Simon Chadwick, University of Salford

Salah satu pertandingan yang paling ditunggu di Liga Primer Inggris (Premier League) adalah Manchester City melawan Manchester United atau akrab dikenal sebagai Manchester Derby. Untuk musim ini semua mata akan tertuju ke Etihad Stadium, tempat kedua raksasa sepak bola ini akan bertemu untuk pertama kalinya musim ini. Uniknya konfrontasi kali ini akan memiliki dampak besar jauh melebihi gol-gol dan gelar juara.

Sejauh ini Manchester City atau sering disebut City sedang kesulitan untuk mendapatkan prestasi yang sama ketika diasuh oleh manajer sebelumnya, Pep Guardiola. Sementara tetangga mereka, Manchester United (United) juga sedang berjuang pada era setelah manajer legendaris Alex Ferguson karena Ole Gunnar Solskjaer masih kurang berprestasi.

Menambah bara persaingan, kedua tim juga mempunyai masalahnya sendiri di luar lapangan. City divonis bersalah di Sidang Arbitrase Olah Raga karena telah menyalahi aturan Financial Fair Play (FFP) dari Union of European Football Associations (UEFA). Aturan ini membatasi pengeluaran klub untuk membeli pemain agar kompetisi menjadi lebih adil bagi semua klub. Sementara di United, para penggemar masih meragukan pemilik klub karena kegagalannya untuk mencapai kesuksesan yang dulu mereka pernah capai.

Di luar dari ketegangan karena persaingan antar keduanya dan upaya untuk selalu bekerja di bawah aturan FFP, sebuah pertarungan yang lebih besar sedang terjadi di Manchester. Sebuah duel tak kasat mata yang lebih penting jika dibandingkan sebuah pertandingan sepak bola.

Pada 2005, United dibeli oleh keluarga Glazers dari Amerika Serikat yang terkenal sebagai pengusaha olah raga dan juga memiliki klub National Football League, Tampa Bay Buccaneers. Keluarga Glazers sangat terpaku pada pola ekonomi olah raga domestik di AS yang merupakan salah satu yang terbesar di dunia dan kemungkinan menyumbang 40% dari total nilai industri olah raga di dunia..

Pertumbuhan dan dominasi industri olah raga AS sampai sekarang tetap menakjubkan karena pasar bebasnya. Tidak seperti kebanyakan negara lain, AS tidak memiliki kementerian olah raga. Alih-alih industri olah raga di AS digerakkan oleh prinsip-prinsip komersial, di mana keuntungan mendikte dan imbal hasil dihasilkan oleh dan untuk para investor-investor swasta.

Dalam banyak hal United sudah menjadi sebuah perwujudan dari konsep olah raga kapitalis Barat ini. Pengeluaran klub dikelola dengan sangat hati-hati sembari membuat pemasukan klub digenjot semaksimal mungkin. Ini terbukti dengan United telah menjadi salah satu klub paling menguntungkan di dunia dalam beberapa tahun terakhir, walaupun mereka terseok-seok di lapangan.

United juga terpaku pada berbagai macam penjualan hak dan konsisten dalam hal ini. Saat ini klub tersebut menghasilkan uang dari berbagai macam perjanjian kerja sama, mulai dari merek cat asal Jepang sampai pembuat whisky dari Skotlandia.

Untuk itu United membutuhkan kemenangan pada akhir minggu ini, tidak hanya untuk klub tapi juga untuk ideologi kapitalis yang diwakilinya. Mereka telah melakukan usaha yang luar biasa untuk mengejar keuntungan, walaupun prestasinya akhir-akhir ini telah sedikit meredupkan merek yang mereka punya.

Kemenangan di Etihad akan membuktikan bukan hanya kemampuan tim tapi juga ideologi mana yang benar untuk menjalankan sebuah klub sepak bola.

Para pemilik asing

Jika dilihat lebih teliti, City seakan-akan memiliki persamaan dengan United karena mereka memiliki mitra-mitra bisnis yang serupa. Namun begitu, City adalah sebuah skema yang berbeda jika dibandingkan United. Pada 2008, tim dari timur Manchester ini dibeli oleh Abu Dhabi United Group for Development and Investment, sebuah badan investasi milik negara.

Maka dari itu, City dimiliki dan dijalankan oleh negara Timur Tengah yang kaya minyak yang menampilkan karakteristik dari sebuah “rentier state” atau negara rente adalah negara yang mendapatkan penghasilan dari investasi di luar negeri. Seperti yang dibahas di sebuah bab dalam buku yang baru saja saya tulis.

Keuntungan dari aset-aset ini kemudian digunakan di dalam negeri sebagai sebuah pengurang pajak dan pengeluaran pemerintah, yang mengurangi perlunya struktur-struktur dan proses-proses demokratis. City menghasilkan keuntungan yang membuat mereka ikut andil dalam tetap membuat penduduk di Abu Dhabi senang.

Pentingnya kepemilikan negara dari Asia di City diilustrasikan oleh bagaimana pemilik menggunakan klub sebagai sebuah instrumen kebijakan negara, khususnya di bidang hubungan internasional dan diplomasi. Sebagai contoh, City Football Group (CFG, City merupakan salah satu konstituennya) yang sebagian dimiliki oleh investor-investor Cina, kepemilikan ini diumumkan secara publik ketika Presiden Cina Xi Jinping berkunjung ke Inggris pada 2015.

Menggunakan City sebagai sebuah instrumen kebijakan telah membuat segala urusan perjanjian antara Abu Dhabi dan Beijing menjadi lebih mudah. Awal tahun ini ketika dunia sepak bola merespons pengumuman dari CFG yang akan membuat sebuah klub franchise di Chengdu Cina, hanya segelintir orang yang menyadari bahwa ada pengumuman pada waktu yang sama bahwa maskapai asal Abu Dhabi, Etihad (sponsor kaus utama untuk City), akan membangun kerja sama baru dengan….Chengdu.

Pola permainan rentier state dalam sepak bola sudah lama terjadi, sudah dilakukan pada tahun ini dan terlihat semakin kuat sembari kita menuju tahun 2020. Sebuah kemenangan oleh City dalam Manchester Derby akhir minggu ini akan menambah dorongan pengaruh ke olah raga ini yang semakin kuat.

Bukan hanya sebuah pertandingan sepak bola

City lawan United menjadi bukan hanya sebuah pertandingan sepak bola, pertandingan ini menjadi sebuah garis depan akan sesuatu yang dengan cepat menjadi sebuah perang ideologi antara Barat dan Timur. Tentu, perang ini tidak hanya melibatkan jiwa dan raga untuk sepak bola. Peperangan yang serupa juga terjadi di berbagai macam olah raga dan sektor industri lainnya seperti properti, teknologi finansial, dan hiburan.

Dua dekade lalu, kapitalisme Barat berkuasa dan United mendominasi. Sekarang dunia telah berubah dengan negara-negara Asia mulai naik daun. Mungkin juga tidak mengherankan jika City sekarang yang dominan.

Sayangnya seperti konflik-konflik lainnya, akan ada korban yang tidak direncanakan yang dalam hal ini, sepertinya adalah penggemar sepak bola dari kota Manchester. Suporter-suporter City dari Openshaw dan Gorton Barat tidak diragukan lagi akan tetap bernostalgia untuk momen bersama Francis Lee dan Colin Bell. Sementara di Stretford dan Gorse Hill, para penggemar United tentunya akan mengenang era Busby Babes dan King Eric.

Mereka yang dulunya hanya sebuah komunitas lokal, yang merupakan sebuah wujud identitas geografis masyarakat sekarang telah menjadi sebuah alat dalam sebuah perang ideologi.

Walaupun begitu mungkin mereka juga akan menyadari, bahwa sekarang kenyataannya adalah klub-klub ini bukan lagi milik mereka. Melainkan ketamakan korporat kapitalisme Barat dan sheik-sheik Timur Tengah yang lapar akan keuntungan yang sedang bermain di pertandingan sepak bola terbesar dari semuanya – sebuah pertarungan untuk dominasi ideologi.The Conversation

Simon Chadwick, Professor of Sports Enterprise, University of Salford

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: