JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kas negara terancam bolong karena pemerintah masih juga ragu untuk bersikap tegas terhadap pengusaha tambang yang tidak tertib dalam menjalankan usahanya. Salah satunya adalah tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM R. Sukhyar mengatakan, sejumlah 4900 IUP dari total 10.600 IUP dikategorikan bermasalah.

Dampaknya, kata Sukhyar, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berpotensi hilang triliunan rupiah. Di satu sisi perusahaan-perusahaan pertambangan juga memiliki utang kepada pemerintah sebesar Rp 1,5 triliun. "Penertiban IUP ini harus selesai. IUP ini banyak yang tidak tertib, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata Sukhyar kepada Gresnews.com, Rabu (12/2).

Bahkan penerbitan IUP dari Kepala Daerah diindikasikan ada kepentingan politik. Seperti ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan beberapa waktu lalu, ada 22 perusahaan tambang beroperasi tanpa izin. Dan ada kepala daerah yang mengobral izin tambang untuk keperluan biaya pemilihan kepala daerah. Hal itu biasanya dilakukan oleh para incumbent. Penyalahgunaan seperti ini ditemukan BPK banyak terjadi di Maluku Utara, Papua Barat, Riau dan Kalimantan Tengah.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara membenarkan dikeluarkannya IUP di berbagai daerah oleh kepala daerah diindikasikan bagian dari kompensasi pada saat pilkada yang didukung oleh salah satu investor. Ketika sudah terpilih, sang investor pun menagih berupa kemudahan penerbitan IUP. "Itu kayak kasus Bupati Buol yang membantu Hartati (Murdaya)," kata Marwan kepada Gresnews.com, Jakarta, Rabu (12/2).

Dia menilai pemerintah pusat memang tidak mampu untuk mengontrol hingga ke daerah-daerah, ditambah lagi kepala daerahnya juga bermasalah. Kombinasi kedua hal itulah yang menyebabkan pendapatan negara menjadi berkurang. Belum lagi, menurutnya, pengusaha tambang yang dikawal oleh tentara dan polisi.

Selain itu juga, pengusaha tambang juga sudah ada yang memiliki pelabuhan sendiri sehingga petugas Bea Cukai tidak mampu mengontrol untuk hasil tambang yang diekspor dari pengusaha tambang yang bermasalah. "Intinya penerbitan IUP itu pasti ada kepentingan politik dan investor. Itulah yang menimbulkan penyelewengan selalu terjadi," kata Marwan.

Berdasarkan penelusuran Gresnews.com terhadap data yang dimiliki Direktorat Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), potensi kerugian negara dari pengelolaan minerba mencapai US$ 12 miliar dari batubara dan US$ 25 juta dari mineral. Sedangkan dalam kurun waktu 2003 hingga 2011 dari sektor minerba sebesar Rp 6,7 triliun yang belum menyetor PNBP kepada negara.

Kemudian untuk IUP sendiri dari 7.501 izin usaha pertambangan sebanyak 45 persen yang bermasalah dan itu diperoleh 12 provinsi dengan jumlah temuan 198 perusahaan tambang batubara yang belum bayar PNBP.

Jika dilihat dari data provinsi, contohnya seperti provinsi Jambi, menyumbang kerugian negara dari sektor dari tambang mencapai Rp 73,2 miliar atau sekitar 15 persen dari angka kerugian nasional. Kerugian itu berasal dari kasus kurang bayar pajak dan royalti dari lima perjanjian karya pengusahaan batubara (PKPPB) dan 60 kuasa pertambangan (KP).

Masih di Jambi lagi, negara juga masih dirugikan karena banyak praktik usaha tambang yang menyalahi prosedur, dari 386 izin usaha tambang yang diterbitkan sebanyak 223 titik berada di kawasan hutan lindung, hutan produksi maupun hutan produksi terbatas.

Dari jumlah tersebut sebanyak 141 usaha tambang sudah sesuai dengan standar prosedur (clean and clear) sisanya 245 IUP masih bermasalah. IUP yang bermasalah tersebut karena ada yang lokasinya tumpang tinding, menggunakan kawasan hutan dan tidak memiliki izin pinjam pakai.

BACA JUGA: