JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Konsep baru bagi dunia pertambangan untuk menangani isu-isu seputar lingkungan dan sosial mulai diperkenalkan. Konsep itu bernama Development by Design (DbD) yang dinilai efektif. Konsep ini dikembangkan oleh The Nature Conservancy (TNC) Program Indonesia hari ini, Selasa (22/4) dalam pertemuan dengan anggota Indonesia Mining Association (IMA).

Penerapan DbD ini diharapkan dapat memberikan solusi terbaik untuk menghadapi permasalahan klasik yang selama ini dihadapi oleh industri pertambangan: reklamasi lahan kritis dan pemberdayaan masyarakat. Untuk memperkuat DbD, TNC Program Indonesia juga menampilkan program Conservation Town Hall yang dapat memberikan pemahamanakan pentingnya kelestarian lingkungan di lingkup perusahaan/organisasi.

"Saat ini dunia menghadapi empat tantangan di bidang lingkunganya itupenyelamatan lahan kritis, sumber air minum, laut dan isinya, serta mengurangi dampak perubahan iklim," ungkap Rizal Algamar, Country Director TNC Program Indonesia dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi Gresnews.com, Selasa (22/4)

Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, kata Rizal, pihaknya berusaha untuk mendorong pemerintah mengambil langkah-langkah strategis yang dapat memberikan solusi untuk mendukung kelestarian alam. Selain itu, TNC juga berupaya mengajak dunia bisnis, terutama yang berhubungan langsung dengan sumberdaya alam, untuk meningkatkan pengertian akan pentingnya untuk menghargai alam dan pengelolaaannya secara berkelanjutan dengan memperkenalkan solusi-solusi ilmiah.

"Kami yakin pendekatan non-konfrontatif serta solusi berbasis ilmiah seperti DbD sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia, termasuk dalam pengelolaan pertambangan," ucap Rizal.

Salah satu bentuk DbD yang tepat untuk diterapkan industri pertambangan tersebut dikemas dalam bentuk kerjasama pertanian dan perkebunan lintas sektoral. Pembudidayaan produk-produk bernilai pasar tinggi seperti karet, kakao, kopi, kelapa sawit, kedelai, kentang, padi, jagung, dan buah-buahan, hingga akses pasar yang mampu menyerap produk-produk pertanian/perkebunan menjadi bagian dari kerangka kerja ini.

Hal itu masih ditambah lagi dengan bantuan teknis dan pembangunan kemitraan dalam bidang pembiayaan pertanian (agri-finance). DbD diharapkan dapat memberikan solusi holistik yang tepat guna tidak hanya bagi industri pertambangan tetapi juga industri-industri lainnya. "Kami berharap hadirnya model percontohan untuk konsep DbD dapat memberikan manfaat,  baik untuk pelestarian lingkungan maupun pemanfaatan lahan maupun untuk secara strategis ikut memperkuat ketahanan pangan nasional," kata Rizal.

IMA sendiri mendukung upaya penerapan pembangunan berkelanjutan dalam industri tambang di Indonesia. Diantaranya dengan program reklamasi dan program pembangunan masyarakat yang telah dilaksanakan oleh sebagian anggotanya. Banyak di antara program-program tersebut terkait dengan usaha pertanian dan perkebunan.

Walaupun program-program tersebut umumnya dapat berjalan dengan baik, namun masih ada ketergantungan yang tinggi terhadap perusahaan tambang yang menjadi sponsornya. Keterbatasan daya serap pasar di daerah juga sering kali menjadi hambatan bagi pengembangan program-program tersebut untuk mencapai tingkat keberlanjutan sepenuhnya.

"Diskusi ini fokus pada bagaimana memaksimalkan hasil dari program Corporate Social Responsibility (CSR) dan lingkungan anggota IMA dengan menggunakan pendekatan DbD yang diusung TNC," kata Wisnu Susetyo, Koordinator Komite Lingkungan IMA.

Dia menambahkan, pelibatan pihak ketiga dalam memaksimalkan program CSR dapat menjadi salah satu solusi. Sebab selama ini pemahaman konsep pentingnya pelestarian alam di dalam perusahaan itu sendiri juga sering kali tidak selaras, baik antara atasan-bawahan maupun antar unit.

Akibatnya, penerapan program reklamasi maupun pembangunan masyarakat dilapangan seringkali menyimpang dari perencanaan. "Agar penerapan konsep DbD dapat berjalan maksimal, pembentukan pemahaman konservasi secara komprehensif di berbagai tingkat organisasi/perusahaan penting untuk dilakukan," kata Wisnu.

Pemahaman soal konservasi bagi industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan memang dinilai sangat penting. Sebab, seperti diungkapkan dalam sebuah yang diterbitkan di jurnal ilmiah Conservation Letters, ditemukan fakta dari 14,7 juta hektar hutan yang dibuka di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua sepanjang tahun 2000-an, industri kayu, sawit dan pertambangan batubara menjadi penyumbang terbesar deforestasi.

Dari jumlah itu, sekitar 6,6 juta hektar hutan ditebang di dalam konsesi penebangan kayu, 1,6 juta di dalam area perkebunan kelapa sawit, 0,9 juta hektar di dalam zona yang tumpang tindih. Selebihnya 0,3 juta hektar terjadi di area pertambangan batubara.

BACA JUGA: