Muhadi Sugiono, Universitas Gadjah Mada

Sinyal peredaan konflik antara Iran dan Amerika Serikat (AS) telah membuat dunia bernapas lega.

Bukan hanya karena perang terbuka dengan konsekuensi yang tidak terbatas bagi AS dan Iran tidak terjadi, tetapi juga, yang lebih penting, dunia terhindar dari risiko perang nuklir.

Konflik antara Iran-AS menunjukkan bahwa ancaman perang nuklir sebenarnya jauh lebih nyata daripada yang dibayangkan oleh banyak orang.

Peran masyarakat internasional dan institusi-institusi multilateral dibutuhkan untuk mendorong penyelesaian konflik yang melibatkan negara-negara yang memiliki senjata nuklir.

Indonesia memiliki posisi yang diperhitungkan di dunia, sehingga Indonesia bisa berkontribusi dan memainkan peran penting dalam perlucutan senjata nuklir di dunia.


Baca juga: Konflik panas AS-Iran dan dampaknya bagi Indonesia


Nuklir Iran vs AS

Permusuhan antara Iran dan Amerika yang berkembang sejak tumbangnya pemerintahan Shah Iran pada 1979 memiliki potensi yang sangat besar untuk selalu menempatkan dunia di bawah bayang-bayang perang nuklir saat kedua negara terlibat dalam konflik terbuka.

Iran dan AS menempatkan senjata nuklir sebagai bagian dari strategi pertahanan. Konstelasi regional dan internasional yang dianggap mengancam keamanan nasionalnya sejak revolusi tahun 1979 telah mendorong Iran untuk mengembangkan kemampuan nuklir, sementara penggunaan senjata nuklir untuk mengimbangi kekuatan nuklir negara lain telah menjadi bagian integral dari strategi militer AS.

AS telah mengembangkan senjata nuklir sebagai senjata taktis, yakni senjata dengan kapasitas yang lebih kecil daripada senjata nuklir sebagai senjata strategis yang dikembangkan pada masa Perang Dingin. Sebagai senjata taktis, kapasitas senjata nuklir ini tidak lebih dari sepertiga kapasitas bom nuklir yang diledakkan di Hiroshima, Jepang, pada 1945.

Sebagai senjata taktis, senjata nuklir bisa menjadi bagian dari strategi militer AS untuk mencegah atau menghalangi negara-negara dengan kekuatan menengah melakukan serangan besar-besaran baik dengan menggunakan senjata konvensional maupun senjata-senjata pemusnah massal yang lain. Dengan kata lain, AS bisa menggunakan senjata nuklirnya bahkan saat berhadapan dengan negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir.

Kemungkinan penggunaan senjata nuklir dalam perang-perang dengan skala yang lebih kecil ini pertama kali dibuka oleh pemerintahan presiden George Bush pada tahun 2002 dan tetap dipertahankan dalam pemerintahan Barack Obama dan Donald Trump.

Penggunaan senjata nuklir terhadap Iran menjadi sangat terbuka. Terutama setelah pemerintahan Bush, mengkategorikan Iran sebagai bagian dari ‘Axis of Evil (Poros Setan)’ bersama dengan Irak dan Korea Utara.

US Nuclear Posture Review 2018 juga menempatkan Timur Tengah sebagai wilayah strategis yang sangat potensial bagi penggunaan senjata nuklir sebagai senjata taktis tersebut–selain Eropa dan Semenanjung Korea.

Di pihak lain, kekhawatiran bahwa Iran mengembangkan senjata nuklir telah menjadi perhatian masyarakat internasional lebih dari dua dasawarsa.

Iran adalah salah satu negara yang menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons, atau NPT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Perjanjian ini bertujuan untuk mencegah penyebaran teknologi senjata nuklir, membangun kerja sama dalam penggunaan energi nuklir secara damai, dan perlucutan senjata nuklir.

Tetapi, laporan Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency, IAEA) pada tahun 2003 tidak bisa memastikan bahwa program nuklir Iran digunakan sepenuhnya untuk tujuan-tujuan damai.

Meskipun para pemimpin Iran selalu menekankan bahwa Iran tidak sedang mengembangkan senjata nuklir dan mengklaim hak Iran untuk mengembangkan nuklir untuk tujuan-tujuan damai, program-program nuklir Iran cenderung dianggap mencurigakan, terutama oleh AS.

Pada tahun 2015, setelah melalui perundingan panjang dan ancaman pengeboman terhadap fasilitas nuklirnya, Iran menandatangani kesepakatan dengan negara-negara pemilik senjata nuklir.

Kesepakatan yang dikenal sebagai Iran Deal tersebut menuntut Iran untuk merancang ulang, mengubah dan mengurangi fasilitas nuklirnya serta menerima Protokol Tambahan yang akan meningkatkan kemampuan IAEA untuk melakukan verifikasi terhadap penggunaan semua bahan nuklir Iran untuk tujuan-tujuan damai.

Sebagai imbalannya, sanksi ekonomi terhadap Iran dihapuskan dan pendapatan minyak serta aset-aset Iran yang dibekukan dibebaskan.

Tetapi, kesepakatan multilateral untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklirnya tidak bertahan lama. Pada tahun 2018, di bawah pemerintahan Trump, AS mengumumkan untuk keluar dari kesepakatan dan mengenakan kembali sanksi kepada Iran. Tindakan Amerika ini direspons Iran dengan melanggar Iran Deal dengan memperkaya uranium lewat dari batas yang ditentukan.

Tidak dapat dipungkiri kegagalan Iran Deal ini menjadikan upaya untuk mencegah risiko perang nuklir di Timur Tengah menjadi lebih sulit. Terlebih lagi, negara-negara di Timur Tengah tidak memiliki kesepakatan untuk menjadikan Timur Tengah sebagai kawasan yang bebas dari senjata nuklir seperti yang dimandatkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Karakter hubungan yang penuh konflik di kawasan tersebut, terutama hubungan antara Israel dan Iran, menjadikan dorongan untuk menggunakan senjata nuklir sangat kuat.


Baca juga: Konflik AS-Iran: Apa akibatnya jika melanggar hukum internasional?


Bagaimana Indonesia bisa membantu

Ancaman perang nuklir akan tetap membayangi dan mengancam eksistensi umat manusia selama senjata nuklir masih menjadi bagian dari strategi pertahanan negara-negara di dunia.

Konflik AS dan Iran bukanlah kasus eksklusif. Pola hubungan sarat konflik muncul juga di kawasan-kawasan lain seperti di Asia Selatan maupun di Semenanjung Korea.

Peran masyarakat internasional dan institusi-institusi multilateral untuk mendorong penyelesaian konflik yang melibatkan negara-negara yang memiliki senjata nuklir oleh karenanya menjadi sangat penting.

Tetapi, yang jauh lebih penting lagi adalah keberadaan hukum internasional yang mencegah negara-negara menjadikan senjata nuklir sebagai bagian dari sistem pertahanan mereka.

Diadopsinya Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition of the Nuclear Weapons, atau TPNW) merupakan langkah awal untuk menghilangkan ancaman perang nuklir.

Hanya saja, sekalipun didukung oleh lebih dari separuh anggota PBB, TPNW baru diratifikasi oleh 35 negara. Diperlukan 15 negara lagi untuk menjadikan TPNW sebagai hukum internasional yang mengikat.

Indonesia adalah negara yang secara konsisten mendukung perlucutan senjata nuklir. Indonesia mendukung penuh implementasi NPT secara konsisten dan menempatkan perlucutan senjata nuklir sebagai agenda utama dalam pertemuan-pertemuan yang membahas mengenai NPT.

Indonesia termasuk salah satu negara pertama yang menandatangani TPNW, tetapi belum meratifikasinya. Pemerintah Indonesia sejauh ini tidak mengemukakan alasan yang substantif dan hanya menyampaikan alasan prosedural.

Padahal, dengan meratifikasi TPNW, Indonesia bisa membuat perbedaan bagi masa depan umat manusia dengan menghindarkan dunia dari risiko perang nuklir.

Selain mencerminkan konsistensinya dalam isu perlucutan senjata nuklir, ratifikasi oleh Indonesia akan mendorong negara-negara lain untuk melakukannya.

Indonesia adalah koordinator Kelompok Kerja Perlucutan Senjata Gerakan Non Blok sejak tahun 1994. Sebagai anggota G20 dan, saat ini, anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, ratifikasi oleh Indonesia akan dapat memberikan bobot yang lebih besar bagi upaya untuk menjadikan TPNW sebagai hukum internasional yang mengikat, sebuah langkah awal yang penting bagi penghapusan senjata nuklir.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.The Conversation

Muhadi Sugiono, Lecturer in International Relations, Universitas Gadjah Mada

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: