JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla  mengizinkan rencana pembangunan Smelter PT Freeport Indonesia, dibarengi pembangunan kawasan industri besar seperti pabrik semen, pupuk, pembangkit, pelabuhan dan industri perikanan di wilayah adat suku Kamoro di Kabupaten Mimika, Papua. Namun rencana tersebut mendapat penolakan dari sejumlah lembaga penggiat lingkungan bersama Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko).

Sebab rencana ini mereka nilai akan mengancam wilayah penghidupan Suku Kamoro, khususnya kawasan hutan mangrove, pantai dan laut. "Masalahnya adalah mengapa lagi-lagi pembangunan tersebut berada di tanah Suku Kamoro. Suku yang selama puluhan tahun ini telah menderita akibat tailing PT Freport," kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agrari (KPA), Iwan Nurdin di Kantor Kontras, Jalan Borobudur, Menteng Cikini, Jakarta, Sabtu (6/6).

Wilayah adat Kamoro yang sebagaian besar merupakan area pesisir, lanjutnya, kaya dengan sumber kehidupan alam seperti hutan mangrove, sagu dan ikan yang merupakan sumber kehidupan utama bagi masyarakat adat suku Kamoro, yang selama ini hidup meramu dari alam.

Menurut Iwan, bila rencana pembangunan ini diteruskan, akan menimbulkan dampak lingkungan, sosial ekonomi dan sangat merugikan bagi proses kelangsungan hidup masyarakat adat Kamoro. Sebab atas nama pembangunan, tanah adat Komoro kembali harus diambil untuk pembangunan yang bisa jadi tak akan dirasakan manfaatnya oleh Suku Kamoro yang hidup dengan tradisi meramu.

Kata Iwan, upaya penolakan pembangunan smelter PT Freeport oleh masyarakat suku Kamoro telah dilakukan berkali-kali. Namun rencana pembangunan tersebut masih terus berlangsung.

"Rencana pembangunan smelter terus berjalan, tanpa adanya proses sosialisasi yang utuh atas dampak dan manfaatnya kepada masyarakat serta lembaga musyawarah adat Kamoro," kata tokoh Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko), Jhon Nakiaya di Kantor Kontras, Jalan Borobudur, Menteng Cikini, Jakarta, Sabtu (6/6).
 
Menurut Jhon, upaya penolakan mereka atas rencana pembangunan smelter dan pembangunan kawasan industri besar itu ditindaklanjuti Lemasko dengan melakukan ritual adat yang menunjukkan agar tanah, hutan mangrove dan pantai mereka tidak boleh dijamah.

Sebab kata dia, rencana pemerintah membangun smelter di wilayah Kamoro tidak dengan cara "mengetuk pintu" terlebih dahulu kepada masyarakat maupun lembaga adat. Padahal wilayah tersebut secara keseluruhan merupakan wilayah masyarakat Kamoro. Apalagi di sekitar lokasi itu terdapat pemukiman masyarakat adat Kamoro yang selama ini menggantungkan hidup dari mencari makanan di sungai-sungai wilayah adat mereka.

Kondisi itu menurut Kuasa Hukum Pil Net, Muhnur Satyahaprabu, secara prinsip melanggar hak masyarakat adat Suku Kamoro dan wilayahnya. Secara perundang-undangan juga bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Mangrove; Bertentangan dengan Keputusan MK 35/PUU-X/2012 tentang penegasan Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat;  serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Kemudian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), juga menyebutkan kewajiban bagi perusahaan untuk membangun smelter wajib memperhatikan peraturan perundang-undangan lainnya. Seperti Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang tujuannya untuk menjamin keberadaan masyarakat dan ekosistem yang ada.

"Karena itu, kami dari berbagai elemen masyarakat sipil dan perwakilan Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro menolak Pembangunan Smelter PT Freeport Indonesia dan kawasan industri lainnya di Wilayah Adat Kamoro," tegas Muhnur di Kantor Kontras, Jalan Borobudur, Menteng Cikini, Jakarta, Sabtu (6/6).
 
Selain itu, Lemasko dan lembaga penggiat lingkungan yang terdiri dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), PUSAKA, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Aliansi Petani Indonesia (API), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan PIL-NET, menuntut Pemerintah untuk melindungi dan mengakui hak wilayah adat Suku Kamoro.

BACA JUGA: