HAMBALANG dan Las Vegas adakah hubungannya? Secara langsung memang tidak ada, namun sosok-sosok yang berdiri di belakang pengembangan kedua tempat tersebut memiliki kemiripan: beraroma uang panas!

Pentolan mafia New York, Benjamin ´Bugsy´ Siegel, membujuk bos mafia untuk berinvestasi dalam proyek hotel kasino mewah di Las Vegas pada dekade 40-an, yang kelak dinamai The Flamingo. Saat itu, Las Vegas belumlah seperti sekarang, masih berupa padang tandus yang kosong melompong. Kalau pun ada hanya penduduk pada kawasan tertentu yang digunakan oleh militer Amerika Serikat untuk menguji senjata nuklir sebelum dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, pada pertengahan Agustus 1945.

Gagasan membangun The Flamingo itu direspons positif oleh bos mafia, Meyer Lansky, sebagai taktik untuk pencucian uang hasil judi, prostitusi dan minuman keras.

Charlie Luciano lantas ditunjuk sebagai pengawas dan Mickey Cohen sebagai bendahara yang mengurusi aliran dana. Bugsy pun memilih sahabatnya, Harry Greenberg, sebagai wakilnya untuk memuluskan proyek The Flamingo. Sementara Virginia Hill, kekasih Bugsy, ditunjuk menjadi akuntan proyek.

Sebelum proyek berjalan pada 1946, Lansky wanti-wanti agar dirinya diposisikan sebagai ´invisible hand´ sekiranya langkah money laundering itu terendus penegak hukum AS. Bugsy diberi modal awal US$1 juta untuk memulai proyek ´menyulap´ padang pasir di wilayah Nevada menjadi kawasan judi Las Vegas sebagai yang terbesar di dunia saat ini.

Dunia mafia tak ubahnya politik yang menempatkan ´kepentingan´ sebagai mata uang. Ketika sudah tidak laku maka layak dikorbankan dan Greenberg menjadi tumbal pertama, yang dibunuh sohibnya sendiri, Bugsy. Setelah The Flamingo beroperasi dan mulai menghasilkan uang, Bugsy dihabisi di Beverly Hils, California, atas perintah Lansky.

Kisah nyata di atas terangkum apik dalam film biopic tentang Benjamin ´Bugsy´ Siegel yang bertajuk Bugsy dan dirilis pada 1991.

Proyek Hambalang
Berlatar kisah tersebut, proyek Hambalang memiliki kemiripan dengan Las Vegas History. Tentu pembaca dapat menebak tentang ´Sekawanan´ di proyek Hambalang. Bolehlah kita sebut M Nazaruddin sebagai Harry Greenberg yang jadi tumbal proyek. Tanpa harus disebut dapat tergambar siapa sosok Meyer Lansky si ´invisible hand´, kemudian akuntan Virginia Hill, Charlie Luciano dan Benjamin ´Bugsy´ Siegel sebagai tokoh utama.

Dikepung gunung merapi, sengkarut proyek pembangunan sarana olahraga Hambalang, Sentul, Jawa Barat, sebenarnya tak perlu terjadi sekiranya mengikuti langkah Adhyaksa Dault, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) di era pemerintahan pertama SBY, yang membatalkan niat tersebut. Adhyaksa beralasan kawasan tersebut dekat gunung berapi, setelah rencana itu digulirkan pada 2003 oleh Direktorat Jenderal Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

Menurut Adhyaksa, pada 2003, Direktorat Jenderal Olahraga memang berniat membuat kompleks olahraga di Hambalang. Lahan seluas 32 hektare pun dibebaskan. Namun, belakangan, prosesnya bermasalah karena pengusaha Probosutedjo mengklaim lahan itu miliknya.

Saat itu, kata Adhyaksa, ia sempat melakukan konsultasi dengan pakar geologi, J.A. Katili. Ia kini sudah meninggal. Kepada Adhyaksa, Katili menyarankan agar rencana membangun kompleks olahraga tidak dilakukan di Hambalang. "Beliau bilang, kenapa harus dibangun di situ? Kan di situ ada Gunung Gede, Galunggung, Pelabuhan Ratu, yang semuanya rangkaian gunung berapi," ujar Adhyaksa, seperti dikutip Tempo.

Penjelasan Katili kemudian dipaparkan Adhyaksa di hadapan petinggi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Pemerintah dan KONI akhirnya sepakat, di area Hambalang batal dibangun kompleks olahraga. Sebagai gantinya adalah sekolah atlet tingkat menengah pertama dan menengah atas, yang biaya pembangunannya tak sampai Rp100 miliar.

Kasus pembebasan lahan Hambalang pun mengemuka setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut proyek pembangunan kompleks olahraga di tempat tersebut. Sejumlah pihak sudah dimintai keterangan oleh Komisi, di antaranya pejabat Kementerian, konsultan proyek, dan pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN). Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi SP, kasus Hambalang masih dalam tahap penyelidikan.

Nazaruddin, yang kini menjadi terdakwa kasus suap wisma atlet SEA Games 2011, mengungkapkan, pembebasan lahan Hambalang bisa mulus lantaran ada fee yang mengalir ke Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Proyek itu kemudian digarap oleh PT Adhi Karya sejak 2010 dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara sebesar Rp1,3 triliun.

Menurut Nazaruddin, fee yang didapat dari proyek Hambalang sebesar Rp50 miliar digunakan oleh Anas Urbaningrum untuk memenangkannya dalam bursa Ketua Umum Demokrat dalam kongres di Bandung, Jawa Barat, pada 2010. Pengacara Anas, Arief Patramijaya M. Zen, tidak mau memberikan komentar untuk liputan ini ketika dihubungi gresnews.com, Minggu (26/2).

Sertifikat tanah dan Andi Mallarangeng
Pengurusan sertifikat tanah untuk pembangunan sarana olahraga di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, sebetulnya tak pernah selesai selama bertahun-tahun. Namun, di tangan Andi Alfian Mallarangeng pengurusannya bisa ´disulap´ begitu cepat, langsung tuntas. Menteri Pemuda dan Olahraga itu mengaku dirinyalah inisiator agar sertifikat itu dapat diselesaikan.

Pada kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (22/2), Andi dengan tegas mengatakan sertifikat tanah Hambalang itu sempat terlantar sejak Menpora masih dijabat Adhyaksa Dault. Namun, dikatakan Andi, hanya hitungan beberapa saat dirinya menjabat, sertifikat itu dapat diselesaikan.

"Sertifikat tanah Hambalang itu bertahun-tahun tidak pernah selesai, tapi beberapa saat saya (Andi) menjadi menteri itu dapat selesai," kata Andi.

Nah, gelapnya permainan proyek Hambalang mulai menemukan titik terang. Publik mulai bisa merunut alur kotor proyek itu. Apalagi, Ketua Komisi X DPR Mahyudin mulai bernyanyi di muka hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta, 17 Februari 2012. Mahyudin adalah politisi Partai Demokrat.

Dalam persidangan, ketika itu ia menjadi saksi, Mahyudin mengakui adanya komunikasi antara Nazaruddin dan Andi Mallarangeng mengenai proyek Hambalang. Terjadi pertemuan di ruang kerja Andi Mallarangeng pada Januari 2012. Yang hadir: Mahyudin, Andi Mallarangeng, Nazaruddin (saat itu anggota Komisi III DPR dari Partai Demokrat), dan Angelina Sondakh (politisi Demokrat, tersangka korupsi KPK).

Mahyudi mengatakan, saat itu Nazaruddin sempat melaporkan perkembangan proyek itu ke Andi Mallarangeng. "Bang, sertifikat tanah Hambalang 32 hektare sudah selesai," ujar Mahyudin menirukan ucapan Nazaruddin kepada Andi Mallarangeng pada waktu itu. "Iya, terima kasih," ujar Mahyudin menirukan jawaban Andi Mallarangeng.

Pertemuan empat sekawan itu juga sempat diungkapkan oleh terpidana korupsi, Sekretaris Menpora Wafid Muharam. Ketika itu, Wafid mengaku, dirinya dipanggil ke dalam pertemuan di ruang kerja menteri itu. Andi Mallarangeng memerintahkannya untuk membantu Nazaruddin.

Dokumen Hambalang
Bagaimana sebenarnya fakta proyek Hambalang? Mari kita telusuri dokumen-dokumennya.

Berdiri di atas tanah seluas 32 hektare, megaproyek Pusat pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang Bogor, Jawa Barat, ternyata telah dimulai sejak 2004. Tidak banyak yang tahu di bukit nan hijau, tepatnya di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sekitar 8 km dari pintu keluar Tol Sentul ke ke arah Babakan Madang, Kemenpora bersama Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) memulai proyek senilai Rp1,3 triliun tersebut.

Praktis, proyek Hambalang Sport Center baru ramai dibicarakan setelah tersangka kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games, M Nazaruddin "bernyanyi". Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat (PD) itu menuding sejumlah pihak ´merampok´ proyek tersebut.

Sosok utama yang dibidik Nazaruddin adalah Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat. Gresnews.com menelusuri proyek Hambalang tersebut sejak satu pekan terakhir. Sejumlah dokumen terkait proyek Hambalang didapatkan Gresnews.com. Dari Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) diketahui proyek tersebut masuk dalam tahap perencanaan sejak 2004. Masuk dalam anggaran Proyek Pemasyarakatan dan Pembinaan Olahraga Pusat (P2OP) tahun 2004, dana perencanaan mulai dikerjakan.

PT Lingga Kusumamas Jaya ditunjuk oleh Kemenpora pada tahap persiapan ini. Kerjasama tersebut tertuang dalam Kontrak No.364/KTR/P3OP/IX/2004, tanggal 30 September 2004 dengan nilai Rp4.359.521.300.

"Jangka Waktu Pelaksanaan selama 75 hari terhitung sejak 30 September 2004 dan berakhir 13 Desember 2004," demikian tertulis dalam laporan BPK tahun 2005.

Pada tahun yang sama ditunjuk pula PT Manggala Karya Utama (MKU) sebagai pelaksana Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL). Dalam Kontrak No. 330/KTR/P3OP/X/2004 tanggal 25 Oktober 2004 tersebut PT MKU mendapat proyek senilai Rp132.868.250,00.

Masih berdasarkan data BPK tahun 2004, proyek Sport Center Hambalang telah membayar Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) senilai Rp198.638.600 Sertifikat senilai Rp315.000.000, Permohonan hak atas tanah senilai Rp236.593.900 masih dalam proses penyelesaian, sedangkan laporan hasil pekerjaan analisa dampak lingkungan oleh PT Manggala Karya Utama (MKU) belum ada penyelesaian hasilnya sehingga mengalami keterlambatan dan kepada rekanan belum dikenakan denda maximum sebesar = 5% x Rp132.868.250= Rp6.643.412,50, seperti yang tercatat dalam hasil audit BPK.

Dalam laporan hasil audit tersebut salah satu yang menarik adalah pembayaran sertifikat senilai Rp315.000.000 pada 2004. Padahal, menurut pengakuan Ketua Komisi X DPR Mahyudin, pembebasan lahan proyek tersebut baru selesai tahun 2010.

Tahun 2004, proyek Hambalang juga melibatkan PT Birama Karya Utama. Kontraktor yang beralamat di gedung Menara Hijau Lt 11 Suite 1106, Jl MT Haryono Kav. 33, Kota Jakarta Selatan 12770 tersebut langsung mendapatkan empat proyek dengan nilai setiap proyeknya Rp118.424.000.

Tahun 2004 pula PT Digo Mitra Slogan (DMS) memenangkan proyek Pembangunan Irigasi/Pengairan di Desa Hambalang, Sentul, Bogor senilai Rp 8.756.780.000. PT DMS sering digunakan M Nazaruddin untuk memenangkan proyek di pemerintahan.

Tahun 2005 dalam data Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) PT Maxindo Bintang Teknika (MBT) yang berkantor di Jl Amil Wahab No 13, Rt. 004/09, Kramat Jati, Kota Jakarta Timur 13510 mendapatkan proyek yang sama dengan nama proyek Pengaspalan Jalan Pusdiklat Olahraga Pelajar Nasional - Hambalang Sentul, Kab. Bogor, nilai proyek ini sebesar Rp2.970.719.000.

Dua proyek lain di Sport Center Hambalang juga dimenangkan oleh MBT yakni Pembangunan Saluran Air Lapangan Bola Hambalang, Sentul, Kabupaten Bogor senilai Rp2.361.189.000. Serta Pekerjaan Pembangunan Saluran Air Lapangan Bola Pusdiklat Olahraga Pelajar Nasional di Desa Hambalang Sentul Bogor - Jawa Barat dengan nilai kontrak Rp2.361.189.000.

Tahun 2006 giliran PT Marshel Abadi yang mendapatkan peran dalam proyek Pelaksanaan Pekerjaan Saluran Pembuangan (keliling lapangan) Pembangunan Pusat Pelatihan Olahraga Nasional di Desa Hambalang Sentul Bogor senilai Rp500.093.836. Demikian juga CV Galuh memenangkan proyek Perencanaan Landscape Pusat Pelatihan Olahraga Nasional di Desa Hambalang Sentul Bogor dengan nilai Rp16.079.000.

Tahun 2010, menurut data LPJK, Kemenpora menunjuk Persero PT Yodya Karya untuk Pekerjaan Penyempurnaan Perencanaan Pembangunan Lanjutan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Sentul Hambalang Bogor dengan nilai proyek Rp5.825.820.000. Kerjasama keduanya tertuang dalam kontrak No 027.A/SPK/PPK/P3SON/8/2010 tanggal 30 Agustus 2010.

Pengakuan Nazaruddin
Jika merujuk pada pengakuan M Nazaruddin, pada 2010 inilah proyek Pusat Olahraga Hambalang mulai dilirik oleh Anas Urbaningrum. Dalam berbagai kesempatan Nazar selalu mengatakan PT Adhi Karya ditunjuk sebagai pemenang dalam proyek pembangunan dengan total Rp1,3 triliun ini.

Menurut Nazar, proyek ini sempat ditawarkan kepada PT Duta Graha Indah (DGI) namun ternyata perusahaan dengan Komisaris Sandiaga Salahuddin Uno ini tidak mampu menyediakan dana Rp100 miliar untuk pemenangan Anas pada kongres Partai Demokrat di Bandung. Alhasil, PT Adhi Karya ditunjuk sebagai pemenang karena mampu menyediakan dana yang konon digunakan untuk politik uang pemenangan Anas.

Dan memang benar akhirnya PT Adhi Karya mememangkan proyek tersebut bersama dengan PT Widjaya Karya. Tahun 2011 perusahaan plat merah ini menunjuk PT Global Daya Manunggal lewat Direktur Operasional PT Adhi Karya yakni Teuku Bagus MN untuk mengerjakan proyek Pembangunan Lanjutan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang - Bogor dengan nilai Rp61.741.245.611. Kontrak tersebut tertuang dalam surat perjanjian kerjasama No 002/SPPPP/SENTUL-HAMBALANG/ADHI-WIKA/XII/2010 tanggal 29 Desember 2010 atau enam bulan setelah Anas terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Anehnya pencairan anggaran
Anggota Panja DPR-RI untuk Proyek Sarana Olahraga di Hambalang, Dedi Gumelar, mengaku tidak mengetahui adanya pencairan dana sebesar lebih dari Rp100 miliar untuk pelaksanaan proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3S0N) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat pada 2004, sebagaimana yang tercatat dalam laporan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

Dedi Gumelar mengaku, apabila BPK telah memberikan laporan mengenai adanya pencairan dana untuk proyek pembangunan P3SON di Hambalang pada 2004 itu secara resmi, maka hal itu akan menjadi suatu perhatian penting bagi Panja Hambalang untuk mengusut aliran uang itu hingga tuntas.

"Kalau data BPK itu sudah diserahkan ke kita, dan benar adanya, maka ini bisa menjadi bahan yang penting untuk diperhatikan Panja. Sebab, Panja itu kan bertugas untuk menelusuri keputusan pencairan dana untuk Hambalang itu seperti apa? Jadi, apakah dana yang telah cair pada 2004 itu tercatat pada APBN P apa belum," ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) yang akrab disapa Miing Bagito itu saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (25/2).

Kalaupun dana untuk pembangunan sarana olahraga di Hambalang itu tidak masuk dalam APBN-P, menurut Dedi, hal itu bisa diduga ada korupsi. "Kalau memang tidak tercatat di APBN-P, ya dana itu bisa jadi dikorupsi," kata Dedi.

Terkait dengan adanya pencairan dana berikutnya untuk pelaksanaan proyek Hambalang jilid II sebesar lebih dari Rp1 triliun sebagaimana yang disebut oleh terdakwa kasus suap Wisma Atlit, Muhammad Nazaruddin, Dedi mengatakan, dirinya tidak mengetahui kronologi peristiwa dana itu bisa mendapatkan persetujuan dari Komisi X DPR-RI, mengingat kejadian itu terjadi saat dirinya belum menjabat sebagai legislator.

"Itu kan kejadiannya pada 2008. Nah, saya saat itu kan belum menjabat DPR. Saya juga tahunya lewat kesaksiannya Nazaruddin. Kalau Nazar tidak bersuara, maka publik dan saya juga tidak akan pernah tahu," tutur Dedi.

Meski demikian, Dedi menjelaskan, pencairan dana proyek Hambalang Jilid II itu sudah ada progress-nya, berbeda dengan pencairan dana pada 2004 silam untuk proyek yang sama.

"Kalau dana yang sudah dicairkan pada 2004 kan masih misteri. Tapi, kalau dana Rp1,3 triliun itu sudah ada kejelasannya kok," tukas Dedi.

Sementara itu, di tempat terpisah, anggota Panja DPR-RI untuk Proyek Sarana Olahraga di Hambalang, Utut Adianto, menjelaskan Panja Hambalang akan memulai kerja-kerjanya pada awal Maret 2012 mendatang. Namun, sayangnya, Utut enggan menjelaskan langkah-langkah yang ditempuh Panja ke depan dalam menyelesaikan pengungkapan dugaan kasus penyimpangan keuangan negara dalam proyek Hambalang.

"Panja akan mulai kerja awal Maret. Ketua Panja adalah Ketua Komisi X, Prof Mahyudin. Silakan hubungi dia. Terima kasih," demikian pesan singkat Utut kepada gresnews.com.

Ketika gresnews.com hendak meminta konfirmasi kepada Ketua Komisi X DPR-RI, Mahyudin, yang juga Ketua Panja Hambalang melalui telepon selulernya secara berulangkali, kader Partai Demokrat itu tetap tidak mengangkat teleponnya. Bahkan, pertanyaan yang diajukan gresnews.com melalui pesan singkat juga tidak dijawab oleh Mahyudin.

Kini, sengkarut permainan di proyek Hambalang sedikit demi sedikit mulai terurai. Setelah pengakuan Mahyudin di muka persidangan, KPK berniat untuk memeriksa Andi Mallarangeng dan pihak-pihak lain yang diduga terlibat. Johan Budi menyebut, pengakuan Mahyudin sangat membantu penyelidikan KPK.

Publik bisa terus mengawasi proses hukum kasus Hambalang. Jangan sampai akhir ceritanya seperti kisah Bugsy Siegel. Meyer Lansky sang bos dan Charlie Luciano tidak pernah tersentuh hukum berkat lindungan penguasa atas upetinya kepada pemerintahan. Sementara, nasib Virginia Hill, sang akuntan, tak berbeda jauh dengan sang bos sekaligus kekasihnya, Bugsy: dihabisi koleganya sendiri.

TIM SOMASI

BACA JUGA: