Jonathan D Smith, University of Leeds

Kutipan terkenal dari aktivis lingkungan Greta Thunberg “dengarkan para ilmuwan”, dalam pertemuannya dengan Kongres AS, beberapa waktu lalu, merupakan desakan keras bagi para pembuat kebijakan untuk mengambil tindakan demi menyelamatkan planet Bumi.

Berbagai laporan terbaru sudah jelas menunjukkan konsensus ilmiah tentang krisis iklim dan adanya urgensi untuk mengambil aksi terhadap krisis iklim yang sedang terjadi.

Namun, masalah perubahan iklim bukan hanya masalah sains dan teknologi, tetapi juga masalah moral, etis dan spiritual tentang bagaimana kita menjalani kehidupan.

Selain mendengarkan para ilmuwan dan aktivis muda seperti Greta, ada kelompok berpengaruh lain yang membicarakan lingkungan, yaitu kelompok agama dan kepercayaan.

Meskipun kelompok-kelompok agama dan kepercayaan ini dibedakan dalam keyakinan dan praktiknya, sebagian besar setuju tentang kebutuhan bersama untuk menjaga lingkungan.

Ada peningkatan pesat terkait aktivisme lingkungan dari kelompok-kelompok agama, secara global, dalam 15 tahun terakhir.

Penelitian saya di Indonesia menunjukkan bahwa kelompok-kelompok agama dan kepercayaan telah memainkan peran penting dalam menanggapi perubahan iklim di negara tersebut.

Para pemuka dan penganut agama berpartisipasi dalam kampanye lingkungan dan menerjemahkan bahasa ilmiah dan kebijakan untuk kalangan mereka sendiri.

Kampanye lingkungan berlandaskan religiusitas di Indonesia

Indonesia memiliki populasi umat Muslim terbesar di dunia - 87,2% dari 240 juta lebih penduduk Indonesia memeluk agama Islam.

Indonesia mengakui agama Buddha, Kristen (Protestan dan Katolik), Konghucu, Hindu, dan Kepercayaan Adat sebagai agama resmi.

Indonesia, yang memiliki belasan ribu pulau, rentan terhadap dampak kenaikan permukaan laut dan peristiwa cuaca ekstrem lainnya akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Sehingga, dampak negatif dari krisis iklim akan dirasakan lebih awal dibandingkan dengan negara lain.

Pada tahun 2007, ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Iklim di Bali, 10 pemimpin agama dari enam kelompok agama di Indonesia mempresentasikan pernyataan antaragama tentang tanggung jawab kelompok agama untuk isu perubahan iklim.

Pernyataan antaragama ini menyatakan komitmen para pemimpin agama untuk menggunakan “ajaran agama dan kearifan lokal” dalam “[menginspirasi dan memotivasi orang-orang di tingkat tapak] dengan ”mengajarkan tentang lingkungan" dan “memulai proyek konservasi di lapangan”.

Di Indonesia, agama memiliki fungsi sosial yang penting, para pemimpin agama diharapkan berkontribusi dalam diskusi publik dan bekerja sama untuk memecahkan berbagai masalah di tingkat lokal dan nasional.

Fungsi ini juga yang mendorong kelompok-kelompok agama dan kepercayaan memiliki kontribusi dalam perkembangan aktivisme lingkungan di Indonesia yang berusaha memengaruhi cara pikir orang dan bagaimana manusia hidup melalui ajaran religius.

Beberapa contoh aksi tersebut, antara lain rumah ibadah yang ramah lingkungan, seperti “Masjid Hijau” dan “Gereja Hijau”, yang menggunakan energi terbarukan dan mendorong konservasi. Juga ada sejumlah inisiatif dari kelompok agama Hindu dan Buddha yang giat menanam pohon dan meningkatkan daur ulang lokal.

Kelompok-kelompok agama dan kepercayaan juga bergabung dengan aktivis lain untuk menciptakan koalisi kampanye lingkungan yang kuat dan beragam. Kampanye ini kerap dipimpin oleh masyarakat adat yang mencoba melindungi tanah mereka dari eksploitasi.

Sebagai contoh, Gerakan Save Aru Islands yang berupaya menjaga 5.000 kilometer persegi tanah di provinsi Maluku agar tidak diubah menjadi perkebunan gula oleh perusahaan multinasional.

Para pemimpin gerakan ini antar lain para pemimpin Katolik dan Protestan yang besama-sama dengan kelompok masyarakat lokal menyuarakan hak atas tanah masyarakat adat terancam hilang.

Petani lokal di Kendeng, di Jawa Tengah, yang mempraktikkan ajaran Samin, sebuah agama tradisi Jawa yang digunakan sebagai alat memerangi kolonialisme Belanda pada akhir abad 19 dan 20, memprotes karena tanah suci mereka yang diambil alih perusahaan Belanda untuk penambangan semen.

Di Bali, [proyek reklamasi Teluk Benoa] memicu protes keras dari umat Hindu setempat karena mengancam keselamatan situs-situs suci di pulau Dewata.


Baca juga: Sebelum jabatan berakhir, Susi Pudjiastuti tetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim. Ini langkah selanjutnya


Kelompok agama angkat bicara soal perubahan iklim

Mereka yang acuh terhadap iklim juga dapat ditemukan dalam kelompok agama.

Namun, adanya pengakuan yang berkembang bahwa krisis lingkungan membutuhkan solusi selain ilmiah atau teknologi, telah mendorong banyak pemimpin agama untuk bertindak.

Tahun 2016, para pemimpin agama Indonesia, – Katolik, Buddha, Kristen, Hindu, Yahudi, Muslim, Sikh, dan para pemimpin agama lainnya – membuat pernyataan lintas agama mendesak para pemimpin dunia untuk bertindak atas perubahan iklim.

Ratusan pemimpin agama tersebut menandatangani Pernyataan Perubahan Iklim Antar Agama Kepada Para Pemimpin Dunia (ICS).

Dalam pernyataan itu, mereka mendesak para pemimpin dunia menandatangani dan meratifikasi Perjanjian Paris, sebuah pakta internasional untuk membatasi kenaikan suhu bumi dari batas 2°C.

Pernyataan itu berisikan rekomendasi kebijakan tentang penggunaan energi, serta dan ajaran agama dan kepercayaan tentang keterkaitan hidup dan pentingnya refleksi spiritual.

Para pemuka agama menggabungkan bahasa kebijakan (menyerukan negara untuk mengurangi emisi karbon) dan bahasa agama dan kepercayaan (“Ibu Bumi”, “dimensi spiritual kehidupan kita”) dalam menyusun pernyataan nilai-nilai etis global.

Mereka berusaha menjadikan pernyataan ini menarik bagi para pembuat kebijakan dan orang-orang dari kelompok agama yang berbeda.

Pernyataan ini adalah contoh dari apa yang disebut “tafsiran” oleh sosiolog Peter Beyer.

Kelompok-kelompok agama dan kepercayaan telah menafsirkan konsep lingkungan ilmiah menjadi “idiom agama khusus dan kelompok simbolik”.

Salah satu contohnya adalah ensiklik lingkungan yang dikeluarkan oleh Paus Francis di tahun 2015 yang berjudul Laudato Si’: On Care for Our Common Home.

Dokumen berpengaruh ini mendorong penganut agama Katolik untuk melindungi lingkungan dan menyerukan pemerintah agar mengambil tindakan untuk mengurangi emisi karbon.

Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengembangkan banyak fatwa tentang konservasi lingkungan, antara lain pedoman untuk penambangan ramah lingkungan pada tahun 2011, berdasarkan argumen Islami.

Meskipun tidak ada penelitian yang cukup mengenai seberapa efektif fatwa ini dalam mengubah praktik penambangan di Indonesia, tetap saja, fatwa-fatwa agama ini merupakan upaya inovatif untuk menerjemahkan kebijakan lingkungan ke dalam bahasa agama untuk melestarikan hutan dan mengurangi pemanasan global.

Bekerja sama untuk iklim

Semakin banyak orang di dunia yang merasakan dampak perubahan iklim, maka akan semakin sadar mereka akan lingkungan.

Aktivis lingkungan keagamaan dan kepercayaan dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran ini di tingkat global, dan dalam komunitas lokal - yang paling merasakan dampak perubahan iklim.

Reformasi global terhadap kebijakan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan pada akhirnya akan ditentukan oleh tindakan jutaan komunitas lokal.

Para aktivis, ilmuwan, dan pemimpin perlu mendengarkan komunitas lokal dengan cermat dan bekerja dengan mereka untuk merespons perubahan global di tingkat lokal secara kreatif dan efektif.

Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari Bahasa InggrisThe Conversation

Jonathan D Smith, PhD Researcher in Religious Studies, University of Leeds

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: