Juwita Hayyuning Prastiwi, Universitas Brawijaya

Pro-kontra perubahan masa jabatan maksimal presiden memanas setelah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arsul Sani mengangkat isu ini kepada media pada 21 November lalu.

Wacana perubahan yang muncul antara lain adalah dari dua kali masa jabatan masing-masing lima tahun (2 x 5 tahun) menjadi 3 x 5 tahun atau 1 x 8 tahun.

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyebut bahwa usulan ini berasal dari Fraksi Nasdem. Namun, Nasdem membantah dan menyatakan bahwa mereka hanya meneruskan aspirasi publik.

Ketua MPR lain Bambang Soesatyo juga menyebutkan bahwa perubahan jabatan presiden ini bukan berasal dari MPR namun berasal dari aspirasi masyarakat.

Rakyat agaknya telah menjadi kambing hitam dari pernyataan pejabat publik. Padahal wacana ini bergulir tanpa adanya kajian mendalam.

Penambahan periode jabatan presiden ini juga tidak relevan dengan nilai-nilai demokrasi, karena memperbesar potensi penyalahgunaan kekuasaan melalui praktik-praktik oligarki bahkan otoritarianisme.

Dampak panjangnya jabatan

Bill Gelfeld, professor Hubungan Internasional di Universidad San Francisco de Quito, Ecuador, dalam disertasinya yang berjudul “Preventing Deviations from Presidential Term Limits in Low and Middle Income Democracies”, menyebutkan bahwa alih-alih membawa kemajuan, studi di berbagai negara menunjukkan bagaimana penyimpangan terhadap masa jabatan presiden justru berdampak negatif.

Pada enam negara pecahan Soviet, yakni Kazakstan, Uzbekistan, Azerbaijan, Turkmenistan, Rusia, dan Tajikistan, ia mencatat, misalnya, Pendapatan Domestik Bruto per kapita menurun dua tahun setelah masa jabatan presiden diperpanjang.

Ia juga mencatat aspek hak politik mengalami kemunduran setelah empat tahun perpanjangan masa jabatan presiden dan aspek kebebasan sipil mengalami kemunduran setelah 5-10 tahun.

Petahana memang cenderung tergoda untuk memperpanjang masa kekuasaannya. Di seluruh dunia, upaya-upaya serupa juga berlangsung dan diusulkan oleh kelompok mayoritas.

Keinginan petahana untuk memperpanjang masa kekuasaan ini muncul karena mereka memiliki sumber daya yang dikumpulkan selama menjabat, sehingga memiliki kesempatan lebih besar untuk memenangkan pemilu berikutnya.

Di Cina, pada Maret 2018 Kongres Rakyat Nasional sepakat untuk menghapus masa jabatan presiden. Berdasarkan keputusan ini maka Xi Jinping menjadi presiden seumur hidup.

Masih pada tahun 2018, Vladimir Putin di Rusia juga memenangkan pemilu untuk keempat kalinya setelah mengubah konstitusi.

Beberapa negara berhaluan sosialis/komunis seperti Kuba dan Korea Utara juga mempraktikkan masa jabatan presiden tak terbatas.

Di Amerika Selatan, Bolivia telah mengubah masa jabatan presiden dari sebelumnya maksimal tiga periode menjadi empat periode. Perubahan konstitusi ini menjadi alat Evo Morales untuk bertarung kembali pada pemilihan presiden 2019. Namun berbeda dengan keberhasilan pemimpin sosialis lain, kekuatan rakyat dan militer bekerjasama mengagalkan Morales karena kecurangan pemilu.

Otak-atik batasan masa jabatan ini meski terjadi pada negara-negara sosialis, namun lebih banyak terjadi di negara-negara yang secara ekonomi lemah seperti negara-negara Afrika, dibandingkan pada negara dengan ekonomi maju.

Negara-negara di Afrika seperti Burundi, Rwanda, Togo, Republik Kongo, Sudan, Eritrea, dan Republik Demokratik Kongo juga mengubah batasan masa jabatan presiden mereka.

Bahkan, negara-negara seperti Ethiopia, Gambia, Lesotho, dan Maroko tidak pernah memperkenalkan batasan masa jabatan presiden.

Dalam sejarah Indonesia

Kekhawatiran akan otoritarianisme melatarbelakangi pembatasan masa jabatan presiden Indonesia. Rakyat Indonesia memiliki trauma kolektif kepemimpinan absolut kepala negara di masa Orde Lama dan Orde Baru.

Presiden Sukarno pernah mengangkat diri sebagai presiden seumur hidup, sedangkan Soeharto memanfaatkan Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum amandemen yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Karena tidak adanya batasan pada pasal ini, Soeharto terpilih hingga enam periode.

Praktik otoritarianisme Orde Baru inilah yang mendasari pentingnya membatasi masa jabatan presiden melalui amandemen pertama UUD 1945 pada 1999.

Patut dicatat, bahwa wacana ini tidaklah muncul di awal kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 2014, namun muncul pada periode kedua ketika mayoritas parlemen telah dikuasai - terlepas bahwa Jokowi menolak usulan ini.

Wacana yang sama pernah muncul di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada periode kedua, ketika ia berhasil membangun koalisi dengan mayoritas parlemen, usulan tiga periode juga sempat muncul.

Baik pada masa SBY maupun Jokowi, dapat kita simpulkan bahwa konsolidasi elite politik berpotensi memunculkan kebijakan yang berbahaya bagi demokrasi.

Relevansi

Secara normatif, praktik pembatasan masa jabatan presiden memiliki peran untuk menstabilkan politik dan memfasilitasi pembangunan demokrasi. Singkatnya, praktik ini menawarkan penangkal untuk masalah yang mengarah pada otoritarianisme.

Di Indonesia, memori terhadap kesewenang-wenangan Orde Lama dan Orde Baru belum juga hilang, sehingga upaya-upaya memperpanjang masa jabatan presiden justru mencederai reformasi.

Apalagi studi Gelfeld juga telah menyebutkan bahwa perpanjangan masa jabatan presiden tidak berhubungan dengan kemajuan suatu negara.

Usulan perpanjangan masa jabatan presiden, dapat dianggap sebagai jalan memuluskan penguatan oligarki semata, yang secara jangka panjang dapat mengancam kelestarian demokrasi.

Sebagai suatu sistem yang dinamis, demokrasi menggantungkan harapan pada aktor utama yaitu masyarakat sipil. Maka para aktor masyarakat sipil harus berperan mengamankan demokrasi melalui kontrol politik yang berkelanjutan, agar potensi penyelewengan demokrasi semacam ini dapat dihindari.The Conversation

Juwita Hayyuning Prastiwi, Lecturer in Political Science, Universitas Brawijaya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: