Jakarta - Undang-Undang No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sudah berjalan selama 3 tahun. Namun, pelaksanaan UU Informasi Publik tersebut dinilai masih terhambat oleh kultur tertutup sistem birokrasi yang sudah hampir 30 tahun terbudayakan di lembaga-lembaga negara Indonesia.

"Menelaah Pemaknaan Badan Publik Non Pemerintah Guna Memenuhi Hak Dasar Masyarakat Atas Informasi,"kata mantan anggota Komisi I DPR 2004-2009, Dedy Djamaluddin Malik saat diskusi publik di Hotel Lumire, Jakarta Pusat, Senin (31/10).

Anggota Komisi I DPR Dedy Djamaluddin Malik, mengatakan, harus diakui pula UU Keterbukaan Informasi Publik juga memiliki kemajuan berarti. Salah satunya dengan terbentuknya Komisi Informasi Pusat (KIP) sebagai perwujudan amanat UU Informasi Publik.

"KIP yang berfungsi sebagai lembaga mandiri yang menjalankan UU, telah membangun harapan masyarakat untuk memperoleh informasi publik dengan cepat, mudah, dan murah," ujar Dedy.

Betapa pun UU Informasi Publik sudah ditetapkan dan disosialisasikan, namun pelaksanaannya tetap banyak menghadapi kendala. Kata Dedy, kendala itu terutama terkait kultur tertutup birokrasi lembaga-lembaga negara di Indonesia.

Hal itu, lanjut Dedy, terlihat dari berbagai kasus yang ditangani KIP. Misalnya soal kasus rekening gendut. Dalam persidangan KIP, bahwa informasi soal rekening gendut harus dibuka kepada pemohon, yakni Indonesian Corruption Watch (ICW).

"Namun, termohon malah melakukan serangan balik dengan mengajukan gugatan di PTUN," ujar Dedy.

Demikian juga, kasus di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) terkait informasi Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Lembaga (RKAKL) Setjen Kemendiknas Tahun Anggaran 2010, hingga kini belum juga diberikan kepada pihak pemohon, padahal perkaranya sudah diputuskan untuk dibuka," ucap Dedy yang juga salah satu tim penyusun UU Informasi Publik saat masih menjabat anggota Komisi I DPR 2004-2009 ini.

Lebih jauh Dedy menjelaskan, kultur tertutup tak hanya menghinggapi para birokrat tetapi juga sudah menjalar ke partai politik, yayasan-yayasan, ormas-ormas, dan bahkan perusahaan-perusahaan yang orientasinya mencari keuntungan.

Demikian pula terjadi di daerah-daerah, pengelolaan informasi di tingkat provinsi, kota, maupun kabupaten masih jauh dari harapan. "Banyak kasus informasi yang harusnya tersedia dan dibuka kepada publik, ternyata tersembunyi rapat. Ibarat dokumen rahasia negara," ujar Dedy.

Padahal, tutur Dedy, lembaga negara harus mampu menciptakan iklim good governance dan clean government. Salah satunya dengan diperlukannya kesediaan para lembaga negara untuk melakukan akuntabilitas dan transparansi agar tercipta sistem kontrol yang efektif dari masyarakat.

BACA JUGA: