JAKARTA, GRESNEWS.COM - Direktur Solusi Untuk Negeri (SUN Institut) Andrianto mengatakan, maraknya pemilihan ketua umum secara aklamasi di banyak partai politik merupakan bagian dari sistem pemilihan yang diakui dalam alam demokrasi. Namun kata dia, legitimasi pemimpin yang dipilih lewat mekanisme ini patut dipertanyakan.

"Aklamasi memang bagian dari sistem pemilihan yang diakui namun nilai legitimasinya patut dipertanyakan. Mengapa? Karena lazim dalam sebuah mekanisme demokrasi dikenal asas pemilihan yang terbuka, adil dan akuntabel. Kan berati ada kontestasi minimal dua kandidat," katanya saat dihubungi Gresnews.com, Kamis (1/01).

Menurut dia, dengan adanya kandidat yang bertarung tentu akan menciptakan output yang kuat dan paling tidak legitimasinya jelas. Dia juga mengatakan, budaya aklamsi ini merupakan kredo dari zaman Orde Baru yang menihilkan kontestasi dan selalu mengajukan calon tunggal. "Akhirnya aklamasi sarat dengan rekayasa, penggalangan dan calonnya pasti tunggal," ujar dia.

Saat disinggung soal terpilihnya Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama RI secara aklamasi, Andrianto menyebut budaya aklamasi saat itu tidak bisa dibandingkan dengan yang sekarang. Karena terpilihnya kedua proklamator kemerdekaan RI itu adalah panggilan sejarah saat Republik baru berdiri.

"Tentu tidak asimetris dengan Soekarno-Hatta. Karena kemunculan dwi tunggal ini adalah panggilan sejarah di masa pertama republik berdiri. Apalagi di tengah konflik perang dunia kedua dan sekutu beserta Belanda yang akan kembali. Nah situasi hari ini sangat tidak lazim bila menjadi justifikasi meski ada pemimpin yang kharismatik," urai Andrianto.

Dia menjelaskan, di masa saat ini sangat dibutuhkan legitimasi dan itu didapat dengan adanya kontestasi. "Lagipula trend sekarang ini kan demokrasi yang semakin dewasa dan semua kecenderungannya sudah sangat open minded terhadap perkembangan politik mutakhir," jelas dia.

Sementara, Direktur Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin mengatakan, budaya aklamasi bukanlah hal yang keliru di era demokrasi seperti saat ini. Pasalnya bila proses aklamasi itu tidak disertai dengan cara-cara politik kotor itu sah dilakukan.

"Aklamasi bukanlah hal yang keliru dalam proses demokratisasi di internal politik, sepanjang terpilihnya seorang pemimpin lewat mekanisme aklamasi tidak disertai oleh adanya intimidasi dan permainan politik uang," katanya kepada Gresnews.com.

Dia menyebut, aklamasi diperbolehkan bila itu merupakan keinginan konsituen sebagai pemilik suara dalam sebuah pemilihan. Entah itu di parlemen/legislatif, eksekutif maupun yudikatif serta di internal parpol masing-masing. "Intinya adalah pada kehendak dari para pemilik suara. Bukankah Soekarno-Hatta pun dulu dipilih secara aklamasi?" ujar dia.

Budaya aklamasi saat ini marak terjadi di hampir semua partai politik di Indonesia. Seperti, Megawati yang diprediksi menjadi calon tunggal di PDIP, Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat, Prabowo di Gerindra dan lain-lain.

BACA JUGA: