JAKARTA, GRESNEWS.COM - Warga Telukjambe, Kerawang Jawa Barat bisa tersenyum lega. Setelah berhari-hari berjemur di terik matahari, bahkan sampai harus mengubur diri dalam bongkahan tanah di depan istana negara, jerih payah itu terbayar sudah. Presiden Joko Widodo akhirnya berkenan mencarikan solusi atas persoalan mereka. Warga dijanjikan akan memperoleh ganti lahan yang sebelumnya diklaim milik pengembang.

"Alhamdulillah sudah ada solusi. Presiden menugaskan dua Menteri untuk menyelesaikan konflik antara petani dan perusahaan," kata Ketua Umum Serikat Tani Telukjambe Bersatu, Maman Nuryawan,kepada wartawan,  Minggu (7/5)

Dua Menteri yang diperintahkan oleh Presiden untuk menangani permasalah warga adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.

Kendati janji itu belum di tangan, namun Maman meyakini lahan yang dijanjikan Jokowi itu akan terealisasi dan bisa digunakan untuk hidup dan bercocok tanam dalam waktu dekat.

Menurut Maman pihaknya belum bisa memastikan seberapa besaran luas lahan yang akan diberikan pemerintah kepada petani Telukjambe, sebab pihaknya belum menerima kejelasannya. Namun lahan yang akan diberikan itu berada di sekitar lokasi semula.

Soal kepastian lokasi dan luasan lahan,  terlebih dulu Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil akan bertemu para petani di Rumah Dinas Bupati Karawang, pada Kamis (11/5) mendatang.

Kepastian akan ada solusi itu diperoleh Maman, setelah pihak perwakilan petani bertemu dengan presiden, Rabu (3/5) lalu. Saat itu presiden menjanjikan akan ada solusi dalam  3 hari. Pada hari ini presiden telah memberikan kepastian solusinya berupa penggantian lahannya warga, dimana proses realisasinya diserahkan pengurusannya kepada dua menteri.

Kepastian  tentang solusi untuk warga Telukjambe itu juga disampaikan Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki. Menurut Teten
Pemerintah sedang menyiapkan lahan untuk tempat tinggal dan lahan untuk bertani para warga.

Teten juga menyampaikan bahwa lahan yang disiapkan itu berada di sekitar lokasi tempat mereka semula hidup dan bercocok tanam. Namun menurutnya soal, luas lahannya sedang dipastikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

"Alokasi lahan dan luasnya sedang disiapkan Menteri LHK dan Menteri ATR/BPN," tutur Teten

Seperti diketahui warga tiga desa di Kecamatan Telukjambe, Kerawang yakni Desa  Margakaya, Wanajaya, dan Margamulya berkonflik tentang kepemilikan lahan dengan Perusahaan Pengembang PT Pertiwi Lestari selama bertahun-tahun.

Setidaknya antara 600-800 warga harus terusir dari lahan pertanian yang telah digarapnya sejak tahun 1962. Namun sejak 2012 lahan seluas 791 hektare itu telah diklaim milik pengembang.  Mereka juga mengaku menerima intimidasi setiap kali ingin memperjuangkan hak mereka.

Salah seorang petani, Budiono, menyatakan tak tak punya tempat di kampung halaman. Bila kawan-kawan seperjuangan dari Rembang Jawa Tengah bisa pulang, mereka yang dari Telukjambe ini mengaku sudah tak ada tempat untuk pulang.

"Lahan, rumah sudah tidak ada, sudah digusur rata. Makanya kalau ada imbauan pulang ke lokasi, pulang ke mana?" kata Budiono.

Namun warga kini memperoleh pengharapan dengan adanya solusi yang telah ditawarkan presiden.


ASAL USUL SENGKETA - Sengketa lahan seluas 791 hektar antara warga tiga desa di Kecamatan Teluk Jambe, Kabupaten Karawang dengan PT Pertiwi Lestari berawal dari Klaim kepemilikan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan Kantor Pertanahan Karawang tahun 1998. Yakni sertifikat HGB Nomor 5 desa Margamulya, sertifikat HGB Nomor 11 desa Wanajaya dan sertifikat HGB Nomor 30 desa Wanajaya

Di sisi lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mengklaim sebagian dari lahan seluas 791 hektare yang diklaim dimilik PT Pertiwi,  sekitar 350 hektare tanah diantaranya merupakan kawasan hutan yang harus dikembalikan kepada negara. Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut klaim itu atas hasil survei yang telah dilakukan pihaknya.

Bahkan disebutkan kawasan itu telah ditetapkan sebagai kawasan hutan sejak tahun 76. Kawasan itu juga sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan sejak tahun 1954 dan pada tahun 1976 ditetapkan sebagai kawasan hutan. Jadi penetapan lahan tersebut sebagai kawasan hutan, menurut KLHK, telah ditetapkan jauh dari HGB yang didapat PT Pertiwi sekitar tahun 2000-an.

Untuk itu saat ini pihaknya tengah melakukan survei terhadap posisi lahan tersebut. Bahkan survei tersebut dilakukan dengan menggandeng lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dilibatkannya KPK dalam survei tersebut, karena pihaknya menduga ada korupsi dalam proses pemberian HGB lahan tersebut.

KLHK telah berkirim surat meminta kepada Kementerian Agraria, untuk mencabut HGB atas lahan yang disengketakan dengan KLHK. Hasil survei itu nantinya akan dikoordinasikan dengan Kementerian Agraria dan perusahaan. Hasil survei itu jika perlu akan ditindaklanjuti lewat proses hukum.

Bahkan Menteri KLHK Siti Nurbaya telah berkirim surat kepada Menteri Pertanahan Kepala BPN Sofjan Djalil untuk meminta pencabutan atas sertifikat di lahan sengketa Telukjambe. Alasannya sebagian yang menjadi obyek sengketa adalah hutan. Sementara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengaku masih membahas permintaan pencabutan sertifikat atas lahan Telukjambe itu.

Namuin Direktur Sengketa dan Konflik Tanah dan Ruang Wilayah I Kementerian ATR/BPN Supardy Marbun, mengaku sebelumnya mengatakan masih membahas permasalahan tersebut. Diakui Marbun ada perbedaan persepsi terhadap lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan itu.

Tetapi menurut sepengetahuannya, lahan yang diklaim tersebut adalah lahan bekas Belanda atau partikelir yang memiliki HGU (Hak Guna Usaha). Ia menyebut tanah itu dulunya bekas Hak Erpah, bekas Belanda (partikelir) kemudian sepertinya menjadi kawasan hutan. "Tetapi Erpah itu juga bisa dikonversikan menjadi HGU, dari HGU kemudian diubah menjadi HGB," ujarnya.

Belakangan semakin memanasnya konflik tanah di lokasi itu menyusul penggusuran paksa oleh pihak pengembang terhadap keberadaan warga. Pihak DPR RI sempat meninjau lokasi dan memutuskan untuk menetapkan status quo terhadap lahan tersebut, sambil mencari jalan penyelesaian. Namun oleh presiden telah diambil solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. (dtc)

BACA JUGA: