GRESNEWS.COM - Sektor pertambangan dan kehutanan menyumbang banyak pemasukan buat negara ini. Tapi orientasi keuntungan sesaat menyebabkan maraknya tipu-tipu dan perbuatan tak terpuji. Lingkungan rusak, sementara rakyat tetap saja miskin. Perlu audit lingkungan lebih ketat.

Jaringan Advokasi Tambang (JAT) akhir tahun lalu mencatat, 70% kerusakan lingkungan di Indonesia diakibatkan oleh sektor pertambangan. Catatan itu juga menunjukkan, hampir 34% daratan Indonesia telah pasrahkan kepada perusahaan-perusahaan besar pemilik 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara. Angka segitu belum termasuk izin perkebunan skala besar, wilayah kerja migas, panas bumi, dan tambang galian C.

Kawasan pesisir dan laut juga tidak lepas dari eksploitasi gede-gedean. Lebih dari 16 titik reklamasi, penambangan pasir, pasir besi, dan tempat pembuangan limbah tailing Newmont dan Freeport. Demikian juga hutan, ada 3,97 juta hektar kawasan lindung terancam pertambangan, termasuk keanekaragaman hayati di dalamnya. Sedangkan sungai, dalam 10 tahun terakhir, dari sekitar 4.000 daerah aliran sungai (DAS) yang ada di Indonesia, 108 di antaranya mengalami kerusakan parah.

Katanya Negara Kaya

Fakta-fakta yang mengerikan. Tak salah jika Ketua Kelompok Kerja Audit Lingkungan BPK Se-Dunia (Working Group on Environmental Audit INTOSAI), Ali Masykur Musa menyatakan keprihatinannya terhadap sektor kehutanan dan pertambangan yang dinilai telah banyak melakukan sejumlah hal tidak terpuji, baik terhadap negara maupun lingkungan.

"Terhadap negara, banyak pelaku usaha di sektor pertambangan dan kehutanan yang mengemplang royalti atau melaporkan pembayaran yang tidak semestinya. Mereka juga menyerobot kawasan hutan, merambah hutan tanpa izin, tidak menyetorkan jaminan reklamasi, dan tidak merehabilitasi lahan pasca tambang," kata Ali yang juga anggota BPK, melalui perangkat seluler kepada Gresnews.com, Senin (25/3).

Menurut Ali, problem-problem itu sekarang menjadi concern pemeriksaan yang dilakukan BPK. "Sejak 2009, BPK fokus melakukan audit lingkungan di sektor pertambangan dan kehutanan dan telah mendapatkan berbagai macam temuan, sebagian telah diteruskan ke aparat penegak hukum karena ada indikasi tindak pidana," ungkapnya.

Salah satu masalah pokok yang dihadapi Indonesia saat ini adalah buruknya tata ruang sebagai basis penyelenggaraan pembangunan. "Indonesia dianugerahi geografi yang mengandung berbagai macam kekayaan sumber daya alam, baik yang tersimpan di laut maupun yang terdapat di bawah dan di atas permukaan tanah," papar Ali.

Di laut terdapat kekayaan ikan dan potensi lainnya termasuk pertambangan. "Sedangkan di atas permukaan tanah terdapat kandungan deposit berbagai jenis mineral yang luar biasa besar. Namun, tata kelola dan pola pemanfaatan sumber daya alam itu seringkali tidak memperhatikan daya dukung lingkungan hidup.

Ali menambahkan, "Hutan-hutan digunduli, gunung-gunung dipangkas, tanah digali dan disingkap untuk kepentingan pertambangan. Akibatnya, daya dukung lingkungan hidup merosot dan Indonesia rentan terhadap panen bencana."

Terkait kondisi pertambangan di Provinsi Bengkulu, kata Ali, BPK berjanji akan mengkaji dan memeriksa, terutama di sekitar kawasan penghasil batubara di Kabupaten Seluma, Bengkulu Utara, dan Bengkulu Tengah. "BPK akan memeriksa aspek penerimaan dan pengelolaan lingkungannya. Sektor pertambangan Bengkulu mengambil sekitar 8,10% luas lahan Provinsi Bengkulu, kehutanan 46,5 persen, dan perkebunan 20,8 persen," jelasnya.

BPK akan terus mengawasi sektor pertambangan dan kehutanan yaang sering menimbulkan paradoks dan ironi, lingkungan rusak tetapi rakyat tetap miskin. "Dengan audit lingkungan, BPK akan membantu mengharmoniskan tata ruang pembangunan, yang mewadahi ruang ekonomi dan ruang publik dalam sistem yang seimbang dan berkesinambungan," tandasnya. (DED/GN-02)

BACA JUGA: