JAKARTA, GRESNEWS.COM – Jelang pemilihan kepala daerah (pillada) 2015, partai politik kembali harus bertarung mengusung kandidat terbaik dari partainya. Sejumlah pengamat menilai partai politik harus bisa belajar dari pemilu sebelumnya bahwa mereka harus selektif memilih calon sesuai dengan kemanfaatan rakyat dan masa depan partai agar partai tidak hanya dijadikan kendaraan politik.

Terkait hal ini, pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro mengatakan pilkada merupakan momen demokrasi partisipatoris karena kepala daerah dipilih dari, oleh, dan untuk rakyat. Karena itu, belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya, partai politik harus memunculkan calon yang sesuai kehendak rakyat.

"Jangan ikuti kehendak sendiri. Toh nanti kalah juga," ujar Siti pada Gresnews.com, Rabu (31/12).

Ia melanjutkan gabungan atau koalisi partai harus mau bersusah payah untuk memilih siapa yang diinginkan rakyat. Sehingga partai memunculkan kandidat kepala daerah yang setidaknya memiliki nilai 9 di mata rakyat. Tidak seperti sebelumnya yang cenderung memiliki nilai 5 karena partai mengajukan kandidat kepala daerah yang alakadarnya.

Menurutnya, untuk bisa mendapatkan kandidat kepala daerah yang memiliki nilai tinggi di mata rakyat, partai politik harus serius melakukan seleksi. Seleksi kandidat kepala daerah misalnya bisa dilakukan melalui konvensi diinternal partai. Sehingga, pemilihan kandidat benar-benar atas keinginan seluruh kader partai dan bukan hanya keinginan elit partai.

Ia mencontohkan salah satu partai yang belakangan selektif dan bagus mencalonkan kepala daerah adalah PDIP. Karena mereka mengajukan calon yang bukan berasal dari kader melainkan berdasarkan keinginan rakyat. Sehingga mendengarkan dan mengakomodasi kehendak rakyat merupakan salah satu cara paling mujarab bagi partai yang mengajukan kandidat kepala daerah. Dari mekanisme tersebut, Siti mencontohkan bisa muncul kepala daerah seperti Joko Widodo, Risma, dan Ridwan Kamil.

Partai perlu memikirkan juga orang yang dimajukan tidak sekadar asal comot dan memiliki banyak uang. Jika hal itu yang dilakukan maka partai harus siap-siap akan ditinggalkan kandidat yang diusungnya lantaran hanya dimanfaatkan. Sebabnya kandidat yang diambil dengan sistem asal comot tersebut pasti hanya akan jadi kutu loncat yang rela meninggalkan partai.

Kutu loncat ini menurutnya bisa muncul karena mekanisme seleksi kader tanpa pembelajaran soal visi misi dan etika partai. Sehingga yang ada di otaknya bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan menang. Sementara kalau partai lebih selektif mengajukan kandidat yang bagus bagi rakyat, tentu rakyat akan dengan sendirinya antusias tanpa perlu disogok sepeser pun oleh partai.

Senada dengan Siti, pengamat politik dari Universitas Diponegoro Susilo Utomo mengatakan partai politik memang harus belajar soal perilaku pemilih dari pilpres 2014. Perilaku pemilih cenderung menjatuhkan pilihannya pada figur yang tidak berjarak dengannya atau merakyat. Lalu kandidat kepala daerah tersebut secara emosional dan ideologi juga memiliki kesepahaman dengan partai pendukungnya.

"Sikap merakyat dan nyambung dengan partai ini yang membuat kandidat kepala daerah berpeluang besar untuk menang," ujar Susilo pada Gresnews.com, Rabu (31/12).

Melalui dua hal seperti yang dijelaskan di atas, partai politik tidak hanya menjadi perahu sewa atau kendaraan politik bagi kandidat kepala daerah. Tapi juga tidak akan mengalami disorientasi ketika ditinggalkan kandidat yang diusungnya. 

BACA JUGA: