Antoni Putra, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)

Hingga kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum bisa menggeledah kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam kasus dugaan suap politikus PDI-P terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).

KPK masih menunggu izin dari Dewan Pengawas, sebuah badan baru yang didirikan berdasarkan revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disahkan tahun lalu.

Lambatnya proses penggeledahan ini dapat menciptakan kesempatan bagi pelaku dan/atau pihak yang mungkin terlibat untuk menghilangkan barang bukti.

Kasus ini adalah kasus pertama pasca berlakunya Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Aktivis anti-korupsi dan masyarakat sipil serta mahasiswa sejak awal menilai revisi UU KPK ini cenderung melemahkan ketimbang menguatkan KPK.

Revisi UU KPK adalah bagian dari berbagai macam upaya yang dilakukan DPR bersama pemerintah untuk melemahkan KPK. KPK juga menghadapi kriminalisasi dan intimidasi selama menjalankan tugas-tugasnya.

Berikut saya merangkum upaya-upaya pelemahan KPK sejak 2009.


Baca juga: Lima argumen revisi UU KPK cacat hukum dan harus dibatalkan


Pelemahan secara legislasi

Revisi UU KPK akhir tahun lalu adalah klimaks dari upaya pelemahan yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade.

Sejak 2009, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sudah sembilan kali menggagas revisi UU KPK.

Pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), upaya untuk merevisi UU KPK selalu datang dari DPR, namun kandas karena ditolak SBY. Upaya revisi UU KPK tersebut datang lagi pada masa pemerintahan Jokowi.

Sejak 2015, DPR bersama pemerintah silih berganti mengusulkan UU KPK segera direvisi yang menemui ujungnya pada September 2019.

Pada saat revisi dilakukan tahun lalu, pemerintah beralasan bahwa revisi UU KPK dilakukan karena lembaga KPK bisa menghambat upaya investasi.

Tapi, yang tidak dikemukakan pemerintah dan DPR secara eksplisit adalah bahwa mereka takut pada penyadapan yang dilakukan KPK. Dalam rekam jejak KPK, mereka telah berulang kali menyadap pejabat pemerintah dan anggota DPR.

Di antara kasus yang pernah terungkap melalui penyadapan adalah kasus penyuapan menteri kehutanan MS Kaban dan anggota DPR pada 2007; penyuapan hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada 2015; kasus penyuapan anggota DPRD kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan pada 2015; dan kasus penyuapan anggota DPR fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait kuota impor sapi pada 2015.

Dalam beberapa kali upaya revisi dilakukan, pemerintah dan DPR selalu mempermasalahkan kewenangan KPK melakukan penyadapan.

Padahal KPK adalah buah perjuangan reformasi 1998 yang mengakhiri kekuasaan presiden Soeharto yang korup dan otoriter. Setelah Soeharto jatuh, presiden BJ Habibie mengesahkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua UU ini yang menjadi cikal bakal UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

KPK hadir sebagai pendorong atau stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada menjadi lebih efektif. Saat UU KPK lahir, kepolisian dan kejaksaan belum efektif dalam pemberantasan korupsi akibat begitu dalam dan merajalelanya warisan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) era Orde Baru.

Setelah KPK dibentuk, upaya untuk mengebiri kewenangannya melalui revisi UU KPK tersebut terus digagas.

Delapan upaya sejak era presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berujung pada kegagalan karena penolakan keras dari publik dan karena hingga tahun lalu DPR masih belum satu suara dengan pemerintah.

Situasi ini perlahan berubah setelah pada periode pertama pemerintahan Jokowi, pemerintah menjadi pemegang koalisi terbesar setelah PPP, PAN, dan Golkar bergabung antara 2014 dan 2016.

Kemudian, setelah Pemilu 2019 di bulan April, Gerindra bergabung dengan koalisi pendukung pemerintah – koalisi ini menguasai 427 kursi dari total 575 kursi DPR.

Tak lama, pada penghujung 2019, dalam proses legislasi kilat yang dilakukan DPR bersama pemerintah, revisi UU KPK berhasil dilakukan dan disahkan. Walaupun terjadi banyak penolakan, DPR dan pemerintah sepakat “melemahkan” KPK.

Kriminalisasi dan intimidasi

Meski pelemahan secara legislasi terhadap KPK tidak terjadi pada masa pemerintahan SBY, kriminalisasi terjadi terhadap komisioner dan pejabat-pejabat KPK yang melakukan pengusutan kasus korupsi yang melibatkan pengusaha dan politisi berpengaruh.

Pada 2009, ketua KPK Antasari Azhar, didakwa melakukan pembunuhan terhadap pengusaha Nasrudin Zulkarnaen. Ia kemudian divonis 18 tahun penjara pada 2010 dan ia dinyatakan bersalah turut serta melakukan pembujukan untuk membunuh Nasrudin.

Setelah bebas, ia mengatakan bahwa kasusnya direkayasa dan bahwa SBY dalang kriminalisasi terhadap dirinya. Namun, pernyataan Antasari tersebut tidak pernah dapat dibuktikan.

Salah satu kasus yang menjadi sorotan selama era Antasari adalah penangkapan dan pemenjaraan Aulia Pohan, deputi gubernur Bank Indonesia yang juga merupakan besan SBY, dalam kasus korupsi aliran dana dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia senilai Rp 100 miliar kepada sejumlah anggota DPR dan pejabat kejaksaan.

Juga pada 2009, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menetapkan dua orang wakil ketua KPK Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka. Bibit menjadi tersangka dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan surat cekal untuk pengusaha Joko S. Tjandra. Chandra menjadi tersangka tuduhan yang sama dalam menerbitkan surat permohonan cekal untuk pengusaha Anggoro Widjojo.

Kriminalisasi pada pejabat KPK terus berlangsung pada masa pemerintahan Jokowi. Pada 2015, Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan dan Barat menetapkan ketua KPK Abraham Samad sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen Kartu Tanda Penduduk, paspor dan Kartu Keluarga).

Tahun yang sama, komisioner KPK Bambang Wijojanto juga ditangkap polisi atas tuduhan menyuruh sejumlah saksi memberikan keterangan palsu di sidang pengadilan Mahkamah Konstitusi pada 2010.

Antara 2015 dan 2019, ada dua komisioner, tiga penyidik, dan seorang penyelidik KPK yang dilaporkan ke polisi dengan berbagai tuduhan. Komisioner Agus Rahardjo dan Saut Situmorang berulang kali dilaporkan ke kepolian. Mereka dilaporkan dengan tuduhan pemalsuan surat dan penyalahgunaan wewenang.

Kriminalisasi terhadap pemimpin KPK tersebut jelas berdampak buruk terhadap upaya pemberantasan korupsi. Dari beberapa kasus, setelah penetapan komisioner KPK menjadi tersangka, penanganan kasus yang sedang ditangani KPK menjadi terhambat.

Kekerasan, fitnah dan intimidasi terhadap pejabat KPK juga berulang kali terjadi.

Mulai dari tabrak lari kekerasan, hingga teror bom molotov.

Pada April 2017, penyidik KPK Novel Baswedan disiram air keras oleh dua pria bersepeda motor. selepas menjalankan salat subuh di mesjid dekat rumahnya. Novel nyaris kehilangan penglihatan.


Baca juga: Revisi UU KPK saat ini salah arah. Ini 3 hal yang harusnya direvisi


KPK yang dilemahkan

Buah dari upaya pelemahan terus-menerus itu kini sudah terlihat dalam kasus dugaan suap yang melibatkan politikus PDI-P Harun Masiku dan komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Dalam kasus ini, KPK berencana melakukan penggeledahan di kantor DPP PDI-P, namun urung terjadi. KPK mengatakan bahwa penggeledahan di Kantor DPP PDI-P tersebut membutuhkan evaluasi dan izin dari Dewan Pengawas KPK.

Padahal, di dalam kasus yang sama, KPK tidak menemui hambatan dalam menggeledah kantor KPU pada 13 Januari 2020.

Bandingkan dengan masa SBY. Selain menangkap dan bahkan memenjarakan besan presiden, KPK juga berhasil mengungkap korupsi berjemaah yang dilakukan kader partai Demokrat, partai dengan kursi terbanyak saat itu.

Mengembalikan kekuatan KPK

Keberadaan UU KPK yang baru perlu dikaji ulang. Saat ini memang tengah berlangsung uji formil dan materiil di Mahkamah Konstitusi karena UU itu dianggap bermasalah, baik dari segi proses pembentukan maupun dari segi materi muatan.

Jokowi bisa dan seharusnya menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan revisi UU itu.

Kita tunggu apakah Jokowi akan mengikuti jejak presiden Habibie yang mewariskan penguatan kerja pemerintah memberantas korupsi, atau justru jejak pendahulu Habibie yang mewariskan budaya korupsi.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.The Conversation

Antoni Putra, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: