Nathalie Butt, The University of Queensland dan Mary Menton, University of Sussex

Global Witness, sebuah kelompok independen yang aktif menentang kekerasan HAM dalam perlindungan lingkungan hidup, merilis laporan 1.738 pembela lingkungan telah dibunuh antara tahun 2002 hingga 2018 di 50 negara.

Minggu lalu, grup tersebut juga mengeluarkan angka terbaru tahun 2018. Mereka berhasil mengidentifikasi 164 pembunuhan terhadap pembela lingkungan.

Meskipun angka tersebut menurun dari tahun 2017, namun jumlah pelaporan kematian terus meningkat. Rata-rata tiga orang dibunuh per minggu akibat aktivitas mereka dalam melindungi lingkungan.

Soal penegakan hukum, Global Witness mencatat hanya 10% dari pembunuhan tersebut berujung pada vonis pengadilan dalam rentang tahun 2002-2013.

Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan kasus pembunuhan umum dalam skala global, yaitu 43% di tahun 2013.


Baca juga: Koala-detecting dogs sniff out flaws in Australia`s threatened species protection


Dalam satu studi yang dilakukan berdasarkan data dari Global Witness tahun 2002-2017 dan telah dipublikasikan di Nature Sustainability, kami menemukan banyak kematian berhubungan dengan konflik sumber daya alam, termasuk bahan bakar fosil, kayu, dan air.

Dari 50 negara tempat kematian tersebut tercata, hanya di tiga yang tidak masuk ke dalam kategori negara korup berdasarkan skor Indeks Persepsi Korupsi.

Siapa pembela lingkungan?

Pembela lingkungan adalah individu atau kelompok yang aktif dalam upaya melindungi hutan, air, dan sumber daya alam lainnya.

Mereka bisa saja aktivis komunitas, masyarakat adat, pengacara, jurnalis, ataupun anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Meski demikian, mereka tidak mendapatkan julukan sebagai pembela lingkungan berdasarkan profesi atau identitas politik, namun karena perjuangan keras mereka dalam melindungi lingkungan hidup atau hak atas tanah. Banyak dari perjuangan tersebut merupakan aktivitas kolektif: mereka tidak bertindak sendirian.

Chico Mendes, seorang penyadap karet, pemimpin serikat kerja, dan aktivis lingkungan hidup asal Brasil, adalah salah satu contoh pembela lingkungan terkenal.

Ia dibunuh tahun 1998 karena dalam melindungi hutan Amazon dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.

Pembela lingkungan asal Brasil lainnya, José Claudio Ribeiro dan Maria do Espirito Santo, dibunuh pada tahun 2011 karena aktif menentang penebangan hutan ilegal di daerah Amazon.

Di Kamboja, Chut Wutty, direktur Natural Resource Protection Group, sebuah LSM Kamboja yang aktif mengritik korupsi di pemerintahan dan militer serta menentang penebangan ilegal, tewas ditembak tahun 2012.

Pembunuhan Berta Cáceres pada 2016 karena melawan pembangunan bendungan yang merebut hak atas air dan lahan dari suku Lenca di Hondursa mengundang perhatian internasional. Dunia internasional mengecam dan menuntut keadilan atas kematian Berta.

Sebagian pembunuhan pembela lingkungan mendapatkan perhatian dunia internasional, namun banyak hanya berhenti pada level lokal.

Masih banyak kasus pembunuhan pembela lingkungan yang belum tercatat dan dimasukkan ke dalam pangkalan data Global Witness.

Adanya konflik kepentingan

Latar belakang kekerasan dan pembunuhan terhadap pembela lingkungan adalah konflik terkait ekstraksi lahan atau air serta sumber daya alam , misalnya bahan bakar fosil, tambang, pertanian, akuakultur (budi daya perikanan), dan kayu.

Konflik sumber daya alam sudah terjadi sejak era kolonialisme, saat pemerintah kolonial mengambil hak atas lahan secara ilegal.

Sementara, dewasa ini, jejak lingkungan (environmental footprints) muncul dari pola konsumsi negara kaya yang mengambil sumber daya dari negara berpenghasilan lebih rendah.

Pengambilan sumber daya alam dari satu negara berbeda dengan negara yang memproduksi dan mengonsumsi.

Perusahaan atau kelompok yang tidak memiliki hak terhadap sumber daya alam biasanya akan melakukan ekstraksi, contohnya penebangan hutan ilegal di hutan adat, atau ekstraksi air sungai yang biasa dikonsumsi penduduk lokal oleh perusahaan tambang milik asing di Bolivia.

Meski sebagian perusahaan lokal atau nasional, namun banyak kasus melibatkan perusahaan multinasional sebagai salah satu faktor pendorong akan adanya kekerasan terhadap pembela lingkungan.

Pertanyaannya adalah: siapakah yang melakukan pembunuhan tersebut?

Kekerasan terhadap pembela lingkungan mungkin dilakukan oleh pihak yang memiliki kepentingan tertentu, seperti penebang liar atau penambang, atau atas nama kepentingan pemerintah.

Dalam satu kasus, pihak kepolisan Pau D`Arco, Brasil, justru diduga membunuh 10 pembela lingkungan pada bulan Mei 2017.

Sementara, untuk kasus Chut Wutty, banyak dugaan pembunuhan itu dilakukan oleh polisi militer.

Penelitian kami menemukan kelemahan regulasi serta korupsi di negara yang memiliki hubungan erat dengan kematian pembela lingkungan.

Kami juga menemukan bahwa dari angka pembunuhan tersebut, sekitar 40% adalah pembunuhan terhadap pembela lingkungan tahun 2015 dan 2016, serta 30% tahun 2017, terhadap masyarakat adat.

Masyarakat adat memiliki hak atas seperempat dari lahan di seluruh dunia (sekitar 38 juta kilometer persegi). Konflik sumber daya alam sering berkaitan dengan tidak adanya pengakuan terhadap hak lahan tersebut.

Salah satu contoh terbaru tentang konflik lahan dengan masyarakat adat adalah kasus Standing Rock di AS.

Suku Sioux, salah satu suku asli di AS, bersama aliansi pembela lingkungan melawan pembangunan North Dakota Access Pipe Line, berhadapan dengan respon agresif dari otoritas. Hasilnya, sejumlah demonstran terluka dan dilarikan ke rumah sakit.


Baca juga: What are native grasslands, and why do they matter?


Kami melihat bahwa perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari ekstraksi sumber daya alam telah mengabaikan hak-hak para pembela lingkungan, dan turut serta mendorong kekerasan kepada mereka. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki tanggung jawab untuk bertindak secara etis.

Ada urgensi untuk pemahaman global terkait dengan konflik sumber daya alam. Yang saat ini terjadi, dalam konteks perusakan lingkungan dan sosial, merupakan hasil dari globalisasi dan meningkatkan perdagangan serta konsumsi.

Perspektif global dibutuhkan dalam penanganan konflik sumber daya alam. Globalisasi mendorong terjadinya kerusakan lingkungan serta permasalahan sosial, yang kemudian diperparah oleh aktivitas perdagangan serta konsumsi.

Ada pembungkaman terhadap mereka yang bersuara untuk lingkungan hidup. Rendahnya vonis pengadilan menunjukkan tidak banyak yang memperoleh hukuman setimpal atas pembunuhan tersebut.

Lingkaran kekerasan dan aspek kekebalan hukum berpengaruh terhadap komunitas, menciptakan ketakutan. Meski takut, banyak yang terus berjuang bagi keadilan sosial dan lingkungan.

Stefanus Agustino Sitor menerjemahkan artikel ini dari bahasa InggrisThe Conversation

Nathalie Butt, Postdoctoral Fellow, The University of Queensland dan Mary Menton, Research Fellow in Environmental Justice, University of Sussex

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: