JAKARTA, GRESNEWS.COM - Agenda perubahan iklim dan perlindungi hutan perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah Indonesia. Sebab akibat perubahan iklim ini bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan menjadi menu wajib setiap tahun di negara ini.

Dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2015 tentang Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menggabungkan dua kementerian sekaligus setingkat kementerian yakni, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+). Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global memberikan apresiasi atas program ini. Akan tetapi, perubahan iklim menciptakan peluang dan tantangan tersendiri yang menyangkut karakter dari isu perubahan iklim, baik di tingkat nasional maupun internasional.

"Karakter yang dimaksud antara lain, perubahan iklim sebagai dampak akumulatif, fungsi lintas sektor, mendesak dan bertenggat waktu, serta tidak boleh melangkah mundur," kata Pengkampanye Politik Hutan Greenpeace, Yuyun Indradi dalam pesan yang diterima Gresnews.com, Sabtu (7/3).
 
Untuk membangun dan merehabilitasi ketahanan sosial masyarakat dari dampak perubahan iklim, koalisi mengusulkan pemerintah menjalankan agenda adaptasi berimbang dengan mitigasi tanpa meninggalkan inisiatif-inisiatif sebelumnya. Mereka juga mendesak pemerintah melimpahkan fungsi koordinasi, pengawasan, dan evaluasi kepada Kementerian Koordinasi Perekonomian. "Bila memungkinkan maka juga Kantor Presidenan, sehingga memiliki kewenangan lintas sektor lebih kuat," katanya.  

                                       
Perubahan iklim yang disebabkan oleh pelepasan emisi telah terlihat berdampak besar pada ketahanan nasional. Banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan menjadi menu wajib setiap tahun. Lahan kritis di dalam kawasan hutan telah mencapai lebih dari 27 juta hektar.

Kondisi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil juga terancam akibat naiknya permukaan air laut. Keanekaragaman hayati yang  merupakan kekayaan Indonesia dalam kondisi rentan.  "Di laut ukuran ikan semakin menyusut karena berkurangnya kadar oksigen dalam laut akibat pemanasan global,” ujar Muhammad Djauhari dari Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK).
 
Mereka menilai penanganan iklim yang cepat berubah membutuhkan peran perbaikan dari berbagai sektor. Kerangka kerja perubahan iklim tidak hanya bicara soal mitigasi, melainkan juga upaya adaptasi terhadap dampak yang sudah termanifestasi. Perubahan mendasar terhadap model pembangunan ekonomi juga menjadi kunci. Oleh karena itu, setidaknya ada 6 rumpun kementerian perlu saling bersinergi, yaitu Kantor Kepresidenan, Menko Perekonomian, Menko Kemaritiman, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menko Politik Hukum dan HAM, serta Lembaga Pemerintah Non Kementerian dan/atau Lembaga Non Struktural lainnya.

Fungsi lintas sektor ini juga demi melaksanakan berbagai prasyarat keberhasilan penanganan perubahan iklim yang inisiatifnya telah dimulai dalam pemerintahan sebelumnya. Yakni Kebijakan Satu Peta, Pemetaan Partisipatif, Moratorium Izin, Penyelesaian Konflik dan Hak Masyarakat Hukum Adat/ Komunitas Lokal, serta Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan.
 
Yuyun menekankan pentingnya melanjutkan dan memperkuat agenda moratorium izin di dalam kawasan hutan dan lahan gambut demi tata kelola yang lebih laik. Namun dengan catatan pemerintah harus menutup berbagai celah hukum yang melegalkan konversi hutan alam dan gambut. Juga memperketat pengawasan dan penegakan hukum.

"Tak lupa meninjau ulang berbagai kebijakan pembangunan yang justru mengancam lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat," katanya.

Laju deforestasi di Indonesia saat ini masih tinggi. Hal ini akibat kegiatan konversi dan alih fungsi, serta rendahnya kinerja usaha kehutanan. Maupun konflik hutan dan lahan. Persoalan ini tak kunjung mereda akibat kebijakan kehutanan yang bersifat responsif dan tidak secara kuat menyentuh masalah pokok di sektor kehutanan karena lemahnya tata kelola hutan.
 
Edo Rakhman dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan kebijakan energi nasional perlu menjadi pusat perhatian. Kebijakan energi nasional selama ini lebih berorientasi kepada penggunaan bahan bakar fosil yang menyebabkan emisi  karbon. Bahan bahan itu juga sebagian berasal dari praktik  penambangan yang memiliki daya rusak tinggi. Tingkat ketergantungan akan bahan bakar fosil sangat tinggi, sementara upaya mendorong energi terbarukan sangatlah kecil.

"Padahal persediaan sumber daya energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan sangat melimpah di Indonesia," katanya.
 
Keseriusan pemerintah dalam menangani perubahan iklim juga harus ditunjukkan melalui reformasi kebijakan anggaran yang selama ini tidak mumpuni, termasuk dalam persoalan pendanaan. Sebab APBN bersifat tahunan dan hanya bisa mengakomodir aktivitas yang dapat disentuh dan kasat mata.

"Padahal perubahan iklim berjangka panjang, berdampak  akumulatif, tidak kasat mata serta tidak terukur," kata Arimbi Heroepoetri, Koordinator Debtwach Indonesia.
 
Penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus diikuti dengan upaya pengelolaan lingkungan hidup yang sistematis mulai dari aspek perencanaan sampai dengan penegakan hukum. Oleh karena itu, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan harus menjadi dasar pelaksanaan tugas KLHK. Terutama untuk “mengerem” pemberian izin eksploitasi yang selama ini masif dilakukan oleh KLHK.

Hal paling mendesak yang harus dilakukan saat ini adalah menuntaskan mandat penyelesaian Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Hal tersebut guna memberikan arahan yang jelas tentang pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di berbagai sektor. Kebijakan Satu Peta harus menjadi prioritas dasar dari berbagai konflik sektorial yang berdampak pada pengingkaran pengakuan atas hak-hak masyarakat adat.

Peta wilayah adat di kawasan hutan seluas 4,8 juta ha telah diserahkan AMAN kepada BP REDD+ sebelum pembubarannya selaku wali data sementara. Masyarakat adat membutuhkan kepastian bahwa inisiatif ini tetap berjalan meski BP REDD+ sudah dihapuskan. Perubahan iklim merupakan dampak akumulatif dari pembangunan yang tidak berkelanjutan.

Akar utama persoalan harus ditinjau dari pola produksi dan konsumsi yang hanya mementingkan keuntungan  ekonomi melalui pengelolaan sumber daya alam yang sangat  eksploitatif. "Ditambah  ketidakpekaan sistem ekonomi  terhadap permasalahan  ketidakadilan penguasaan  sumber daya alam dan  pembangunan,” tegas Mida Saragih dari Civil Society Forum.

BACA JUGA: