JAKARTA, GRESNEWS.COM – Penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) selalu terus berulang dan seolah tidak pernah ada habisnya. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) baru-baru ini juga akan melakukan penertiban bagi PKL di kawasan Kota Tua. Sejumlah pihak berpendapat pendekatan yang ditempuh Ahok kali ini harus berbeda agar lebih efektif dalam menertibkan PKL sekaligus memanusiakan para PKL.

Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Ali Mahsun mengatakan Ahok tidak pernah berprasangka baik pada pedagang. Menurutnya, pedagang kerap dituduh dikangkangi preman atau dikelola orang tertentu termasuk menuduh lembaganya mendapat setoran dari PKL.

"Saya selalu mengecam apapun yang dilakukan Ahok yang menghina pedagang kaki lima di DKI Jakarta," ujar Ali saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (29/8).

Ia menambahkan, jika merasa benar sebaiknya Ahok tidak hanya berkoar-koar memberikan tudingan yang tanpa bukti. Dia ingin kalau memang terbukti ada premanisme di lapak PKL maka segera ditangkap. Ali mencontohkan Ahok sempat menuding PKL Monas membuat sirup dari air selokan dan menuduh makanannya mengandung zat beracun. "Tapi buktinya tidak ada," ujarnya.

Ali pun menyatakan tidak setuju terhadap tindakan penertiban dan penggusuran PKL di DKI Jakarta. Ia meminta pada Ahok untuk melakukan pendekatan yang dialogis. Kalau memang perlu ada relokasi maka harus disiapkan dulu tempatnya.

Ali bersama para pedagang kaki lima lainnya berharap, jangan sampai penertiban PKL berlangsung rusuh dan penuh kekerasan seperti kasus Monas terulang. Pada konteks Monas, kini PKL semakin tidak jelas dimana menempatkan lapak dagangannya kembali.

Pernyataan Ali ini merupakan reaksi atas tindakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang berencana akan menertibkan kembali pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di sekitar trotoar dan sebagian badan jalan Kota Tua. Ahok juga menyatakan ingin menelusuri data PKL bersangkutan apakah merupakan warga asli Jakarta atau bukan.

Ahok juga mengaku akan menertibkan preman yang menjual lapak bagi PKL. "Ya harus dipaksa minimal tengah kosong dulu didorong. Kita lagi siapin tanah yang di Jalan Cengkeh-Jalan Tongkol (Jakarta Barat) itu kita mau bangun. Harus dorong, yang penting bersih tengah sudah bersih sekarang. Tinggal yang di pinggir semrawut kita atur lagi," ujar Ahok di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (28/8).

Mantan Bupati Belitung Timur itu mencurigai PKL yang di pinggir kawasan Kota Tua bukanlah mereka yang memiliki KTP DKI Jakarta. Untuk itu Ahok pun akan segera melakukan penertiban dalam waktu dekat. "Kita lacak lagi kebanyakan itu bukan KTP DKI. Itu banyak preman yang jual lapak ke non DKI. Kita akan sikat!" tegasnya.

Ahok pun akan menjalin kerjasama dengan Polda Metro Jaya untuk menertibkan PKL. "Makanya kita mau keluarkan duit kepada Polda supaya tertibkan ini," tutup Ahok.

BIANG KESEMRAWUTAN - Diduga kesemrawutan ini terjadi penerapan zonasi pedagang itu membuat sejumlah pemilik rumah dan perkantoran yang berada di Jalan Kali Besar Timur kesal. Pasalnya setiap hari ratusan pegadang kaki lima dengan tenda berwarna biru memenuhi akses jalan dan membuat kotor.

Sebelumnya, salah satu pemilik Rumah Akar di jalan tersebut, Ella Ubaidi, mengatakan pemindahan PKL dari zona Fatahillah ke lingkar luar di sepanjang ruas Jalan Kali Besar Timur jelas salah kaprah. Sebab, banyaknya para PKL di daerah yang banyak bangunan cagar budaya itu mengganggu akses jalan perkantoran yang mulai aktif beroperasi.

Akses jalan yang seharusnya menjadi fasilitas umum setiap Pukul 17.00 WIB dipenuhi oleh para PKL. Membuat para pejalan kaki sulit melintas dan itu menyalahi aturan ketertiban umum.

"Sebenarnya, konsep pariwisata yang seperti apa sih yang mau ditunjukkan oleh pemerintah, kalau memang kelas PKL, ya ditata dengan baik dong. Bukan malah jadi kumuh dan bau pesing kayak gini. Karena yang kita jual dari bangunan heritage ini kan estetika dan keindahannya. Bukan malah ditutupi dengan tenda-tenda PKL," terang Ella kepada wartawan, Kamis (27/8) sore.

Ella mengatakan, kesemerawutan PKL saat ini sudah menjadi buah bibir pemilik bangunan cagar budaya, diantaranya Banda Graha Reksa, dan PT Jasa Raharja. Jadi bukan tidak mungkin konservasi bangunan tua menuju World Heritage yang diakui UNESCO tahun 2017 nanti akan gagal.

"Kita sudah sepakat bakal menemui Gubernur, karena kalau kumuh begitu, mana mungkin investor akan tertarik," kata mantan Executive Vice President Heritage Conservation and Architecture Design PT Kereta Api Indonesia itu.

Ella menambahkan, penataan PKL di kawasan Kota Tua itu sebenarnya mudah dilakukan. Asalkan, pemerintah bisa berlaku tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan PKL.

PENDEKATAN PROAKTIF - Sosiolog dari Universitas Indonesia Yophie Septiadi mengatakan, PKL sebenarnya terdiri dari sejumlah jenis. Pertama PKL yang merupakan orang yang mau berbisnis tapi memiliki modal sedikit atau terbatas, sehingga mencari alternatif memotong jalur modal dengan tidak menyewa tempat.

Kedua PKL yang ingin mendapatkan keuntungan lebih. Sebenarnya jenis PKL ini memiliki modal yang cukup namun enggan membeli atau menyewa lapak dengan keuntungan lebih. Akhirnya dua tipikal pedagang ini yang menjadi landasan untuk para preman mengambil kesempatan dan manfaat dari situasi ini.

"Preman ini juga terbagi dua yaitu preman jalanan dan preman dengan tanda kutip, oknum yang membekingi. Oknumnya bisa trantib, kecamatan atau kelurahan. Jadi ini seperti lingkaran setan. Saya yakin dari zaman Soeharto tidak akan selesai urusannya," ujar Yophie saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (29/8).

Ia melanjutkan, sekitar tahun 1980-an, beberapa pemerintah daerah (pemda) sudah membuka sektor informal legal. Maksudnya para PKL ditempatkan di lokasi yang legal dan bisa menempati secara kontinu. Misalnya PKL di Jalan Surabaya dan di Poncol Senen.

Permasalahannya, dalam model ini, PKL mendapatkan biaya tambahan yang besar dalam bisnisnya. Akhirnya praktik ini dianggap kurang begitu tepat dalam menangani masalah PKL. "Sebab pemda juga memiliki keterbatasan lahan menempatkan PKL," katanya.

Yophie menjelaskan, ketika PKL direlokasi bisnis yang akan menang adalah tipe PKL yang memiliki modal cukup. Sehingga tipe PKL yang tidak punya modal akan kalah dengan tipe satunya. "Karena itu pemda harus melakukan kebijakan proaktif pada PKL, sehingga pemda bukan hanya menggusur PKL," kata Yophie.

Ia mencontohkan pemda harus memiliki data event-event tertentu di daerahnya seperti event partai politik dan ormas. Saat itulah pemda harus proaktif melibatkan kaki lima untuk "disisipkan" dalam kegiatan bazaar dan pekan ormas tersebut. Menurutnya dalam 1 tahun bisa saja ada 100 event di daerah yang bisa memberdayakan PKL.

"Saya yakin bisa laku. Karena setiap ada acara pun, ada pedagang kaki lima dan itu laku," jelasnya.

Untuk itu, kata Yophie, pemda harus memiliki data-data PKL, sehingga dalam menertibkan PKL jangan hanya digusur dan diambil barang dagangannya. Menurutnya cara tersebut merupakan cara "primitif" yang tidak lagi relevan untuk saat ini. Pemda harus memiliki data dan mengecek data pedagang bersangkutan misalnya terkait domisilinya. "Dengan begitu, ketika ada event yang bisa melibatkan PKL bisa diikutsertakan," ujarnya.

Setelah memiliki data PKL, pemda harus memiliki agenda bazaar dan pekan PKL di alun-alun kota sebulan dua kali atau sekali. Dengan demikian, PKL bisa diajak tertib dan dimanusiawikan. "Ketika pemda bisa memanfaatkan PKL, maka kehadiran PKL justru malah bisa ‘dirindukan’ masyarakat," kata Yophie.

DESAIN PENERTIBAN PKL - Dalam kesempatan terpisah, Sosiolog Ida Ruwaida mengatakan, persoalan penertiban PKL ilegal sangat bergantung dengan rencana pemda, apakah penertiban tersebut juga memberikan keuntungan pada para PKL tersebut. "Sebenarnya perlu dilihat bagaimana keberpihakan pemerintah pada pelaku PKL ini," kata Ida kepada gresnews.com.

Selama ini Pemda dinilai hanya memberikan lokasi tapi lokasinya tidak strategis. "Padahal kalau di Borobudur ada pengkondisian pengunjung dipaksa untuk melewati para pedagang. Jadi PKL bukan ditempatkan di tempat orang yang tidak lewat. Tapi PKL ditempatkan di satu wilayah yang banyak dilewati banyak orang," ujar Ida.

Ia melanjutkan pemda harus memiliki keseriusan untuk mengintegrasikan keberadaan pelaku usaha kecil di kawasan Kota Tua. Selain mengintegrasikan PKL, pemda juga harus melakukan pembinaan dan pendampingan. Misalnya terkait persoalan kebersihan dan sampah.

Persoalannya, menurut Ida, ada pihak atau oknum yang memanfaatkan keberadaan PKL, sehingga memang ada persoalan ekonomi dalam penertiban ini. "Ini menjadi persoalan yang rentan. Akhirnya karena tidak ditangani dari akar persoalannya, penertiban PKL ini terjadi berulang kali," ujarnya.

Menurutnya, pemda harus memiliki design dan memberikan modal pada PKL untuk menunjukkan kesungguhan menertibkan PKL. Hanya saja memang kalau dimodali, jangan sampai yang dimodali malah pebisnis yang besar.

Karena itu dibutuhkan keseriusan Pemda Jakarta untuk mengintegrasikan PKL di wilayah Kota tua sebagai tujuan wisata. Hal terpenting untuk menunjukkan keseriusan pemda dengan membangun sistem dan kebijakan. "Kalau tidak jelas ya dimanfaatkan pihak-pihak tertentu," ujar Ida. (dtc)

BACA JUGA: