JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemberian Dana Desa sebesar Rp1 miliar untuk menghasilkan desa yang mandiri dinilai tercederai oleh kebijakan pemerintah yang masih sentralistik. Kebijakan pemerintah yang memaksakan sejumlah program ke desa dinilai mencederai Nawacita kemandirian desa.

Undang-Undang 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) telah melimpahkan kewenangan pembangunan pada masing-masing desa di Indonesia. Namun sayangnya, pemerintah masih membuat kebijakan yang bertentangan dengan hal tersebut, seolah-olah pemerintah tak ingin melepaskan secara penuh kepada desa.

"Praktek pengelolaan Dana Desa masih bersifat top down dan diintervensi pusat," kata Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fachrul Razi kepada Gresnews.com, Sabtu (18/4).

Padahal, lanjut dia, UU Desa ingin mengajarkan desa-desa di Indonesia untuk tumbuh mandiri secara ekonomi dan seluruh warganya bisa turut berpartisipasi dalam pembangunan. Banyak daerah membutuhkan kebijakan khusus berkenaan dengan karakteristik setempat. Namun beberapa usulan daerah malah tertolak karena pemerintah mencoba menguasai kebijakan top down.

Ia memberi contoh campur tangan pemerintah dengan membuat regulasi program desa binaan dan pasar desa yang bersifat top down. "Harusnya daerah yang memberi regulasi, ada desa yang tak butuh pasar karena sudah punya," katanya.

Realisasi Dana Desa seharusnya nyata berasal dari inisiatif daerah, baru kemudian diakomodir oleh pusat. Misalnya saja, banyak daerah yang masih tidak teraliri listrik. Seharusnya pemerintah membiarkan desa fokus membangun hal tersebut. Bukannya masih mengembangkan kepentingan air dan beras yang melimpah di desa.

"Frame pemerintah pusat masih sentralistik, mereka harus melihat Pasal 18 B (UU Desa) jelas memberi improvisasi pada 34 provinsi untuk menghasilkan program kebutuhan," katanya.

Pemerintahan saat ini ia anggap belum punya terobosan dan terjebak kepentingan tertentu sehingga tak berani mengambil kebijakan. "Yang terjadi saat ini hanya kelanjutannya saja, jika lebih berani maka lakukan kebijakan yang lebih revolusioner," katanya.

Di sisi lain, anggota Komisi V DPR Fauzi Amro memilih lebih menerima UU Desa. Sebab, ia menganggap pasal-pasalnya telah mengikat sehingga tinggal dilaksanakan saja. "Yang terpenting dana tersebut diperuntukkan bagi desa karena pembangunannya memang ada beberapa item termasuk infrastruktur," katanya kepada Gresnews.com, Sabtu (18/4).

Ia malah menyoroti masalah pendamping dan pengawas desa dalam mengelola dana Rp1 miliar tersebut. Komisi V DPR telah meminta adanya pendamping seperti sarjana desa untuk memberikan arahan pada kepala desa. "Jangan sampai kepala desa dipidanakan akibat tak mengerti cara membuat APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa)," katanya.

Untuk tim pengawas, Komisi V DPR mengusulkan terdiri dari DPR dan DPD. Sebab kedua lembaga ini dinilai memiliki fungsi pengawasan yang berkaitan dana desa.

BACA JUGA: