JAKARTA, GRESNEWS.COM – Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menyerukan kepada Presiden Joko Widodo agar segera merealisasikan janji pembentukan Satgas Penyelesaian Konflik Agraria. Satgas harus segera dibentuk karena konflik agraria terus saja terjadi dan tidak ada penyelesaian, sehingga konflik agraria kian banyak dan pengadilan tak lagi mampu menanganinya.  

Menurut Ketua Komite Pertimbangan Organisasi IHCS Gunawan,  pilihannya dapat dilakukan dengan pembentukan sebuah lembaga, seperti Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA). Lembaga ini bertugas mendaftar, melakukan verifikasi, pemberkasan kasus yang diajukan masyarakat, memfasilitasi penyelesaian dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian yang akan diputuskan oleh pengadilan khusus pertanahan.  
 
Selanjutnya, KNUPKA atau lembaga sejenisnya harus langsung di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden agar penyelesaian konflik agraria benar-benar bisa berjalan. "Tujuannya untuk memulihkan hak-hak petani korban dan menghentikan kekerasan konflik agraria. Sekaligus menyelesaikan ketimpangan struktur agraria," kata Gunawan kepada Gresnews.com, Senin (19/1).
 
Diungkapkan Gunawan jumlah konflik agraria sudah sangat tingi sebagai warisan kebijakan dua presiden di masa lalu, yakni era Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saking banyaknya, lanjut Gunawan, pengadilan tidak akan mampu menyelesaikan konflik atau sengketa agraria secara cepat. Sebab konflik agraria tidak lahir dari sekedar kesalahan adminitrasi, tapi juga akibat kebijakan yang tidak tepat.
 
Gunawan menuturkan  KNUPA pernah diusulkan sejak tahun 2001 lewat konferensi nasional pembaruan agraria dan hak asasi petani. Namun usulan tersebut ditolak Megawati maupun SBY. Kini presiden Jokowi menyambut ide tentang satgas agraria saat dilontarkan aktivis hak petani, Eva Bande pasca diberikan grasi. Gunawan berpedapat, mengingat masifnya konflik agraria, respon positif Presiden Jokowi menjadi peluang penyelesaian konflik masa lalu.
 
Menurut atatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang sepuluh tahun kepemimpinan SBY (2004 -2014), kejadian konflik agraria di tanah air terus menunjukkan peningkatan. KPA mencatat telah terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektar. Korbanya 926.700 kepala keluarga (KK), mereka harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan.
 
Masalah sektoralisme kebijakan dan kelembagaan dalam hal pengelolaan sumber-sumber agraria menjadi penyumbang konflik terjadi. Berdasarkan sektor, konflik agraria terjadi di sektor perkebunan sebanyak 536 konflik, bidang infrastruktur 515 konflik, sektor kehutanan 140 konflik, sektor tambang 90 konflik, sektor pertanian 23 konflik, pesisir-kelautan 6 konflik.
 
Menurut Sekretaris Jenderal KPA, Iwan Nurdin melalui rilisnya beberapa waktu lalu, konflik atau sengketa agraria tersebut antara lain dikarenakan kekuasaan selama ini gagal menjalankan mandat konstitusi UUD 1945, UUPA 1960 TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
 
Hal ini telah menyebabkan perampasan sumber agraria (tanah, hutan, kebun, tambang, migas, perairan dan kelautan) rakyat oleh korporasi swasta dan asing. Setidaknya ada 1.354 orang ditahan, 553 mengalami luka-luka, 110 tertembak peluru, serta 70 orang korban tewas.
 
Untuk menyelesaikan beberapa kasus tersebut, kata Iwan, sebelumnya ada beberapa lembaga yang mencoba menangani konflik agraria. Seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Kehutanan, Komnas HAM, Komisi Ombudsman dan DPR.
 
Proses penanganan konflik di BPN merujuk pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No.3/2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, masyarakat harus melaporkan kasus pertanahan baik di kantor, kanwil atau BPN pusat dan website BPN dalam bentuk tertulis. Selanjutnya BPN akan memproses pengaduan masyarakat tersebut selama 3 bulan atau diperpanjang oleh kebijakan pejabat BPN.
 
Dari pengalaman yang ada, KPA menilai, proses penanganan kasus konflik agraria di BPN tidak dapat berjalan maksimal. Penyebabnya, persoalan pertanahan yang ada sebagian besar disebabkan oleh pihak BPN sendiri akibat keputusan-keputusannya, sehingga sulit diselesaikan oleh lembaga ini. Persolan lainya akibat cara pandang menyelesaikan kasus sangat formalistik. Di sisi lain kewenangan BPN sangat terbatas jika kasus melibatkan banyak aktor kelembagaan pemerintah lainnya.
 
Begitu juga di DPR. Rakyat, kata dia, bisa melaporkan konflik-konflik pertanahan di Komisi II, khususnya Panja Pertanahan. Namun anggota DPR dan Panja Pertanahan memerlukan waktu lama memahami, membahas dan meninjau lokasi konflik. Selain itu, rekomendasi DPR dalam konflik pertanahan tidak mengikat untuk diselesaikan oleh pemerintah. Bahkan, banyak rekomendasi DPR sesungguhnya diabaikan oleh BPN dan lembaga pemerintah lainnya tanpa implikasi apapun.
 
Nasib serupa juga dialami oleh Komnas HAM dan Komisi Ombudsman sebagai lembaga yang paling sering dilaporkan rakyat dalam kasus-kasus pertanahan. "Rekomendasi yang diberikan oleh lembaga ini sama nasibnya dengan rekomendasi yang dikeluarkan DPR," jelasnya.

Melihat fakta dan pengalaman berbagai institusi itu dalam menyelesaikan konflik, ia berkesimpulan konflik agraria tidak dapat diselesaikan, baik oleh pemerintah maupun DPR.
 
Untuk itu, KPA menyarankan agar pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla membentuk sebuah badan atau lembaga khusus yang bersifat adhoc untuk menyelesaikan konflik agraria secara menyeluruh. Sifat lembaga ini mengikat bagi semua pihak, dan berada di bawah Presiden secara langsung. Fungsi utamanya untuk memulihkan hak-hak korban konflik agraria yang telah terjadi di masa lalu dan saat ini. Sekaligus untuk mencegah terjadinya konflik agraria di masa yang akan datang.
 
Seperti diketahui, Presiden Jokowi mengabulkan permintaan Eva Bande yang mendesak pemerintah untuk membuat satgas penyelesaian konflik agraria pada akhir Desember 2014 lalu, dengan mengeluarkan Perpres.
 
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan Perpres baru tersebut nantinya akan mengatur tentang komunitas adat terpencil, seperti pemberdayaan hingga penguatan hukum masyarakat adat. Sementara terkait pembentukan satgasnya akan menyusul.
 

BACA JUGA: