JAKARTA, GRESNEWS.COM - Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) meminta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan yang baru saja ditandatanganinya. PP 78 Tahun 2015 tersebut dinilai telah menabrak peraturan perundang-undangan yaitu UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Presiden ASPEK Mirah Sumirat menilai PP tersebut dalam menghitung kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tidak berdasarkan hasil survei Komponen Hidup Layak (KHL), namun hanya berdasarkan angka UMP tahun sebelumnya kemudian ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Padahal dalam Pasal 88 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan telah mengatur dan mengamanatkan bahwa penetapan upah minimum harus berdasarkan hasil survei KHL. Sedangkan Pasal 44 PP 78 tahun 2015 penetapan upah minimum tidak lagi berdasarkan hasil survei KHL.

Dia menilai dengan diterbitkannya PP tersebut, Presiden Jokowi tersandera oleh kepentingan pengusaha dan kepentingan pemodal, sehingga tidak mampu berkutik ketika menandatangani PP 78/2015 yang menabrak UU 13/2015. Dia meminta agar Presiden Joko Widodo mendengar aspirasi pekerja karena yang dituntut oleh pekerja adalah penegakan aturan UU 13/2003. "Jangan kebiri hak konstitusional rakyat dalam mendapatkan kesejahteraan hidup kami selaku pekerja," kata Sumirat kepada gresnews.com, di Jakarta, Jumat (30/10).

Selain itu, Mirah juga meminta agar seluruh Gubernur dan Bupati serta Walikota untuk mengabaikan PP tersebut dan tetap menggunakan ketentuan Pasal 88 Ayat (4) UU No 13 Tahun 2003. "Jika Gubernur dan Bupati serta Walikota melaksanakan PP Pengupahan tersebut maka kepala daerah tersebut tidak peka dan memilih untuk berjamaah melakukan pelanggaran, berjamaah dalam menindas pekerja dan berjamaah dalam memiskinkan rakyat," ujarnya.

Sumirat meminta agar pemerintah membatalkan PP Pengupahan karena melanggar UU yang lebih tinggi dan kembali tetapkan UMP atau UMK berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 yaitu melalui hasil survei KHL yang benar. Dia juga meminta agar pemerintah bisa merealisasikan penambahan KHL dari 60 menjadi minimal 84 komponen.

Kemudian pemerintah juga diminta menaikkan UMP/UMK minimal 25 persen dari hasil survei KHL yang benar. "Pemerintah juga telah menghilangkan hak berunding upah yang dimiliki serikat pekerja dan itu sesungguhnya dijamin oleh UU Ketenagakerjaan," kata Sumirat.

Sementara itu, Presiden KSPI Said Iqbal menilai PP Pengupahan tersebut tidak sesuai dengan harapan dan permasalahan kaum buruh saat ini. Sebab kaum buruh saat ini menginginkan adanya perbaikan dan peningkatan upah karena Indonesia sudah tertinggal jauh dengan negara tetangga. Apalagi, saat ini Indonesia sedang mengalami perlambatan ekonomi dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Dia mengakui akibat kondisi tersebut memang berdampak terhadap pengusaha, buruh dan pemerintah. Namun buruh masih menganggap akan ada pertumbuhan di beberapa sektor ekonomi Indonesia. Dia pun mendukung rencana pemerintah dengan memberikan insentif dan proteksi termasuk kelonggaran bagi dunia usaha untuk mengatasi perlambatan ekonomi dan penurunan nilai rupiah.

Kendati demikian, KSPI menyesalkan tindakan pemerintah yang mengeluarkan PP Pengupahan tanpa berdialog dengan serikat pekerja terlebih dahulu. Buruh menganggap upah minimum sangat penting sebagai ukuran standar hidup karena setiap tahun buruh selalu memperjuangkan kenaikan upah minimum melalui pembahasan di Dewan Pengupahan.

Bahkan untuk tuntutan buruh agar komposisi komponen hidup layak (KHL) direvisi dari 60 butir menjadi 84 butir pun belum direalisasikan oleh pemerintah. Pemerintah juga tidak merealisasi tuntutan untuk kualitas komposisi KHL diperbaiki. "Jangan salahkan kaum buruh untuk melakukan aksi besar-besaran," kata Said.

AKSI BURUH - Para buruh sendiri Jumat (30/10) kemarin hingga malam hari melakukan aksi unjuk rasa yang salah satu tuntutannya adalah mencabut PP 78/2015 dan menuntut kenaikan upah berdasarkan komponen KHL yang benar. Massa buruh yang bertahan di depan Istana Negara dipukul mundur oleh pihak kepolisian dan dibubarkan paksa dengan tembakan water canon dan gas air mata.

Usai aksi buruh itu, polisi melakukan penahanan terhadap 20 orang buruh dan dua diantaranya adalah pengacara publik dari LBH Jakarta. Kedua pengacara publik ini sendiri datang lantaran LBH memang dimintai bantuan oleh buruh untuk mendampingi buruh dalam melakukan aksinya.

"Ada 2 rekan kami yang ikut ditangkap saat polisi membubarkan buruh," ungkap Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa, Sabtu (31/10) dini hari.

Kedua advokat yang diamankan polisi, menurut Alghif, adalah Tigor Gempita Hutapea (pengacara publik) dan Obed Sakti Andre Dominika (asisten pengacara publik). Saat ditangkap, kata Alghif, keduanya sedang mendokumentasi aksi pembubaran demo.

"Obed dan Tigor sedang mendokumentasikan aksi buruh, lalu ada penangkapan teman-teman buruh di Jalan Medan Merdeka Barat. Lalu mereka juga ikut ditangkap polisi," terangnya.

Alghif memastikan saat peristiwa terjadi, kedua rekannya itu tidak melakukan tindakan melawan petugas atau sesuatu yang berbau anarkis. Tigor dan Obed juga disebutnya sudah menjelaskan identitas kepada polisi di lapangan.

"LBH Jakarta diminta untuk mendampingi buruh jika ada buruh yang ditangkap. Ketika di lapangan, kita tidak menghalangi petugas, tapi kami mendokumentasikan. Mereka tidak melawan petugas dan sedang memfoto buruh yang ditangkap polisi. Mereka sudah menjelaskan bahwa mereka pengacara tapi polisi tidak menggubris, tetap dibawa juga," jelas Alghif.

Saat ini Alghif dan 14 rekannya sedang berada di Mapolda Metro Jaya untuk memberikan pendampingan bagi Obed, Tigor dan sejumlah buruh yang diamankan pihak kepolisian. Menurutnya dari 20-an orang yang dibawa polisi, 3 di anataranya buruh perempuan.

"Mereka dibawa ke Polda Metro Jaya sedang di-BAP, ada 25 orang yang ditangkap. Ada 3 buruh perempuan yang ikut dibawa ke sini. Dari LBH Jakarta ada 15 pengacara publik yang sedang mendampingi proses pemeriksaan dan BAP saat ini di Polda Metro. LBH Jakarta protes keras karena polisi tidak menghormati profesi pengacara publik," lanjut Alghif.

DKI SUDAH TETAPKAN UMP - Para buruh dalam aksinya salah satunya menuntut agar daerah tidak melaksanakan PP Pengupahan. Namun, untuk DKI Jakarta, Dewan Pengupahan Jakarta sudah menetapkan Upah Minimum Provinsi sebesar Rp3,1 juta. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengaku telah mendengar hal itu namun belum menandatangani usulan tersebut.

"Saya sudah ngomong, sudah ngarahin kok makanya kita rapat dulu. Belum tanda tangan. Jadi ini tetap mengarah seperti rumus kami sebetulnya, akhirnya," kata Ahok saat diminta tanggapan di Pasar Taman Puring, Jl Kyai Maja, Jaksel, Jumat (30/10).

Kata Ahok, rumusan pengupahan ini memang berdasarkan pada rumusan PP 78/2015, hanya saja karena pengusaha rela menambah Rp100.000, maka angka akhirnya seperti rumus Kebutuhan Hidup Layak yang dituntut dari buruh. "Buruh kan menuntut KHL karena dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 itu mengarah ke KHL," lanjutnya.

Ahok mengaku patuh dengan PP Nomor 78 Tahun 2015 dalam menetapkan besaran UMP DKI, mulai tahun 2016. "Kita patuh pada PP tapi arah nilainya mirip KHL," tutup Ahok.

Anggota Dewan Pengupahan dari unsur pengusaha Sarman Simanjorang mengatakan, penghitungan UMP DKI didasarkan PP pengupahan. Dalam PP ini disebutkan bahwa ketentuan penetapan UMP dihitung berdasarkan UMP tahun sebelumnya, inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Jika dihitung saat ini, sesuai data BPS, angka inflasi 6,83 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi 4,67 persen. Sehingga totalnya 11,5 persen. Jika dikalikan dengan UMP DKI saat ini, yakni Rp 2,7 juta, akan diperoleh angka Rp 3.010.500. "Itu sudah lebih tinggi loh dari KHL," kata Sarman.

Sementara itu di Bandung, sekitar 50 buruh dari berbagai organisasi menemui Wali Kota Bandung Ridwan Kamil di Balai Kota, Jalan Wastukencana, Jumat (30/10). Mereka meminta walikota untuk tak memberlakukan dulu PP No 78 Tahun 2015 mengenai pengupahan, dalam penetapan UMK tahun depan.

"Kami menolak PP 78 tentang perubahan pengupahan. Namun di sini kan pengupahan harus terus berjalan. Dewan pengupahan sudah bekerja lebih dari tiga perempatnya, jadi jangan sampai terkatung-katung," ujar Ketua SPSI Kota Bandung Rokhana ditemui usai audiensi.
 
Meski menyadari bahwa wali kota tak bisa mencabut PP, kata Rokhana, namun buruh meminta agar PP itu tak segera diberlakukan di Kota Bandung. "(PP) ini mengebiri fungsi dari buruh serikat kerja yang selama ini diajak serta untuk membicarakan masalah upah minimum kota dengan melalui pasar dan sebagainya yang kemudian dibicarakan di dewan pengupahan kota, tetapi sekarang itu upah hanya ditentukan berdasarkan inflansi dan program, artinya pusat yang nentuin," jelasnya.

"Di bandung kami mendorong pak wali menggunakan sistem lama, jadi abaikan lah dulu PP pengupahan kita berjalan sesuai dengan peraturan yang ada selama ini," ujar Rokhana.

Ditemui di tempat yang sama, Ridwan Kamil menyatakan akan membahas permintaan buruh dengan pengusaha agar PP pengupahan di Bandung diberlakukan tahun depan. "Itu tuntutan buruh. Saya harus tanya dulu (pada pengusaha) berkenan apa tidak. Dalam situasi emergency (penundaan pemberlakuan PP) boleh dengan alasan yang dipahami," kata Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil.

Sementara itu, di Surabaya, Pemerintah Kota Surabaya akan menyerahkan sepenuhnya keputusan Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya 2016 ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Karena dari hasil pertemuan Penjabat (Pj) Wali Kota Surabaya Nurwiyatno bersama perwakilan Apindo dan Serikat Buruh ditemukan dua angka yang berbeda.

Besaran dua UMK Surabaya masing masing versi Apindo Rp 3.021.650, sedangkan serikat buruh sebesar Rp 3.111.000 atau selisih Rp 89 ribu. "Meski berbeda Rp 89 ribu, surat keputusan tetap saya tanda tangani ke Pak Gubernur karena hari ini hari terakhir penyerahan usulan UMK," kata Nurwiyatno pada wartawan di Rumah Dinas Wali Kota Surabaya, Rabu (28/10).

Meski ada perbedaan, Nurwiyatno yang juga menjabat sebagai Kepala Inspektorat Provinsi Jawa Timur yakin kedua belah pihak (Apindo dan Serikat Buruh) bisa menerima keputusan dari Gubernur Jatim. Selain itu, ia berharap dengan adanya perbedaan usulan UMK bisa menjadi bahan pertimbangan pemprov untuk menentukan besar kecilnya UMK di masing masing daerah.

"Keputusan ini hanya berlaku untuk Surabaya. Yang tentunya akan menjadi pertimbangan bagi pemprov dan saya kira itu kewenangan beliau (Gubernur Jatim, Soekarwo)," imbuhnya.

Nurwiyatno menegaskan, keputusan yang diambilnya berdasarkan kesepakatan bersama sehingga tidak ada silang pendapat setelah penetapan dari Pemprov Jatim. "Kalau saya win win solution. Mimpi saya, bagaimana kalau selisih Rp 89 ribu itu dibagi dua," pungkasnya.

Sementara itu, terkait PP Pengupahan ini, Kepala Departemen Human Resources dari sebuah perusahaan swasta logam di Bogor Fariq Pribadi Purba mengatakan, bagaimanapun pengusaha dan perusahaan akan tunduk kepada peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurutnya para buruh yang bekerja tidak bisa memprotes terkait pemberlakuan PP Pengupahan.

Fariq mengaku di tempatnya bekerja, para buruh memang menolak sistem pengupahan yang diformulasikan dalam PP 78/2015. Mereka ada yang meminta penambahan fasilitas-fasilitas tunjangan seperti fasilitas olahraga, penambahan uang pulsa, uang makan dan lain-lain.

Tekait tuntutan ini, kata dia, perusahaan juga tidak bisa bebuat banyak lantaran aturan pemerintah sudah ditetapkan. "Ya banyak keberatan. Tetapi kita kan perusahaan berbadan hukum jadi harus tunduk kepada pemerintah," kata Fariq kepada gresnews.com.

PENYESATAN INFORMASI - Terkait permintaan buruh agar penghitungan upa tidak dilakukan berdasarkan rumusan PP 78/2015, Menteri Tenaga Kerja Muhammad Hanif Dhakiri meminta kalangan buruh berhati-hati. Dia mengatakan, ada indikasi penyesatan informasi oleh pihak tertentu yang disebarkan ke kalangan buruh.

Beberapa upaya penyesatan yang dimaksud Hanif ada di media sosial maupun di lapangan yang ditemukan penyesatan informasi. Penyesatan ini dilakukan agar buruh lebih mudah digerakkan untuk turun ke jalan dan melakukan unjuk rasa menolak PP Pengupahan.

"Saya minta teman-teman buruh hati-hati terhadap informasi yang berkembang soal PP Pengupahan. Banyak penyesatan informasi baik di lapangan maupun di media sosial", kata Hanif dalam keterangan tertulisnya, Kamis (29/10).

Ia menjelaskan enam contoh penyesatan informasi soal PP Pengupahan. Pertama, soal upah buruh yang dianggap hanya akan naik 5 tahun sekali. Hal ini menurutnya tak benar. Kenaikan upah buruh dalam sistem PP Pengupahan dipastikan naik setiap tahun. "Dengan sistem formula dalam PP Pengupahan, upah buruh dipastikan naik setiap tahun, bukan setiap 5 tahun. Tak perlu demo dan tidak perlu ramai-ramai yang melelahkan semua," ujarnya.

Kedua, bahwa buruh yang menjalankan tugas serikat pekerja maka upahnya tidak akan dibayarkan. Hanif menegaskan informasi ini juga tidak benar. Buruh yang menjalankan tugas serikat pekerja tetap dibayar upahnya.

Kemudian, ketiga, terkait formula pengupahan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional, maka dinilai perhitungan upah tidak memperhitungkan KHL serta kenaikannya tidak akan lebih dari 10 persen. Hanif pun menampik informasi ini.

"Karena  upah minimum tahun berjalan sebagai dasar perhitungan sudah mencerminkan KHL dan untuk tahun 2016 saja kenaikan upah minimum akan mencapai 11.5 persen," sebutnya.

Lalu keempat, terkait struktur dan skala upah pengupahan mempertimbangkan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan maupun produktivitas ditiadakan. Poin ini juga tak benar karena dalam PP Pengupahan justru mewajibkan perusahaan membuat serta menerapkan struktur dan skala upah. Dengan poin ini sebenarnya membuat serikat pekerja bisa berunding lebih baik dengan pihak pengusaha di forum bipartit, bukan justru di jalanan.

Kelima, soal perlindungan terhadap upah ditiadakan. Hal ini berlainan dengan PP Pengupahan yang justru masalah perlindungan upah itegaskan dengan sanksi yang mengacu pada Undang-Undang 13/2003 dan ditambah dengan sanksi administratif, termasuk penghentian sebagian atau seluruh proses produksi.

Sementara, keenam, informasi serikat pekerja dihilangkan peranannya dalam pengupahan juga tak benar. PP Pengupahan mengatur serikat pekerja justru makin penting peranannya dalam merundingkan upah layak pekerja dengan masa kerja di atas 1 tahun melalui penerapan struktur dan skala upah di perusahaan.

"Itu di antara isu-isu penyesatan ke kalangan buruh. Masih banyak isu senada yang tujuannya ya kurang lebih ngompori buruh agar mau diajak turun ke jalan. Makanya saya ingatkan agar jangan semua informasi ditelan mentah-mentah. Silakan cek isi regulasinya di laman Kemnaker," sebut politikus PKB itu.

Hanif mengatakan, sistem pengupahan yang diatur dalam PP sudah berimbang karena karena memberikan perlindungan untuk buruh. Selain melindungi pekerja agar tak jatuh ke dalam upah murah atau mencegah pengusaha membayar sesukanya, sistem PP bisa melindungi buruh yang belum bekerja, serta melindungi dunia usaha agar berkembang dan memperbanyak lapangan kerja.

Dia berharap buruh bisa menyikapi secara hati-hati. "Kalau upah digenjot naik dengan demo-demo dan dipolitisasi terus menerus, kasihan buruh dan para pencari kerja. Buruhnya malah bisa jadi korban, karena PHK akan makin banyak. Yang belum kerja juga akan makin susah dapat pekerjaan karena industri tertekan dan lapangan kerja menyempit", tutupnya. (dtc)

BACA JUGA: