JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perlawanan warga dari 15 desa di Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Nempu Hilir, Kabupaten Dairi serta warga dari Kecamatan Sitelu Tali Urang Jehe Kabupaten Pakpak Bharat Sumatera Utara terhadap aksi penambangan timah hitam yang dilakukan PT Dairi Prima Mineral (DPM) terus berlanjut. Sejak tahun 2011 silam, warga telah menggugat izin menambang timah hitam di kawasan hutan lindung di Register 66 yang diberikan Kementerian Kehutanan kepada anak perusahaan Bumi Resources milik Aburizal Bakrie itu.

Perwakilan warga yang terdiri dari kaum perempuan yaitu Ati Monika Sinaga, Mesti Situmorang, Marlina Sitorus, dan Tamar Simbolon, pada Senin (14/9) lalu menyambangi Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Mereka kembali meminta supaya Menteri LHK mencabut SK Menteri Nomor 378/MENHUT-II/2012 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kegiatan pertambangan timah hitam.

Keempat perempuan itu didampingi oleh Ki Bagus Hadikusumo dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Diakones Sarah Naibaho dari Persekutuan Diakonia Pelangi Kasih  (PDPK). Sebelumnya warga sudah mengajukan permohonan pencabutan SK tersebut pada 17 September 2012, namun tidak mendapatkan tanggapan dari pihak Kementerian Kehutanan.

Maka dari itu, warga yang diwakili oleh ibu-ibu kembali mendatangi KLHK untuk mendesak agar Menteri segera mencabut SK tersebut. Warga menilai, eksplorasi tambang oleh PT DPM di Dairi hanya akan menimbulkan kerusakan alam dan lingkungan. Selain itu, eksplorasi ini juga akan mengakibatkan lunturnya nilai sosial budaya dan nilai-nilai radisi adat di masyarakat, hilangnya mata pencarian penduduk sebagai petani, munculnya penyakit yang membahayakan kesehatan, hingga konflik horizontal antar masyarakat yang berpotensi memicu pelanggaran HAM.

Warga desa di Dairi, khususnya, banyak yang menggantungkan hidupnya pada tanaman kopi. Selama ini tanaman kopi bisa menyejahterakan mereka dan warga banyak sanggup menyekolahkan anak-anak ke tingkat perguruan tinggi. Namun semua itu kemudian terampas dengan kehadiran PT DPM yang menambang timah hitam di kawasan hutan lindung.

Ki Bagus Hadikusumo mengatakan, melalui SK Nomor 378/MENHUT-II/2012 tersebut, negara telah memberikan hak izin pakai kawasan hutan lindung untuk kegiatan penambangan PT DPM seluas 53,11 hektare Kawasan Hutan Lindung Register 66 dengan metode penambangan bawah tanah (underground mining). Lokasi penambangan PT DPM berada di Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kab. Dairi, Sumut.

"Jenis mineral yang ditambang adalah seng, timbal dan mineral pengikutnya," kata Ki Bagus dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Senin (21/9).

Dia mengatakan, kehadiran PT DPM di Kabupaten Dairi tak terlepas dari adanya kesepakatan Kontrak Karya (KK) Generasi Ke-VII Nomor B.53/Pres/1/1998 tanggal 19 Januari 1998 dimana dalam kontrak karya disebutkan bahwa PT DPM memiliki wilayah konsesi tambang seluas 27.420 ha yang lokasinya berada di kawasan hutan lindung. Dalam perkembangannya, PT DPM telah mengantongi SK Menteri yang ketika SK itu terbit Menteri Kehutanan dijabat oleh Zulkifli Hasan (kini Ketua MPR) untuk melalukan aktifitas penambangan.

"Saat ini aktivitas penambangan PT DPM sudah memasuki tahap eksplorasi," ujarnya.

DIPING-PONG PEMERINTAH - Dalam aksi menuntut pencabutan SK PT DPM itu, warga yang diwakili para ibu juga meminta dukungan pihak gereja khususnya dari Persatuan Gereja Indonesia. Masyarakat merasa perlu meminta dukungan gereja karena pernah mengalami kejadian tak mengenakkan dimana pemerintah dan gereja setempat tidak mau peduli dan bahkan menyalahkan mereka.

"Kami diperlakukan seperti bola pingpong," kata Atika Monika Sinaga. Situasi itu dialami ketika mereka mengadu ke Pemkab Dairi. Atika mengatakan, saat itu Pemkab Dairi beralasan, kewenangan pemberian izin tersebut adalah wewenang pemerintah pusat.

Sayangnya, hal yang sama juga mereka alami tatkala mereka datang ke pusat (di Kementerian Kehutanan tahun 2012-red). Pihak Kemenhut justru mengatakan soal tuntutan warga merupakan kewenangan Pemkab Dairi.

Begitupun dengan sikap pimpinan gereja yang menutup mata terhadap persoalan yang mereka alami. "Kami merasa kecewa kepada pimpinan gereja di Dairi, karena selama ini, walaupun tahu, tetapi mereka tidak berani bertindak untuk menjaga lingkungan," kata Marlina Sitorus.

Marlina mengatakan, selama ini para pemimpin gereja justru tidak mendukung penuh upaya-upaya pelestarian lingkungan. "Di gereja ketika kami membuat sosialisasi pelestarian alam dan berupa memutar film, di sana langsung dapat larangan dari orang kecamatan," ujarnya.

Warga sebenarnya sangat berharap pihak gereja mau mendengarkan dan menyuarakan perjuangan penyelamatan lingkungan hidup yang selama ini dilakukan warga. Gereja sebagai lembaga keagamaan yang dekat dengan keseharian warga seharusnya paham apa yang menjadi hak dan kebutuhan mendasar masyarakat. Karena itulah para ibu tadi juga meminta dukungan PGI. Pihak PGI sendiri berjanji dalam waktu dekat segera menyurati gereja setempat agar memberikan perhatian serius dan ikut membantu perjuangan masyarakat.

Usai mendatangi kantor KLHK, pada Rabu (16/9) para ibu tersebut juga mendatangi kantor Komnas Perempuan dan Komnas HAM. Para ibu tersebut beraudiensi dengan salah seorang komisioner Komnas Perempuan, Saur Situmorang.

Dalam kesempatan tersebut, para ibu dari Kabupaten Dairi menyampaikan fakta semakin meningkatnya beban kaum ibu dan perempuan jika PT DPM beroperasi di wilayah tersebut. Kaum ibu dan perempuan yang mengurusi urusan domestik rumah tangga adalah korban pertama ketika sumber-sumber air mulai mengering akibat rusaknya kawasan hutan lindung.

Saur Situmorang selaku komisioner Komnas Perempuan berjanji untuk menindaklanjuti masalah ini dengan menyurati Kementerian LHK agar mencabut izin pinjam pakai kawasan hutan lindung dan memonitor perkembangan di sana.

Ibu-ibu Dairi ini pun melanjutkan pengaduannya ke Komnas HAM dan diterima oleh salah satu Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution. Ibu-ibu pun mengadukan tentang ancaman daya rusak tambang yang akan terjadi. Dalam kesempatan itu Maneger Nasution juga berjanji menindaklanjuti untuk sesegara mungkin mengambil tindakan sesuai kewenangannya dan menyurati agar Menteri LHK segera mencabut SK MENHUT No. 378/Menhut-II/2012 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Kegiatan Penambangan (IPPKH) di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.

Maneger Nasution juga berjanji untuk mencoba untuk menyurati Kepala Daerah di Kabupaten Dairi dan berencana membentuk tim investigasi disana.

"Pada intinya, apa yang disampaikan oleh ibu-ibu adalah menyangkut keselamatan ruang hidup masyarakat yang sedang terusik dan terancam. Bagaimanapun, keselamatan ruang hidup adalah hal yang paling asasi ketimbang alasan-alasan yang coba dirasionalkan yakni demi pembangunan, demi pertumbuhan ekonomi, dan demi membuka lapangan kerja. Namun faktanya malah mengundang banyak masalah baik permasalahan ekologi sampai dengan permasalahan terancamnya keselamatan ruang hidup masyarakat," kata Maneger dalam kesempatan itu.

ANCAMAN KERUSAKAN LINGKUNGAN - Maneger Nasution mengakui, mendengar pemaparan fakta dari para ibu dari Kabupaten Dairi, memang ada potensi keterancaman keselamatan ruang hidup masyarakat akibat kerusakan lingkungan. Beberapa bentuk keterancaman tersebut adalah soal krisis air.

"Dalam melakukan aktivitasnya perusahaan sudah dipastikan memerlukan air dalam jumlah yang banyak sehingga mengakibatkan akses terhadap air semakin mengecil bahkan sampai dengan terjadinya bencana kekeringan," kata Maneger.

Menurut warga, selama ini, selain untuk konsumsi rumah tangga air dipergunakan untuk pengairan sawah, irigasi dan perikanan. Di kawasan yang dijadikan area pertambangan PT DPM terdapat sekitar 5000 jiwa dan seluruhnya sangat tergantung dengan sumber air yang mereka dapati dari beberapa aliran sungai di sana seperti Sungai Simungun, Sungai Sembelin (salah satu sungai terpanjang di Kabupaten Dairi dengan panjang sungai sekitar 60 km yang terbentang dari Kota Sidikalang menuju Kota Subulussalam, NAD).

Jika Sungai Sembelin airnya tercemar dan debit airnya berkurang maka secara otomatis akan berdampak secara langsung pada penduduk di 72 desa dengan jumlah penduduk sekitar 45 ribu jiwa. Ketergantungan warga terhadap air sangat tinggi karena hutan lindung yang akan dijadikan area tambang merupakan pengatur alami tata air.

Di mata warga, citra PT DPM sangat buruk karena merupakan anak perusahan dari PT Bumi Resources, Tbk yang tak lain tak bukan adalah milik kelompok usaha Bakrie—yang dalam sejarahnya dalam ingatan rakyat Indonesia memiliki track record yang kelam.

Ini mengingat kasus Lumpur Lapindo sudah banyak memakan ratusan korban jiwa yang terpaksa harus kehilangan harapan mereka, kehilangan masa depan mereka, dan kehilangan ruang hidup mereka dalam sekejap. Hal inilah yang membuat kekhawatiran jangan sampai kasus seperti Lumpur Lapindo terjadi di wilayah Kabupaten Dairi.

Demikian halnya, area konsesi PT DPM adalah wilayah yang masuk kedalam peta patahan gempa dan jika aktivitas penambangan bawah tanah jadi dilakukan maka sudah bisa dipastikan warga disana untuk siap-siap menghadapi kemungkinan terburuk. Dalam riwayatnya, wilayah Kabupaten Dairi pernah mengalami gempa terparah dengan skala 6,7 SR yang meluluh-lantakkan bangunan sebanyak 735 unit di empat kecamatan.

"Tak terbayangkan jika aktivitas penambangan bawah tanah PT DPM benar-benar dioperasikan," ujar Maneger Nasution.

Lebih jauh, dampak pengrusakan ruang hidup masyarakat lainnya adalah krisis pangan. Ini menjadi penting karena mayoritas mata pencaharian masyarakat Kabupaten Dairi adalah petani padi, palawija, kopi, coklat, cengkeh dan lain-lain.

"Dengan dibukanya area pertambangan di kawasan hutan lindung secara otomatis berpengaruh pada kesuburan lahan pertanian karena telah terjadi alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi wilayah eksplorasi dan eksploitasi tambang," ujarnya.

Kabupaten Dairi masuk kedalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, dimana keberadaan ekosistem taman nasional berfungsi sebagai penjaga keanekaragaman hayati dan berbagai jenis spesies dan tanaman endemik hidup disana. Adanya aktivitas penambangan sudah barang tentu mengacaukan ekosistem kawasan hutan lindung.

Kekacauan ini bukanlah isapan jempol belaka karena menurut penuturan ibu-ibu perwakilan masyarakat, ketika mereka beraudiensi ke KLHK, PGI, KOMNAS HAM serta KOMNAS Perempuan, didapati Siamang dan berbagai satwa lainnya seperti babi hutan sudah mulai turun gunung dan mengancam lahan pertanian warga untuk mencari makanan karena sumber makanan dan habitat mereka di hutan sudah mulai hancur. Hal ini sudah sering terjadi sejak dimulainya kegiatan eksplorasi PT DPM.

Di hari terakhir, Kamis 17 September 2015, para Ibu-ibu kembali mendatangi Kantor Kementerian LHK untuk beraudiensi dengan pejabat Kementerian. Para ibu diterima oleh Dadang Suganda, Staf Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian LHK di lantai IV Gedung Manggala Wanabhakti. Sama seperti pada pertemuan dengan PGI dan KOMNAS HAM, para ibu secara gamblang mengutarakan persoalan yang mereka hadapi.

Dadang dalam kesempatan itu berjanji akan memastikan bahwa hasil pertemuannya dengan ibu-ibu dari Dairi dan Pakpak tersebut tersampaikan kepada Menteri KLHK Siti Nurbaya. "Intinya agar Ibu Menteri segera mencabut SK MENHUT No. 378/Menhut-II/2012 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Kegiatan Penambangan (IPPKH) di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara yang diberikan kepada PT DPM," kata Dadang.

TAMBANG ANDALAN BAKRIE - Seperti dikutip dari situs Bumi Resources, PT DPM memang merupakan anak usaha PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRM). Bumi tercatat memiliki 80% saham PT DPM. Sisa 20 persen saham lainnya dimiliki oleh PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM). Tambang di kawasan Dairi dan Pakpak itu sendiri merupakan tambang andalan dari PT DPM.

Proyek pertambangan di kawasan yang diberi nama Anjing Hitam dan Lae Jahe, memiliki cadangan 11 juta ton bahan tambang dan menyimpan cadangan Zinc (Zn) atau seng dengan grade tertinggi di dunia yaitu Zn 11,5% dan timah (Pb) sebesar 6,8%. Dari situs Anjing Hitam, Lae Jahe, Base Camp jika ditotal menyimpan cadangan ore (batuan yang menyimpan mineral) sebesar 25 juta ton.

Estimasi tersebut telah dilakukan dan melibatkan tiga konsultan geologi pihak ketiga. Pertama oleh AMC Consultants Pty Ltd pada November 2004, CSA Global di bulan Oktober 2010 dan Mining Plus Pty Ltd pada Februari 2011.

Eksploitasi seng dan timah hitam di kawasan tambang seluas 27.420 hektare itu akan dilakukan dengan teknik penambangan tertutup atau menggunakan jalur terowongan di bawah tanah. Ini berbeda dengan eksploitasi penambangan batubara di Indonesia yang dikerjakan secara terbuka atau open pit.

Tahun 2011 silam, Direktur PT Bumi Resources Tbk (BUMI) Dileep Srivastava bahkan menyatakan optimismenya terkait hasil produksi seng dan timah hitam di Kabupaten Dairi. Padahal ketika itu, PT DPM belum berproduksi. Produksinya sendiri baru dilakukan tahun 2013.

Bahkan ketika itu, seperti dikutip dari hasil riset E Trading Securities, diungkapkan, jika tambang di Dairi beroperasi, diperkirakan pendapatan Bumi Resources akan mengalami kenaikan. Investor Relations Bumi Resource Herwin Hidayat ketika itu juga mengatakan, pihaknya berharap produksi awal tambang di Dairi akan mencapai 1 juta ton dalam bentuk ore atau bijih,

Dari besaran itu hanya sebanyak 200 ribu ton yang merupakan combined metal. "Studi terakhir menunjukkan kadar seng sebanyak 12 persen dan timah hitam sebesar 8 persen," kata Herwin.

BACA JUGA: