sejarah, proses perubahan sistem politik, ekonomi, dan dinamika sosial budayanya.

Pendapat Kennedy ini selaras dengan pemikiran Kartini, tokoh perempuan Indonesia di masa pendudukan Belanda. Ia mengungkap hal serupa tatkala ia menuliskan bagaimana korupsi yang ada pada zamannya adalah kombinasi dari tekanan ekonomi, sistem pemerintahan yang masih jauh dari ideal dan ekspektasi sosial masyarakat.

Tantangan yang sama masih dihadapi oleh Indonesia di masa sekarang. Sebagaimana dilaporkan Bank Dunia, penurunan kemiskinan melambat sementara ketimpangan ekonomi semakin lebar. Di sisi lain, pengelolaan sektor publik masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang tidak secara mudah dapat dikaitkan dengan moralitas individu.

Industri antikorupsi

Secara global antikorupsi telah menjadi industri yang bernilai lebih dari US$5 miliar. Seminar-seminar dan workshop terkait antikorupsi dan tata kelola diselenggarakan tak cuma di Indonesia tapi juga di berbagai belahan dunia.

Beragam pakta dan konvensi telah dilahirkan seperti Council of Europe Criminal Law Convention and Protocol on Corruption, African Union Convention on Preventing and Combating Corruption, UN Convention Against Corruption, dan OECD Anti-Bribery Convention.

Pada tataran organisasi—publik maupun swasta—telah hadir pula bermacam instrumen antikorupsi dalam bentuk kurikulum pendidikan, berbagai modul, buku saku, hingga permainan anak-anak.

Pada 2001 Tara Polzer menulis gerakan antikorupsi global yang digawangi oleh badan internasional seperti Bank Dunia dan Transparansi Internasional tak lepas dari keputusan para pemimpin di dalam badan terkait dan kondisi perpolitikan dunia di akhir era 1990-an.

Bank Dunia, yang fungsinya menghimpun dana dari negara-negara maju untuk membiayai pembangunan negara miskin dan berkembang, saat itu ditekan oleh negara-negara maju pemberi donor sehubungan dengan krisis ekonomi Asia di akhir dekade 90-an. Negara-negara donor menyoroti korupsi yang dilakukan oleh elite politik di negara-negara berkembang dan ingin dana mereka dikelola dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan.

Ini berimbas pada perubahan strategi Bank Dunia. Badan ini kemudian masuk ke ranah pemberantasan korupsi di negara-negara peminjam, sesuatu yang awalnya dianggap sebagai ranah politik domestik dan terlarang bagi lembaga keuangan internasional tersebut.

Gerakan antikorupsi kemudian begitu menggebu-gebu dilancarkan, tanpa sikap kritis, sebagai gerakan yang menyasar nilai-nilai bermasyarakat dan sistem pengelolaan negara secara keseluruhan yang dianggap “primitif” atau mengalami “distorsi”.

Di sisi lain, antikorupsi tak jarang menjadi salah sasaran. Misalnya, dalam kasus-kasus korupsi terkait pengadaan barang dan jasa semangat antikorupsi justru berujung pada kriminalisasi hal-hal yang tak cukup syarat untuk digolongkan sebagai tindakan korupsi.

Perlunya pendekatan alternatif

Menyadari kelemahan-kelemahan di atas, telah muncul pendekatan-pendekatan alternatif yang bertujuan memahami bagaimana korupsi dimaknai oleh individu terkait, bukan lagi dari kacamata “orang luar”.

Contohnya, studi etnografis di Rusia mengupas bagaimana praktik Blat yang dikategorikan sebagai nepotisme oleh gerakan antikorupsi ternyata dipandang sebagai hubungan sosial biasa bahkan menjadi bagian penting dari identitas masyarakat lokal, tanpa ada nuansa kemerosotan moral di dalamnya. Lebih jauh lagi, praktik Blat sebagai sebuah peraturan tidak tertulis ternyata memiliki mekanisme sendiri dalam menutupi tidak efektifnya peraturan-peraturan tertulis.

Sementara itu, studi korupsi di Tanzania mengungkap bahwa gerakan antikorupsi telah melahirkan beragam peraturan perundangan yang secara konsep bertujuan mendorong emansipasi masyarakat yang lemah. Namun, peraturan perundangan antikorupsi ini pada saat yang sama menekan masyarakat lemah. Justru lewat praktik-praktik yang lazim disebut korupsi, komunitas marjinal mendapatkan akses ke layanan publik dan menikmati re-distribusi pendapatan. Ini mirip dengan keberadaan “uang lelah” dan “uang rokok” di Indonesia.

Disertasi saya juga mengungkap hal senada yaitu bahwa gerakan antikorupsi global cenderung mengabaikan pemaknaan alternatif yang begitu kuat mengakar ke dalam identitas individu terkait. Memberikan uang atau benda sebagai “tanda terimakasih” yang dianggap korupsi oleh gerakan antikorupsi, di masyarakat banyak dimaknai sebagai perwujudan balas budi maupun rasa tanggung-jawab sosial.

Antikorupsi ke depan

Fenomena korupsi perlu dipahami secara kontekstual. Korupsi pada tataran birokrasi di konteks masyarakat yang mengalami transisi layaknya dipandang sebagai growing pains, sebuah nyeri bertumbuh yang akan hilang seiring dengan meningkatnya pendidikan dan pemerataan kesejahteraan.

Saat ini segelintir pendekatan rasionalis juga mulai mempertanyakan anggapan bahwa korupsi buruk untuk pertumbuhan. Beberapa negara yang belum memiliki tata kelola yang ideal justru bertumbuh karena “korupsi”. Di beberapa negara-negara Asia Pasifik, “korupsi” justru baik untuk pertumbuhan ekonomi.

Temuan-temuan ini tak perlu dilihat sebagai pembelaan atas korupsi, melainkan sebagai catatan bahwa setiap perekonomian memiliki mekanisme bertumbuh yang berbeda-beda. Korupsi yang sering dipandang sebagai rintangan pertumbuhan dapat ditangani lewat perumusan masalah dan penjabaran solusi yang lebih peka terhadap konteks.

Korupsi sebagai konstruksi sosial

Sosiolog Mark Granovetter menulis bahwa yang dinamakan korupsi dan bukan korupsi bergantung pada posisi dan kepentingan individu terkait.

Korupsi memiliki pemaknaan subjektif yang rentan bertentangan dengan definisi resmi. Ini menuntut dibukanya ruang pada pemaknaan alternatif karena sering kali pemaknaan alternatif inilah yang menjadi sandungan dalam penerapan instrumen antikorupsi di banyak situasi. Istilah “uang transport”, “rezeki”, hingga “infak”, perlu dimaknai dari sudut pandang individu terkait sehingga solusi yang beresonansi dapat dicapai.

Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mengakui eksistensi pemaknaan tersebut kemudian memikirkan bagaimana mengelolanya secara atentif, bukan dismisif. Berbagai perbuatan yang saat ini dikelompokkan dalam keranjang besar “korupsi” perlu dipilah lagi dan dikenali akar penyebab dan solusinya secara terpisah dengan melihat konteks ekonomi, sosial-budaya dari perbuatan tersebut.

Kontekstualisasi antikorupsi bukan upaya pembelaan atas korupsi, tapi sebuah upaya untuk meningkatkan rasa kepemilikan dan efektivitas dari gerakan ini. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Dunia Ketiga perlu mencermati pengadopsian konsep-konsep yang dianggap universal agar tidak menciptakan masalah-masalah sosial baru dengan mengalienasi identitasnya sendiri demi memperjuangkan ide-ide abstrak yang tidak berpijak pada nilai-nilai kehidupan bermasyarakat seperti resiprositas dan interdependensi.

Upaya ini boleh jadi dipandang sebagai pendekatan yang radikal atau bahkan aneh dalam merumuskan kembali gerakan antikorupsi. Meski demikian, sebuah keanehan tidaklah perlu ditakuti asalkan memiliki landasan berpikir yang kuat dan terlegitimasi. Lebih pentingnya lagi, upaya ini bertujuan agar antikorupsi tak menjadi slogan kosong yang tak mempunyai dampak nyata pada perilaku sehari-hari.


Catatan Editor: Versi sebelumnya dari artikel ini salah menulis nilai industri antikorupsi. Kesalahan ini telah diperbaiki.The Conversation

Kanti Pertiwi, Lecturer, Universitas Indonesia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: