Rahayu, Universitas Gadjah Mada

Tampaknya konflik internal di dalam Televisi Republik Indonesia (TVRI) terus saja berkecamuk. Pemberhentian direksi oleh Dewan Pengawas (Dewas) terjadi berulang-ulang selama hampir dua dekade.

Paling baru, Dewas memecat Direktur Utama Helmy Yahya karena Helmy dianggap tidak transparan dalam pembelian program siaran, tidak mematuhi rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2019 dalam melakukan pencitraan ulang TVRI, dan beberapa persoalan terkait dengan kepegawaian.

Pemecatan yang sama juga terjadi pada 2013 terhadap direktur utama kala itu, Farhat Syukri, dan beberapa direktur lainnya dicopot oleh Dewas karena mereka dianggap berkinerja buruk dan tidak transparan.

Pemecatan pimpinan TVRI juga terjadi pada 2003 terhadap direktur utama saat itu, Sumita Tobing. Pengganti Sumita, Hari Sulistyo juga dipecat oleh Dewas setahun kemudian karena dituding melanggar Anggaran Dasar TVRI.

Sebagian besar penyebab pemecatan berputar-putar pada masalah yang sama. Siapapun yang memimpin TVRI akan bermasalah selama permasalahan internal lembaga penyiaran publik tersebut tidak terselesaikan.

Saya sebagai pengamat lembaga penyiaran publik di Indonesia sejak 2003 mencatat setidaknya ada tiga masalah besar yang dihadapi TVRI: tata kelola organisasi, standar kinerja, dan korupsi.

Tata Kelola Organisasi

Pemecatan dewan direksi yang kerap dilakukan oleh Dewas selalu menjadi akhir yang tragis dari serangkaian pertikaian antara kedua petinggi lembaga penyiaran publik ini.

Kasus-kasus yang berulang mengindikasikan adanya ketidakberesan dalam tata kelola organisasi.

Tumpang tindih antara Dewas dan direksi mengaburkan batas-batas kewenangan Dewas dan direksi.

Tata kelola keuangan yang tidak transparan terkait pendapatan, penggunaan dan pelaporan memberikan peluang penyalahgunaan dana, manipulasi, dan bahkan korupsi.

Regulasi kepegawaian negara juga tidak sepenuhnya mendukung kebutuhan profesionalisme di TVRI. Kebutuhan direktur menyegarkan kinerja dengan rotasi atau pemberhentian staf yang berkinerja buruk mendapati kendala dan disalahartikan oleh sejumlah pegawai sebagai bentuk kesewenang-wenangan.

Standar Kinerja

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2017 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia, TVRI memiliki kewajiban untuk menghasilkan pendapatan bagi negara.

Peraturan ini menjadikan TVRI sebagai salah satu ‘mesin uang’ bagi pemerintah.

Komersialisasi TVRI menyebabkan lembaga ini lebih mengejar rating daripada melayani publik.

Demi mengejar rating, direksi akhirnya harus mengambil tindakan meski berisiko ‘menabrak’ aturan. Hal ini tampaknya yang terjadi pada Helmy.

Helmy pada awal jabatan mengisyaratkan perlunya ‘revolusi’ untuk dapat mengangkat TVRI yang telah karam. Berbagai kebijakan ia lakukan, termasuk pencitraan ulang dan membeli program populer seperti Liga Inggris demi rating. Helmy mengklaim jumlah penonton TVRI meningkat selama kepemimpinannya.

Padahal hal tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 yang menyatakan bahwa TVRI “bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat”.

Jika TVRI tidak komersial, sistem anggaran seharusnya dirancang agar mampu mendukung idealisme TVRI. Sebuah riset menunjukkan bahwa sistem penganggaran di TVRI tidak sesuai dengan karakter lembaga penyiaran yang berorientasi pada profesionalitas.

Kontradiksi peraturan menyebabkan standar kinerja TVRI sebagai lembaga penyiaran publik tidak pernah jelas dan ini tentu membingungkan jajaran direksi dalam bekerja.

Korupsi

Masalah korupsi di TVRI terjadi berulang kali. Korupsi menjerat Sumita dalam kasus pengadaan peralatan siar, Kepala Stasiun TVRI Nusa Tenggara Timur Jani Yosef dalam kasus pengadaan konsumsi fiktif, dan Direktur Keuangan Eddy Machmudi Effendi dalam kasus pengadaan program siar.

Mengapa korupsi bisa melanda TVRI, sebuah lembaga penyiaran yang konon memiliki dana terbatas dan cenderung berkekurangan?

Khalayak umum mungkin hanya tahu bahwa sumber keuangan TVRI berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tapi tidak banyak yang mengetahui adanya dana non-APBN.

Menurut sumber internal TVRI, jumlah dana dari APBN memang relatif terbatas, namun dana dari non-APBN jumlahnya cukup besar. Dana non-APBN ini berasal dari sewa pemancar, kerja sama siaran, dan iklan.

Sayangnya, perolehan dan penggunaan dana anggaran ini tidak pernah jelas dan terbuka. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan pernah selama empat tahun berturut-turut memberikan penilaian disclaimer atau paling buruk pada TVRI hingga 2016.

Solusi menyeluruh

TVRI memerlukan audit total, meliputi tata kelola organisasi, sistem anggaran, kapasitas sumber daya manusia, dan juga keberadaan peraturan-peraturan yang mengikat TVRI.

Transparansi terutama soal keuangan perlu ditingkatkan karena menyangkut dana publik. Publik seharusnya memiliki akses pada perencanaan dan alokasi anggaran untuk dapat ikut mengawasi jalannya pengelolaan keuangan di TVRI. Pejabat pengelola informasi publik di TVRI berkewajiban untuk menyampaikan informasi ini secara terbuka melalui media massa atau situs web lembaga.

Program siaran idealnya mencerminkan eksistensi, peran dan fungsi TVRI sebagai lembaga penyiaran publik.

Program siaran seharusnya berkualitas agar menarik minat masyarakat menonton TVRI dan bukan rating yang jadi ukurannya.

Jika sekiranya direksi menilai program siaran kurang menarik, direksi perlu mengkaji secara cermat faktor yang menjadi penghambatnya. Temuan ini perlu dikomunikasikan kepada publik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan pemerintah untuk mendapatkan dukungan dan solusi.

Masyarakat Indonesia tampaknya juga belum menyadari arti penting keberadaan lembaga penyiaran publik, sehingga dukungan terhadap TVRI masih terbatas.

Pemerintah harus melakukan edukasi tentang lembaga penyiaran publik dengan serius dan berkesinambungan untuk dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa TVRI merupakan milik masyarakat yang eksistensinya tidak lain adalah untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Edukasi ini juga penting untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan pengelolaan lembaga ini.

Kasus-kasus yang melibatkan direksi dan Dewas merupakan persoalan menahun di tubuh TVRI. Polemik ini tidak seharusnya diteruskan. Saatnya DPR, pemerintah, Dewan Direksi, Dewas, dan masyarakat sipil menyatukan suara dan bertindak nyata untuk menyelamatkan TVRI.The Conversation

Rahayu, Lecturer in the Department of Communication Science, Universitas Gadjah Mada

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: